Share

Bab 2. Kehidupan baru

Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.

Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial.

"Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," 

Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah sangat berlebihan.

Sejujurnya Amira tidaklah cemburu, senyuman tipis terukir di bibirnya. Menambah giat untuk memberikan perhitungan bagi Rehan dan juga keluarganya.

"Tunggu aja Mas! Aku bakalan kasih kejutan istimewa buat kamu." Tekad bulat telah memunculkan api dendam yang meledak khusus untuk Rehan.

Pagi ini matahari telah terbit dari barat. Sinarnya yang hangat menyapa diiringi suara ayam berkokok.

“Sial, bisa-bisanya kena rokok sendiri.” Hawa panas dari bara api kecil berasal dari puntung rokok menyentuh pergelangan tangannya. Ironi bukan? Memang sangat aneh bisa-bisanya kejadian itu terjadi padanya. Mungkin saja ini peringatan secara tidak langsung dari Amira atas campur tangan Tuhan.

Di depan teras Rehan menyulut sebatang rokok ditemani secangkir kopi buatan ibu Santika. Selang satu menit Bimo sang Ayah datang menyusul, tangannya sibuk melipat sarung agar melilit rapi di pinggulnya.

"Gimana nih Rey? Semalam kamu berhasil cari mayatnya Amira gak?!" tanyanya, jujur saja ada perasaan takut, satu minggu sudah berlalu. Bisa saja sekarang jasad Amira membusuk, mengeluarkan bau ditakutkan membuat suasana desa menjadi gempar.

Berbeda dengan sang ayah, dengan tenang Rehan mengangkat gelas dan menyeruput kopinya.

"Gak ada tuh pak, palingan juga udah dimakan sama biawak. Atau bisa jadi sama tikus got." jawabnya enteng.

"Kenapa emangnya Pak? Bapak takut?" imbuh Rehan bernada mengejek, benar-benar berlagak berani seperti penjahat ulung yang sudah ahli. Tidak ada penyesalan juga rasa kehilangan, Rehan benar-benar tidak memiliki kepedulian secuil pun terhadap Amira. Padahal bagaimanapun juga Amira adalah wanita yang pernah hidup bersamanya. Di atas kursi berdampingan Bimo membuka penutup gelas kopi miliknya, sadar. Ia mencebik bibirnya kesal.

"Jelaslah Rey. Apa kamu gak sadar?! Kita ini udah sengaja bunuh Amira. Emangnya kamu gak takut ketahuan sama warga terus masuk penjara?!" sahut Pak Bimo menjelaskan alasan mengapa dia terus saja gusar. 

"Santai aja sih pak. Tenang-tenang. Kemarin Rehan udah cek sendiri kok, asal bapak tahu! Tubuh Amira udah jadi abu pak. Hancur." terang Rehan yakin tanpa ragu. Tiga hari yang lalu dia datang lagi ke tempat kejadian untuk memastikannya sendiri.

Mereka berdua tidak sadar Dirman kebetulan sedang melewati gang dekat rumah mendengarkan obrolan mereka. Kebencian tergambar jelas di wajah lelaki itu dengan bergidik jijik.

"Idih, sok kepedean amat. Itu mah bukan mayatnya neng Amira! Tapi Amang sengaja ngumpulin abu bekas dari tempat sampah! Dasar belegug!" sahut Dirman kesal, belum sembuh dia membuang kekesalannya, sekarang malah semakin bertambah saja. Sebisa mungkin Dirman menahan diri agar tidak terpancing, menutup rapat kedua telinganya seolah di setting tuli.

Selang beberapa detik suara tawa berasal dari mulut Rehan dan Pak Bimo terdengar ke telinganya. Andai saja Dirman mau, mengatakan kenyataan yang terjadi, bahwa Amira masih hidup. Tetapi urung dia lakukan memilih untuk meneruskannya langkahnya saja.

"Udahlah bodo amat! Gak usah diladenin. Sekarang kalian masih bisa ketawa kayak gitu, lihat aja besok! Bakalan kocar-kacir kalian." kata Dirman lagi seraya berlalu.

*

Di dalam gedung tinggi dengan tampilan modern bertingkat. Tepat di lantai 12 Robi sedang berbincang ringan bersama seorang pemuda tampan di ruang kerjanya. 

“Jadi Arina udah boleh pulang Om?” tanya pemuda bernama lengkap Dirgantara. Pemuda yang memiliki usia lebih tua 5 tahun dari Amira. Bahkan ketika mereka masih kecil Dirga sering sekali mengajak Amira bercanda dan juga menjaganya. Tentu saja tragedi hilangnya Amira kala itu sangat membuatnya terpukul dan kehilangan. Dan setelah mendapatkan kabar kembalinya Amira tentu saja menjadi kabar yang sangat membahagiakan baginya.

“Iya Dir. Mungkin aja sekarang mereka udah di perjalanan pulang.” sahut Robi dengan pandangan kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. Dirga terpancing untuk bertanya karena dia menyadari atas reaksi yang ditunjukkan tergambar jelas di wajah Roby.

“Ada apa Om? Kok kayaknya kayak lagi mikirin sesuatu?” tanyanya kemudian.

Robi meletakkan map di tangannya itu ke atas meja. Kemudian menghela nafas panjang bila mengingat kejadian naas yang menimpa putrinya. 

“Kamu tahu nggak Dir, sebenarnya Arina….” 

Mulailah ia menceritakan kembali kejadian yang menimpa Arina kepada Dirga tanpa ada yang tertinggal. Bagai ditampar kenyataan Dirga terkejut mengetahui ternyata Amira sudah menikah.

“Arina udah nikah? Tapi kan sekarang umur Arina masih muda banget Om? Aku aja belum nikah.” tukas Dirga memastikan sekali lagi, sebab sampai sekarang dirinya belum menikah padahal usianya lebih tua dari Amira. Mendengarkan kalimat bernada protes dari Dirga, Robi tidak bisa memberikan jawaban. Terlebih selama ini Arina memang tidak tinggal bersamanya karena terpisah beberapa tahun lamanya. Hingga jawaban yang tepat adalah menggelengkan kepalanya saja.jawaban yang tepat adalah menggelengkan kepalanya saja.

Dalam diam atas rasa kecewanya, lebih besar lagi amarah Dirga. Matanya mencalak meremas kuat kepalan tangannya sebagai pelampiasan. Rahangnya juga mengeras menatap lekat wajah Robi.

“Om, gak usah khawatir! Serahin aja semua sama Dirga!” ucap Dirga menyakinkan Robi tentang ucapannya dengan sungguh-sungguh.

*

Dua jam kemudian di dalam mobil, Amira sedang dalam perjalanan pulang. Dia tampaknya tegang terlihat posisi duduknya yang tegap bagai sedang melakukan interview bersama HRD.

"Sayang, ada apa? Kenapa kok kayaknya kamu tegang banget?" tanya Mila lembut mengusap jemari tangan Amira guna menenangkan putrinya.

"He..." Amira membentuk senyuman aneh di bibirnya, dia semakin gugup setelah tertangkap basah.

"Maaf, Bu. Eh maksudnya Ma." kata Amira berbelit-belit. Lidahnya masih kaku untuk memanggil Mila dengan sebutan Mama.

Daripada sakit hati dan marah, Mila malah menyadarkan kepalanya di bahu Amira. Seolah mencoba bersikap akrab agar kecanggungan diantara mereka segera lenyap.

"Kamu masih belum bisa terima ya? Gak papa kok. Mama bisa nunggu sampai kamu siap." terang Mila memberikan waktu untuk Amira. Kata sederhana itu mampu mencairkan kecanggungan Amira. Buktinya dia mulai membalasnya dengan mengusap jemari tangan sang ibu.

Tepat di lampu lalu lintas, kebetulan lampu berwarna merah menyala sebagai tanda untuk berhenti.

Amira tak sengaja melihat ke arah kaca mobil. Betapa dia terkejut melihat sosok familiar sedang menaiki motor matic berwarna merah berdekatan dengan mobil yang sedang dia tumpangi.

“Eh, itu kan??” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status