Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.
“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya.
"Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.
Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, takut dianggap mencampakkannya pertanyaan, Amira memilih untuk mengangguk satu kali sebagai jawaban. Mila tertegun menatap wajah menantunya yang jauh dari kata tampan, dengan bibir tersenyum sinis. Ia pun berkata “Ternyata dia jauh lebih jelek dari fotonya. Kok bisa ya? Arina mau sama dia?” membatin kesal, dibandingkan Amira sama sekali tidaklah sebanding.
Belum selesai dia bergumam suara nada dering dari ponselnya menghentikan aktivitasnya. Nama sang suami tertulis di layar Mila menggeser jemarinya.
“Hallo Pa? Em, ya ini baru dijalan. Mungkin sepuluh menit lagi sampai di kantor. Oh, ya? Oke-oke tunggu kita ya,” Secara beruntun Mila menjawab segala pertanyaan Robi, dari samping Amira mendengarkan tanpa berani menyela. Sampai telepon berakhir, Mila memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya.
“Sayang, kita ke kantor Papa dulu ya? Ada tamu spesial yang mau ketemu sama kamu. Sekalian juga kata Papa ada kabar bagus yang udah Papa siapin khusus buat kamu.” jelas Mila dengan senyuman teduhnya, mengusap kepala Amira dengan lembut.
Sejujurnya Amira ingin bertanya siapakah sosok tamu yang dimaksudkan? Tapi, dia merasa sungkan. Mulutnya yang telah terbuka segeralah dialihkan menjadi kalimat lain, “Oke Ma.” jawabnya singkat tanpa bertele-tele
Tepat seperti yang sempat dijanjikan. Sepuluh menit Mila dan Amira sampai menampakkan kakinya di dalam gedung. Disambut beberapa karyawan memberikan salam hormat. Kabar kembalinya sang putri tunggal sudah menyebar. Namun tidak ada media menyiarkan kabar gembira itu. Robi sengaja melakukan semua ini agar Amira bisa membalaskan dendamnya tanpa diketahui. Karena jika kabar ini menyebar, justru menimbulkan kecurigaan dari keluarga suaminya nanti.
Dirga sibuk merapikan diri. Padahal tidak ada yang kurang, semuanya rapi dan sempurna. Detak jantungnya berirama cepat, beberapa kali dia mengusap dadanya untuk menenangkan diri.
“Kalem bro! Kalem, gak usah tegang gini sih.” gumamnya.
Sayangnya tekadnya tidak sesuai dengan kenyataan, semakin terdengar langkah kaki seseorang semakin bertambah berdegup kencang jantungnya kini.
Suara pintu dibuka dari luar. Tampak Mila berjalan di posisi depan diikuti dengan seorang gadis cantik tepat di belakangnya.
Mata Dirga sampai tak berkedip, melihat kecantikan Amira sungguh menyilaukan matanya. Mulutnya ternganga takjub, reaksi yang ditunjukkan di depan Amira langsung disadari oleh gadis itu.
Siapa yang tidak akan salah tingkah karenanya?
“Emh-emh… awas Dir, nanti kemasukan laler loh.” celetuk Mila mengejutkan Dirga.
Secepatnya Dirga menyadarkan dirinya sendiri, tak kalah malunya, tertangkap basah.
Semua orang terkekeh, CEO dingin terkenal jomblo seumur hidupnya ternyata goyah dan terpesona juga. Begitulah isi pikiran para karyawan yang menyaksikan reaksi Dirga secara live. Sudah dipastikan setelah ini, akan muncul rumor dengan topik terhangat atas namanya di kalangan perusahaan.
“Kalian bisa pergi!” titah Robi mengusir halus para karyawan agar menyisakan mereka berempat saja.
Di depan pintu Amira berdiri di tempat seperti patung. Menatap tempat asing ini untuk menghilangkan ketegangannya.
Bola matanya tak berhenti berputar walaupun isi hatinya tidak aturan arahnya kemana.
“Laki-laki itu siapa sih? Kenapa kok lihatnya gitu banget. Ganteng sih, tapi kan … eh ya, aku udah gak dianggap istri sama mas Rehan ya. Duh, Amira ngapain sih kamu,”
Amira berceloteh tak jelas di dalam hatinya, memejamkan matanya menyalahkan dirinya.
Segeralah Robi datang menghampirinya menuntun tangannya diajaknya duduk di sofa double seat.
“Kenapa kok malah bengong? Sinilah duduk sama papa! Emangnya kamu gak capek?”
Robi mendorong perlahan tubuh Amira hingga benar-benar memastikan putrinya duduk dengan nyaman.
Dirga masih saja berdiri sebisanya membuang tatapan matanya agar tidak menatap Amira. Sekarang saja Amira terlihat sangat risih.
“Plis lah gak jaga mata Lo, Dir! Lihat Arina sampe gak nyaman kan gara-gara Lo.”
Demi menjaga nama baiknya, Dirga menyibakkan jasnya untuk mengatur ketegangannya. Kembali dalam mode bijaknya yang berwibawa.
Memang Roby memiliki tujuan penting, tanpa berlama-lama dia harus mengatakannya segera.
“Sayang… Papa ada kabar baik buat kamu.”
Dengan seksama Amira memperhatikan gerak-gerik Robi hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong sakunya. Benda kotak wadah yang sering Amira lihat di toko perhiasan. Betapa dia terkejut melihat isi kotak itu. Sebuah kalung peninggalan mendiang ibunya Rahima ada disini. Matanya terbuka lebar, Amira tercengang dibuatnya.
“Itu kan…?”
Belum sempurna kalimatnya, Robi lebih dulu mengangkat dan memberikan kalung itu di atas tangannya.
“Iya sayang… ini kalung kamu kan? Kamu tahu gak, kita gak nyangka kalung ini ternyata masih ada. Papa bersyukur banget… berkat kalung ini akhirnya kita bisa ketemu lagi.”
Ada yang mengulik dari dalam hati Amira bertanya-tanya. Bagaimana bisa papa nya berkata demikian? Yang Ia tahu Rehan suaminya telah menjual kalung itu. Sampai menyebabkan dia hampir mati karena berusaha untuk memperjuangkan peninggalan terakhir dari Rahima.
Melihat reaksi kebingungan Amira, Mila memutuskan untuk mendekatinya. Duduk berdampingan di sisi kanannya.
“Sayang … kalung ini limited edition. Dan cuma ada satu di negara ini, sengaja kita design khusus cuma buat kamu. Sayangnya di hari pertama… kamu malah hilang. Kita udah usaha cari ke berbagai penjuru kota tapi gak ada hasilnya. Tapi kita gak nyerah, setiap setahun sekali kita sebar sayembara kalo sampai ada yang lihat atau ketemu sama kalung ini bakalan kita kasih imbalan,” Mila menjelaskan awal cerita. Meskipun begitu Amira tahu, cerita keseluruhannya.
“Ah, jadi karena designnya cuma satu waktu mas Rehan jual kalung ini, otomatis Mama sama Papa dapet kabar?”
Mila mengangguk bangga, tak perlu menjelaskan secara rinci. Sebab putri mereka ternyata sangat pintar.
“Dan masalah suami kamu, jangan khawatir! Dirga siap bantu kamu.” timpal Robi menyeret Dirga masuk kedalam pembicaraan. Amira menoleh tiba-tiba muncul keberanian untuk menatap wajah Dirgantara.
“Ya, Arina. Apa yang diomongin Papa kamu benar. Saya udah tahu semua informasi mengenai asal usul pekerjaan apa yang dijalankan sama suami kamu. Jadi, kamu gak perlu khawatir.” Dirga bersemangat menjelaskan semuanya. Tetapi Amira tidak bersikap sama,
“Ma, sebenarnya dia ini siapa?” celetuk Amira menunjuk Dirga. Rupanya ia lebih tertarik mengetahui siapakah sosok Dirga ini? Mengapa laki-laki ini ikut hadir disini dan bersedia memberikan bantuan?
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s