Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.
Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja.
“Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela.
Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.
Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.
“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.
“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin kerjasama sama tempat kami.” ucap Rehan girang.
“Iya kah? Wah, bangga banget ya bisa jadi yang pertama.” balas Amira tersirat rayuan gombal, berencana memikat hati Rehan.
Tentulah Rehan mengetahui, sekarang saja, wajahnya langsung tersipu-sipu. Rencana Amira tepat mengenai hatinya.
Ada satu langkah yang hampir terlupakan oleh Amira, apa itu? Menjentikkan jarinya.
Kemudian tangan lentiknya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas brandednya. Rehan mengamati, matanya terbuka lebar saat melihat lembaran cek kosong.
Suara gesekan ujung pena hitam menyentuh kertas, Amira menuliskan sejumlah nominal di sana.
“Saya titip uang segini dulu ya Mas. Uang ini bayaran untuk satu minggu.” kata Amira, menyerahkan kertas kepada Rehan.
Tanpa ragu, untuk mengeceknya. Rehan melihat nominal yang tertera, kemudian memutar wajahnya untuk memperlihatkan reaksi kegirangan ini kepada Santika.
“Cukup kan Mas?” tanya Amira sekali lagi. Sebab, tidak kunjung mendapatkan kata terimakasih.
“Ah, cukup kok. Cukup banget malahan.” kata Rehan,
“Oke. Karena udah beres. Saya pamit undur diri dulu.” kata Amira beranjak dari tempat duduknya, siap pergi dari sana.
Namun,
Baru melangkah sebanyak tiga kali, Amira membalikkan badannya.
“Mas, boleh minta nomer hp?”
Satu gerakan pendekatan, Amira sesuai catatan. Menggetarkan hati Rehan.
“Ah, boleh-boleh.”
Mereka saling bertukar nomor ponsel, tidak peduli dengan dengusan nafas murka Ranita semakin menjadi-jadi.
Setelah bertukar nomor, Amira kembali meneruskan perjalanannya menuju ke dalam mobil.
Melambaikan tangannya untuk terakhir kalinya sebelum badannya benar-benar tenggelam, memasuki mobil.
Brakk
Tiba-tiba satu gebrakan keras, Ranita datang menghampiri Rehan dan memukul badan meja.
“Ranita, apa-apaan sih kamu!” sentak Rehan, gara-gara Ranita matanya tak bisa mengantarkan kepergian Amira.
Teralihkan karena ulah Ranita, hampir membuatnya jantungan.
“Kamu suka kan sama itu cewek!” tanya Ranita memastikan perasaan Rehan terhadap wanita asing yang baru saja datang kemari.
Sekalipun mata sang kekasih sudah menjelaskan semuanya,
“Kamu ini ngomong apa sih Ranita. Gak mungkin dia orang kaya mau sama aku.”
Rehan menjadikan alasan perbedaan status sosial untuk menjawab tuduhan Ranita, padanya. Bukannya mengelak atas tuduhan sang kekasih.
Lebih menambah kecurigaan Ranita. Ya seharusnya sih seperti itu. Tapi, Ranita si bodoh mudah sekali terayu.
Wajahnya yang merah padam, hilang. Berubah menjadi senyuman manja.
Merangkul tubuh Rehan, sambil menyandarkan kepalanya di dada.
Tanpa Ranita tahu, wajah Rehan terbayang atas kedipan mata yang dilakukan Arina saat mereka saling bertukar nomor.
***
Amira hendak pergi, bersama Argo yang mengemudikan mobil. Memutar stir untuk putar arah. Sebab, di depan sana terdapat jalan buntu yang tidak bisa dilewati.
“Gimana Non? Capek banget pasti ya?” tanya Argo, paham sekali perasaan Amira.
Bertemu dengan orang yang hampir membunuhnya. Sialnya. Sekarang, ia harus berhadapan dengan mereka, bersikap seolah tidak terjadi apapun.
Menyesakkan, kesal dan emosi.
Andai Amira bisa melampiaskan amarahnya itu, alangkah lega hatinya.
“Gak papa kok Pak. Demi kehancuran mereka. Aku rela kok.” kata Amira tenang, kemudian melihat sesuatu berdiri di ujung pertigaan jalan “Eh, itukan Mang Dirman?! Pak Argo, tolong berhenti!”
Argo memperlambat kecepatan mobil, agar berhenti tepat dimana Dirman sedang berdiri.
Tak sampai satu menit, mereka berhenti tepat di depan mata Dirman. Argo menekan centerlock untuk membuka kaca jendela Amira.
Saat kaca itu turun memperlihatkan Amira. Dirman yang memang sengaja menunggu disini, akhirnya bisa bernafas lega bisa bertemu.
“Neng, ngapain atuh kesini segala?” tanya Dirman, sejujurnya menyayangkan kedatangan Amira tanpa membawa pihak penegak hukum untuk menangkap Rehan beserta keluarganya.
“Iya Mang. Kebetulan ada misi rahasia. Jadinya kesini deh.” jawab Amira sambil tertawa cekikikan, mata Dirman berkerut heran. Sama sekali tidak mengerti.
Karena posisi mereka di pinggir jalan raya, Amira tampak was-was. Menoleh ke segala arah. Takut, tiba-tiba Rehan melintasi area ini.
“Mang, pokoknya jangan khawatir! Amira ada rencana brilian. Dan terimakasih ya, Amang udah jaga rahasia identitas saya.” jelas Amira, atas kesediaan Dirman serta membantunya.
Perlahan Dirman mengerti, kedatangan Amira kesini bukan tanpa alasan. Kekhawatirannya akhirnya memudar.
“Oh, gitu. Kirain tadi Eneng kesasar. Yaudah kalo ini bagian dari rencana mah. Amang dukung, Amang doain, semoga lancar yak.”
“Makasih banyak ya Mang. Dah, Mang. Amira pergi dulu.” pamit Amira, diiringi roda mobil yang mulai bergerak meninggalkan Dirman.
***
“Berapa Rey? Banyak gak?” tanya Santika ingin tahu, mata duitan bergejolak ingin melihatnya sendiri.
Rehan memperlihatkan cek bertuliskan lima belas juta kepadanya. Bibir keduanya tersenyum puas, apalagi Mereka juga tahu. Uang sebanyak ini, masih akan bertambah setelah menjalankan tugas mereka,.mengirim sayuran.
Sesaat Santika kembali teringat sikap Arina memperlihatkan ketertarikan kepada putranya.
“Rey udah, lepasin aja Ranita! Terus kamu deketin si Arina! Dia kan lebih tajir, terus perempuan baik-baik lagi.”
Santika mulai mempengaruhi Rehan untuk melepaskan Ranita demi yang lain, yang dianggap memiliki kekayaan lebih banyak.
Kepergian Ranita, dua menit yang lalu dijadikan kesempatan untuk merancang rencana. Tidak habis pikir, perihal uang keluarga ini tidak ada duanya. Seolah mereka tidak bisa merelakan kesempatan emas yang berhubungan dengan lembar pembayaran. Padahal bila dilihat, kehidupan mereka sudah dalam tahap yang sangat layak, dan jauh dari kata kekurangan.
Rehan diam, menimbang apa yang hendak ia putuskan.
“Bener juga ya Bu? Lagian Ranita juga galakk. Sukanya ngatur-ngatur. Yah walaupun dia selalu kasih uang ke Rehan sih..tapi kan cuma sedikit. Mana cukup dua ratus ribu sehari.” Rehan memang laki-laki tidak tahu diuntung, sudah diberi bukannya bersyukur.
“Iyalah. Kalo kamu nikah sama Arina. Beuuh , pasti lebih banyak lagi Rey.” Santika membayangkan pundi-pundi uang di bola matanya. Duduk di sofa mahal sambil melipat satu kakinya di atas.
Bimo sejak tadi diam, menahan rasa sakit akibat depresi berat. Alih-alih tergiur, isi kepalanya tidak pernah teralihkan oleh perkataan Dirman, waktu kemarin.
“Kalian ini, bisa-bisanya mikirin uang. Jangan lupa! Dirman bawa barang bukti. Harusnya kita pikirin dulu! Gimana caranya buat ambil itu tulang dari rumahnya. Percuma punya mimpi setinggi langit, tapi kenyataannya masuk penjara.”
Bimo dibuat tak habis pikir, melihat tingkah laku anak dan istrinya. Murah sekali melupakan? Padahal dirinya ketakutan sangat akut.
Merasa apa yang dikatakan bapaknya benar, Rehan melupakan sejenak tentang Arina.
“Iya juga ya Pak. Hmmm, kayaknya aku harus ke rumah Mang Dirman sekarang. Nanti aku kasih aja dia uang. Pasti mau.”
“Betul tuh. Rencana bagus. Kasih aja lima ratus ribu, pasti dia mau.” Santika ikut berbicara, mengira Dirman mata duitan seperti mereka.
Segeralah Rehan berangkat menuju rumah Dirman. Mengantongi uang lima ratus ribu, sesuai nasehat Santika.
Mengendarai motor matic merah, meninggalkan rumah.
Dirman sibuk memotong sayur kangkung, dekat sekali dengan rumah tinggalnya. Karena Kebun Dirman memang mengelilingi rumahnya. Seperti lingkaran hijau dipenuhi sayuran.
Suara mesin motor memasuki halaman, Dirman yang tengah duduk berjongkok. Beranjak melihat siapakah yang datang?
“Rehan? Ngapain dia kesini?” ucapnya heran.
Tak pernah sekalipun, Rehan menginjakkan kaki di rumahnya. Pernah dulu, sekali saja. Kala itu Dirman memintanya untuk datang, mengambil semua hasil panenan menggunakan mobil pickup. Dan tahu jawaban Rehan apa?
“Enak aja suruh saya ngambil. Kan Amang yang butuh uang, ya bawa kesini lah.” begitulah kalimat pedas Rehan si besar kepala. Dan masih membekas dalam benak Dirman, sampai sekarang.
“Ada apa kamu tiba-tiba datang ke rumah saya?” ketus Dirman menatapnya menyelidik.
Sadar kedatangan tidak disambut ramah, Rehan berusaha mencairkan sikap ketus Dirman dengan senyumannya. Walaupun pesonanya tidak berhasil. Wajah Dirman belum berubah,
“Anu Mang, saya kesini mau lihat tulang yang kemarin Amang temuin.”
“Buat apa?”
Wajah Rehan terlihat gugup. Keputusannya datang tanpa mempersiapkan segala jawaban, memang bodoh.
“Gak papa sih Mang. Saya penasaran aja. Masak sih di tempat sampah ada tulang manusia.” Rehan berkilah, padahal ia tengah memancing Dirman untuk menyerahkan tulang itu,
“Ya, emangnya kenapa? Kok kamu yang repot?! Saya umpetin. Gak akan saya kasih tahu ke siapapun. Takut sidik jarinya hilang!” ucap Dirman menolak permintaan Rehan, padahal benda yang mereka ributkan wujudnya saja tidak ada.
Sangat seru! Dirman dalam keadaan membungkuk, diam-diam menertawakan Rehan.
“Rasain! Kalang kabut kan Kamu. Salah siapa, jahat banget jadi manusia!” batin Dirman,
Rehan tidak kehilangan akal, diambilnya yang lima ratus ribu dari dalam saku.
“Mang… ini ada uang lima ratus ribu khusus buat Amang. Tapi, ada syaratnya, tulangnya saya minta. Nanti saya yang lapor.” rayu Rehan, tangannya mengulurkan lima lembar uang berwarna merah muda kepada Dirman.
Sejenak Dirman mengamati uang itu, berpikir.
“Gimana ya? Eumm…”
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete