Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.
Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial.
"Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku,"
Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah sangat berlebihan.
Sejujurnya Amira tidaklah cemburu, senyuman tipis terukir di bibirnya. Menambah giat untuk memberikan perhitungan bagi Rehan dan juga keluarganya.
"Tunggu aja Mas! Aku bakalan kasih kejutan istimewa buat kamu." Tekad bulat telah memunculkan api dendam yang meledak khusus untuk Rehan.
Pagi ini matahari telah terbit dari barat. Sinarnya yang hangat menyapa diiringi suara ayam berkokok.
“Sial, bisa-bisanya kena rokok sendiri.” Hawa panas dari bara api kecil berasal dari puntung rokok menyentuh pergelangan tangannya. Ironi bukan? Memang sangat aneh bisa-bisanya kejadian itu terjadi padanya. Mungkin saja ini peringatan secara tidak langsung dari Amira atas campur tangan Tuhan.
Di depan teras Rehan menyulut sebatang rokok ditemani secangkir kopi buatan ibu Santika. Selang satu menit Bimo sang Ayah datang menyusul, tangannya sibuk melipat sarung agar melilit rapi di pinggulnya.
"Gimana nih Rey? Semalam kamu berhasil cari mayatnya Amira gak?!" tanyanya, jujur saja ada perasaan takut, satu minggu sudah berlalu. Bisa saja sekarang jasad Amira membusuk, mengeluarkan bau ditakutkan membuat suasana desa menjadi gempar.
Berbeda dengan sang ayah, dengan tenang Rehan mengangkat gelas dan menyeruput kopinya.
"Gak ada tuh pak, palingan juga udah dimakan sama biawak. Atau bisa jadi sama tikus got." jawabnya enteng.
"Kenapa emangnya Pak? Bapak takut?" imbuh Rehan bernada mengejek, benar-benar berlagak berani seperti penjahat ulung yang sudah ahli. Tidak ada penyesalan juga rasa kehilangan, Rehan benar-benar tidak memiliki kepedulian secuil pun terhadap Amira. Padahal bagaimanapun juga Amira adalah wanita yang pernah hidup bersamanya. Di atas kursi berdampingan Bimo membuka penutup gelas kopi miliknya, sadar. Ia mencebik bibirnya kesal.
"Jelaslah Rey. Apa kamu gak sadar?! Kita ini udah sengaja bunuh Amira. Emangnya kamu gak takut ketahuan sama warga terus masuk penjara?!" sahut Pak Bimo menjelaskan alasan mengapa dia terus saja gusar.
"Santai aja sih pak. Tenang-tenang. Kemarin Rehan udah cek sendiri kok, asal bapak tahu! Tubuh Amira udah jadi abu pak. Hancur." terang Rehan yakin tanpa ragu. Tiga hari yang lalu dia datang lagi ke tempat kejadian untuk memastikannya sendiri.
Mereka berdua tidak sadar Dirman kebetulan sedang melewati gang dekat rumah mendengarkan obrolan mereka. Kebencian tergambar jelas di wajah lelaki itu dengan bergidik jijik.
"Idih, sok kepedean amat. Itu mah bukan mayatnya neng Amira! Tapi Amang sengaja ngumpulin abu bekas dari tempat sampah! Dasar belegug!" sahut Dirman kesal, belum sembuh dia membuang kekesalannya, sekarang malah semakin bertambah saja. Sebisa mungkin Dirman menahan diri agar tidak terpancing, menutup rapat kedua telinganya seolah di setting tuli.
Selang beberapa detik suara tawa berasal dari mulut Rehan dan Pak Bimo terdengar ke telinganya. Andai saja Dirman mau, mengatakan kenyataan yang terjadi, bahwa Amira masih hidup. Tetapi urung dia lakukan memilih untuk meneruskannya langkahnya saja.
"Udahlah bodo amat! Gak usah diladenin. Sekarang kalian masih bisa ketawa kayak gitu, lihat aja besok! Bakalan kocar-kacir kalian." kata Dirman lagi seraya berlalu.
*
Di dalam gedung tinggi dengan tampilan modern bertingkat. Tepat di lantai 12 Robi sedang berbincang ringan bersama seorang pemuda tampan di ruang kerjanya.
“Jadi Arina udah boleh pulang Om?” tanya pemuda bernama lengkap Dirgantara. Pemuda yang memiliki usia lebih tua 5 tahun dari Amira. Bahkan ketika mereka masih kecil Dirga sering sekali mengajak Amira bercanda dan juga menjaganya. Tentu saja tragedi hilangnya Amira kala itu sangat membuatnya terpukul dan kehilangan. Dan setelah mendapatkan kabar kembalinya Amira tentu saja menjadi kabar yang sangat membahagiakan baginya.
“Iya Dir. Mungkin aja sekarang mereka udah di perjalanan pulang.” sahut Robi dengan pandangan kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. Dirga terpancing untuk bertanya karena dia menyadari atas reaksi yang ditunjukkan tergambar jelas di wajah Roby.
“Ada apa Om? Kok kayaknya kayak lagi mikirin sesuatu?” tanyanya kemudian.
Robi meletakkan map di tangannya itu ke atas meja. Kemudian menghela nafas panjang bila mengingat kejadian naas yang menimpa putrinya.
“Kamu tahu nggak Dir, sebenarnya Arina….”
Mulailah ia menceritakan kembali kejadian yang menimpa Arina kepada Dirga tanpa ada yang tertinggal. Bagai ditampar kenyataan Dirga terkejut mengetahui ternyata Amira sudah menikah.
“Arina udah nikah? Tapi kan sekarang umur Arina masih muda banget Om? Aku aja belum nikah.” tukas Dirga memastikan sekali lagi, sebab sampai sekarang dirinya belum menikah padahal usianya lebih tua dari Amira. Mendengarkan kalimat bernada protes dari Dirga, Robi tidak bisa memberikan jawaban. Terlebih selama ini Arina memang tidak tinggal bersamanya karena terpisah beberapa tahun lamanya. Hingga jawaban yang tepat adalah menggelengkan kepalanya saja.jawaban yang tepat adalah menggelengkan kepalanya saja.
Dalam diam atas rasa kecewanya, lebih besar lagi amarah Dirga. Matanya mencalak meremas kuat kepalan tangannya sebagai pelampiasan. Rahangnya juga mengeras menatap lekat wajah Robi.
“Om, gak usah khawatir! Serahin aja semua sama Dirga!” ucap Dirga menyakinkan Robi tentang ucapannya dengan sungguh-sungguh.
*
Dua jam kemudian di dalam mobil, Amira sedang dalam perjalanan pulang. Dia tampaknya tegang terlihat posisi duduknya yang tegap bagai sedang melakukan interview bersama HRD.
"Sayang, ada apa? Kenapa kok kayaknya kamu tegang banget?" tanya Mila lembut mengusap jemari tangan Amira guna menenangkan putrinya.
"He..." Amira membentuk senyuman aneh di bibirnya, dia semakin gugup setelah tertangkap basah.
"Maaf, Bu. Eh maksudnya Ma." kata Amira berbelit-belit. Lidahnya masih kaku untuk memanggil Mila dengan sebutan Mama.
Daripada sakit hati dan marah, Mila malah menyadarkan kepalanya di bahu Amira. Seolah mencoba bersikap akrab agar kecanggungan diantara mereka segera lenyap.
"Kamu masih belum bisa terima ya? Gak papa kok. Mama bisa nunggu sampai kamu siap." terang Mila memberikan waktu untuk Amira. Kata sederhana itu mampu mencairkan kecanggungan Amira. Buktinya dia mulai membalasnya dengan mengusap jemari tangan sang ibu.
Tepat di lampu lalu lintas, kebetulan lampu berwarna merah menyala sebagai tanda untuk berhenti.
Amira tak sengaja melihat ke arah kaca mobil. Betapa dia terkejut melihat sosok familiar sedang menaiki motor matic berwarna merah berdekatan dengan mobil yang sedang dia tumpangi.
“Eh, itu kan??”
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete