Bab 6. Aku datang
Sepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.
Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari.
"Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah.
"Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.
Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.
Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.
Santika dan Bimo rela menutup mata dari kenyataan demi kehidupan yang lebih sejahtera.
"Eh, calon mantu udah dateng. Lama banget gak pernah kelihatan." kata Santika menyapa kedatangan Ranita, menghampiri memberikan salam cipika-cipiki.
"He... iya Bu. Kangen ya sama aku? Habisnya akhir-akhir ini aku sibuk banget." balas Ranita bernada sombong. Putaran bola malas mata Santika, diam-diam mencebik bibirnya.
"Heleh... kerja gitu aja sombong amat. Tapi gak papa deh. Yang penting bisa kasih uang. Lumayan kan." hinaan yang tertahan di dalam hati. Santika kehilangan akal, menepis jauh rasa bencinya hanya demi uang.
Setelah sempat beradu bicara santai, duduk di kursi sambil menemani Rehan bekerja.
Di ujung sana. Tepatnya di dalam mobil, Amira alias Arina tengah memantau keadaan. Ditemani Argo sang sopir, sekaligus merangkap sebagai bodyguard. Ia datang untuk melakukan misi pertamanya.
"Non, mau keluar sekarang apa nanti?" Bukan maksud hati ingin terburu-buru, sekedar basa-basi menanyakan saja. Waktu sepuluh menit Amira gunakan untuk mempersiapkan diri, setelah yakin ia pun berkata "Boleh Pak. Lagian aku udah siap kok." jawabnya.
Mendengar jawaban ini Argo kemudian keluar, berlari ke arah pintu kursi penumpang untuk membantu membukakan pintu.
"Makasih ya Pak," balas Amira, Argo membungkukkan badannya saja. Baginya kata balasan itu tidak pantas ia dapatkan karena ini salah satu tugas dari pekerjaannya juga.
Seperti biasanya pagi ini Rehan melayani para penjual yang datang. Sibuk menuang jenis sayuran yang sudah ditimbang.
Hentakan heels menginjak lantai semen di halaman. Suaranya mengundang perhatian mereka untuk melihat kearah yang sama.
Wajah cantik nan jelita mengenakan dress berwarna cream, setinggi lutut. Amira datang menyilaukan mata mereka.
"Buset. Cantik amat itu cewek. Tapi ngapain ya dia datang ke sini?" batin Rehan bertanya-tanya.
“Selamat pagi. Maaf menganggu. Boleh minta waktunya sebentar Mas?” ucap Amira mendayu-dayu, nada bicaranya terdengar syahdu menambah kekaguman Rehan atas sikapnya yang sopan.
“Eh, iya. Gak kok, gak ganggu. Ada apa ya Mbak?” Rehan saling mengibas kedua telapak tangan, ketika Amira mengulurkan tangan.
“Perkenalkan saya Arina. Saya datang kesini, untuk mengajak Mas kerjasama. Kebetulan Saya lagi cari pemasok sayuran hijau yang cocok,” Amira mengatakan poin yang telah dipelajari di kertas catatan buatan Dirga.
Penjelasan singkat itu disambut Rehan seraya tersenyum merekah. Sudah lama mereka tidak kedatangan kolega untuk bekerja sama. Apalagi mobil mewah Arina sempat dilirik, menandakan status yang dimiliki bukanlah sembarangan.
Perhatian Santika teralihkan, meninggalkan Ranita.
“Eh, tentu saja boleh dong Mbak. Mari sini duduk dulu.” Santika menarik kursi kayu untuknya, mempersilahkan Amira untuk duduk disana.
Tatapan kesal Amira, sekalian mendengus. “Dasar keluarga materialistis! Giliran tahu orang kaya aja langsung nglembah manah.”
Baru bertemu hati Amira sudah sesak, menahan kemarahan di dalam hati “Tenang Amira. Kamu harus jaga sikap biar mereka gak curiga.”
Sayangnya kedatangan Amira kemari, bertepatan dengan kedatangan Dirman.
“Rey, di kebun ada kangkung tuh! Kamu mau beli apa enggak? Kalo enggak, mau saya jual keliling.” kata Dirman, secara kebetulan matanya melihat rupa Amira tengah duduk, melihatnya was-was.
“Astaga. Ya ampun!” pekik Dirman sampai melompat mundur. Bagai melihat hantu disiang bolong hampir saja mulutnya mengucap.
Nasib baik ia memahami permintaan Amira melalui kode mata berkedip satu kali.
“Ada apa Mang?” tanya Rehan sedikit curiga banyak bingungnya, tidak ada angin tiba-tiba Dirman berteriak.
“Ah itu.”
Dirman harus mencari jawaban yang tidak mengarah pada identitas Amira. Ya! Harus meskipun waktunya terbatas.
“Itu Rey, lupa tadi ngidupin kompor belum dimatiin. Dah ya, amang pulang dulu.” ucap Dirman berbohong, melangkah pergi sebelum mulutnya melakukan kesalahan yang lain
Fiyuuh
Hembusan nafas diselingi merenggangnya otot dada yang tegang. Hampir saja Amira ketahuan.
“Sayang banget ya, udah punya istri ternyata.” celetukan Amira membuat Rehan besar kepala. Sejak kedatangannya, Ranita berdiri terus mengawasi selayaknya Security yang berjaga.
“Ah, bukan kok. Itu… em, itu.”
Rehan ingin sekali mengelak, tertunda setelah mendapatkan tatapan tajam dari Ranita.
“Saya tunangannya. Kenapa?” Ranita mengajukan dirinya untuk menjawab. Ia meragukan kesetiaan Rehan yang mudah goyah selayaknya pohon terkena angin.
“Ouh baru tunangan toh. Bagus deh. Berarti aku masih ada kesempatan.” Lagi-lagi Amira menambah kekesalan Ranita. Semakin memperjelas ketertarikannya terhadap sang kekasih.
“Jangan ngaco ya kamu! Sebentar lagi aku sama Mas Rehan mau nikah. Jadi gak usah mimpi!”
“Ya, kan masih mau belum kejadian. Sebelum janur kuning melengkung sih masih bebas.”
“Sini kamu! Minta dihajar ya!” Ranita pun naik pitam,
Secepatnya Argo memasang badan melindungi Amira dari amukan Ranita. Sebuah telapak tangan terbang siap menghantam.
Grep
Satu gerakan untuk menangkis, Argo berhasil memegangi pergelangan tangan Ranita. “Lepasin gak!” protes Ranita tak terima.
Tindakannya sangat mengejutkan semua orang, Buru-buru Rehan menarik tangannya agar menjauh.
“Apa-apaan sih kamu. Dia itu calon pembeli. Kan kamu tahu, pembeli adalah raja.” sebisanya Rehan memberitahu, berharap Ranita mau mengerti.
“Tapi dia udah ganjen sama kamu, Mas.” Ranita tetap bersikukuh bahwa semua ini adalah salahnya, wanita yang sedang berdiri di depan mereka sekarang.
Meskipun mendapatkan serangan tatapan mata yang menukik seperti turunan jurang, Amira masih bisa bersikap tenang selayaknya tidak terjadi keributan apapun. Mengibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri, semakin memancarkan aura kecantikannya.
“Ranita berhenti!” pekik Santika, menghentikan Ranita. Mungkin kecemburuannya mendorong Ranita untuk melakukan serangan kedua.
Kurang menyakinkan, Santika menghampirinya dan mengajak Ranita pergi dari sana.
“Mau kemana kita, Bu?”
“Ke dalam.” jawab Santika singkat memaksanya berjalan, mendorong tubuh sintalnya masuk.
“Ini perempuan kalo gak aku ajak pergi. Bisa-bisa malah bikin rugi. Enak aja ngatur-ngatur. Anak saya itu masih bebas, boleh pilih perempuan manapun. Saya sih lebih seneng kalo Rehan berhubungan sama Mbaknya itu, daripada sama ini wanita gelap. Dilihat dari penampilannya kayaknya Mbaknya kaya raya.”Dalam hati Santika mulai mengubah alur, seakan menarik restunya terhadap hubungan Rehan bersama Ranita. Andai saja Santika tahu, wanita itu adalah Amira, menantu yang dulu sama dia benci.
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise