Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy.
“Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang. Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas dendam.” Tita menghela napas kesal. “Terserah lo, deh. Tapi sebelum itu, lo harus ingat, ada tunggakan hutang yang harus lo bayar. Semakin lama lo biarin, semakin berkelakar para debt collector itu.” Senyum yang semula terbit di wajah Jessica meredup setelah Tita mengingatkannya pada hutang yang sempat terlupakan. Rasanya terlalu sakit untuk menerima kenyataan bahwa saat ini dirinya sudah kembali ke mode single lady dengan tunggakan hutang menumpuk. Jessica ikut mengenyahkan punggungnya ke sofa. Menatap kosong pada apapun di depannya. “Masalah hutang.. uang bisa dicari, tapi diselingkuhi itu namanya pencemaran harga diri. Dua-duanya sakit.” Tita menyodorkan segelas jus jeruk pada Jessica dan langsung diminum hingga tandas. Sahabatnya ini, kalau frustasi mendadak berubah jadi singa kelaparan. Apapun yang menyakitinya harus dibalas dengan setimpal. “Menurut gue, lo fokus dulu selesaikan masalah tunggakan hutang. Setelah itu kalau lo mau balas dendam, gue dukung. Setelah gue pikir-pikir, cowok kayak Teddy emang harus dikasih pelajaran biar populasi sejenisnya nggak berkembang biak,” ujar Tita mengungkapkan isi pikirannya. Secara tidak langsung, wanita cantik pemilik tanned skin nan eksotis itu sedang menyamakan sosok Teddy dengan satwa liar. “Gue harus cari kerjaan tambahan buat tutupin bunganya,” kata Jessica. Ia mulai membayangkan dirinya jungkir balik menghadapi hari ke hari dengan beban tuntutan segunung. Sudahlah terlahir sebagai generasi sandwich, kini beban hutang pun ikut singgah di pundaknya. “Info kerjaan yang minggu lalu gue kasih, udah ada kabar?” Jessica menggeleng lemah. Minggu lalu Tita memberikan informasi lowongan pekerjaan untuk posisi sebagai penulis naskah film di salah satu agensi ternama yang berasal dari Korea. Tita bilang, agensi film itu akan membuka cabangnya di Jakarta. Apapun yang bernilai cuan selalu membuat mata Jessica berbinar hingga detik itu juga pesan dari Tita tersampaikan, saat itu juga Jessica mengirim semua berkas sesuai ketentuan ke surel agensi itu. “Yaudah sabar aja.” Tita menepuk pelan pundak Jessica. “Nanti gue cari lagi info loker yang pas.” Jessica hanya mengangguk. Ia kembali menyesap jus jeruk yang baru diisi ulang ke gelasnya dengan pikiran yang berkelakar liar memenuhi kepala. Ting! Tak lama, ponselnya berbunyi di tengah keheningan yang menyelimuti dua sahabat itu. Tita yang menyadarinya lebih dulu, menyenggol siku sahabatnya yang sedang melamun. “Ada email, tuh! Siapa tahu penting,” katanya. Jessica beralih meraih ponselnya dengan malas. Iya, pesan itu penting jika isinya adalah penawaran kerja dari klien royalnya, jika isinya hanya tagihan hutang yang merongrong minta dibayarkan? Pecah kepala Jessica yang ada. “ASTAGA! PANJANG UMUR!” Jessica berteriak histeris. Suaranya melengking tajam hingga membuat pendengaran Tita yang duduk di sebelahnya berdengung. Sambil mengusap pelan telinganya, Tita bertanya penasaran. “Apa isinya? Beneran tagihan hutang?” “Lebih dari itu,” jawab Jessica misterius. Ia mengalihkan layar ponselnya pada Tita, sambil tersenyum lebar bak joker. “Panggilan wawancara kerja di agensi film itu! Akhirnya gue punya harapan, Ta!” Tita ikut tersenyum, keduanya melompat kegirangan saat membaca isi pesan dalam surel yang dikirimkan oleh HRD Agensi Kkumui Haneul. * “Apa yang bikin kamu yakin akan diterima bekerja di sini?” Pertanyaan itu mengalun di telinga Jessica begitu saja. Sejak sepuluh menit lalu matanya tidak beralih sedikitpun dari bibir tebal nan cipokable milik pria di depannya. Sosok pria yang mengenakan setelan jas abu-abu dengan model rambut Comma yang menawan semakin mempertegas garis wajahnya. “Saya punya keahlian di bidang yang saya lamar, Pak. Dengan pengalaman selama lima tahun sebagai penulis, saya yakin bisa kasih kontribusi terbaik saya untuk perusahaan ini,” jawabnya. Meski dalam dada rasanya cenat-cenut, Jessica berusaha memberikan senyum terbaiknya. “Begitu?” balas pria di depannya dengan ekspresi skeptis sambil mencondongkan dada bidang yang tertutupi kemeja ketat itu ke sisi meja kerja. Jessica mengangguk mantap. “Perusahaan ini punya work pace super cepat. Apa kamu yakin bisa menyesuaikan ritme kerja kami? Apalagi sebagai penulis, mood booster nya adalah mood. Saya masih belum yakin sama kamu.” Diam-diam Jessica menghela napas pelan. Mengurai gelisah yang mendadak singgah dalam batinnya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyusun jawaban. Ia pikir, Psikotes adalah tes wawancara tersulit dalam melamar pekerjaan ini. Tetapi nyatanya salah. Sirin hazel gelap milik pria itu menyorot setiap gelagat Jessica secara seksama. Seolah sedang mengulitinya dengan keraguan yang begitu besar hanya untuk mengatakan ‘ya, kamu diterima bekerja di sini.’ “Bagaimana? Apa kamu mulai goyah sama keputusan kamu?” tanya pria bernama Marco ini. Ekspresi wajahnya datar dan tidak menampakkan minat terhadap kemampuan yang dimiliki oleh Jessica sebagai pelamar untuk posisi penulis di divisi kreatif Agensi Kkumui Haneul. Sebuah perusahan agensi digital sekaligus rumah produksi film-film terbaik yang berpusat di Korea. Tahun ini, Agensi Kkumui Haneul membuka lowongan pekerjaan untuk beberapa posisi di bidang kreatif untuk cabang barunya di Jakarta. Dan pria tampan berwajah maskulin ini adalah pemilik Agensi Kkumui Haneul. Jessica tidak pernah meragukan kemampuannya dalam menulis berbagai naskah cerita selama ini. Ia pun cukup optimis dengan pengalaman yang ia miliki itu, mampu membawanya mengisi kursi kosong di agensi ternama ini sebagai penulis skenario. Rasa percaya diri itu terus berkobar dalam dirinya tanpa sedikitpun tersentuh keangkuhan hingga hari ini ia bertemu dengan Marco. Seorang Presiden Direktur yang akan mengambil keputusan atas nasib surat lamaran kerja yang Jessica ajukan. Menghirup napas dalam-dalam, Jessica kembali membangun kepercayaan diri yang sempat porak-poranda dengan membalas tatapan Marco. “Tidak, Pak. Saya sangat yakin kemampuan saya akan memberikan pengaruh besar untuk agensi ini. Pengalaman yang saya punya melampaui kriteria yang diminta perusahaan. Selain itu, kepribadian saya yang mudah beradaptasi akan membantu saya untuk menyesuaikan diri lebih cepat dengan ritme kerja dan pengetahuan produk tentang Kkumui Haneul,” jawab Jessica percaya diri. Ia sudah melewati banyak rintangan untuk sampai di sini. Mulai dari menerobos padatnya kota Jakarta dan berperang dengan polusi yang mengudara bebas hingga mengganggu pernapasannya. Tentu Jessica tidak akan menyerah begitu saja. Setelah lima tahun melalang buana sebagai pekerja lepas, Jessica memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, lebih tepatnya, karena tuntutan hutang yang mencekik lehernya saat ini. Sekali lagi, Marco membaca selembar kertas curriculum vitae milik Jessica. Ekspresinya tak mudah dibaca oleh Jessica membuat wanita berusia 25 tahun itu geram. “Sampai saat ini saya belum merasa tertarik sama kamu. Padahal ini adalah tahap interview user terakhir. Seharusnya kamu bisa membuat saya yakin dengan kemampuan kamu. Tapi kalau cuma pengalaman lima tahun dan..” Marco menggantungkan kalimatnya. Melirik CV milik Jessica lagi, “kemampuan mudah beradaptasi, fresh graduate pun bisa.” Deg! “Saya rasa interview hari ini cukup, ya. Kamu boleh pulang sekarang,” ucap Marco dingin. Ia mengangkat sebelah tangannya ke udara, menunjuk dimana posisi pintu ruangan berada. Jessica masih mencerna ucapan Marco. Tidak percaya semudah itu pria kharismatik ini mengusirnya tanpa mempertimbangkan lebih jauh. “Um, apa Bapak tidak mau mencoba untuk mempertimbangkannya lagi? Saya lihat Bapak menolak saya bukan karena saya tidak memenuhi kualifikasi. Tapi karena-” “Terima kasih atas waktunya hari ini ini, Mbak Jessica Nathania. Senang bertemu dengan Anda dan hati-hati di jalan.” Belum usai Jessica menyelesaikan kalimatnya, Marco sudah menyela. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama sesi interview ini berlangsung pria kharismatik itu tersenyum padanya. Meski Jessica tahu senyuman Marco bukanlah senyum yang benar ia berikan sebagai penghormatan. Melainkan sebuah sinyal untuk merendahkan. “Baik kalau begitu, Pak. Terima kasih juga atas waktunya,” balas Jessica. Dengan perasaan kesal yang membulat di dadanya ia berbalik. Tanpa di sadari, ujung blazer yang ia kenakan menyenggol dokumen di atas meja kerja Marco. Melihat itu, sesuatu dalam diri Marco lantas bergejolak. Emosinya seakan ditarik sampai ke ubun-ubun. Sedangkan Jessica, melangkah menuju pintu dengan perasaan dongkol. Bibirnya tidak henti meracau dengan suara rendah. “Dasar om-om tua bangka. Ketahuan banget kalau dia ada sentimen sama gue. Lihat aja, kalau gue ketemu sama dia lagi, gue bakal buktiin sentimen dia itu nggak beralasan. Gue bakal bikin dia mohon-mohon buat jadi timnya,” gumam Jessica seraya mengulurkan tangannya hendak membuka pintu. Tetapi… “Hey, tunggu!” Langkah Jessica terhenti tepat di ambang pintu. Ia kemudian berbalik menghadap Marco yang memandangnya dengan sorot tajam sekaligus menaikkan sebelah alisnya. “Ya, Pak. Ada apa?” Ketika pandangannya kembali bertemu dengan Marco. Sebagian ruh dalam diri Jessica seolah melayang. Terbawa daya magis yang menguar dari wibawa Marco sebagai seorang pimpinan. “Kemarilah,” ucap Marco. Lebih terdengar seperti sebuah perintah dari pada permintaan. Sial! Jessica baru saja ia tolak mentah-mentah sebagai karyawan tapi pria itu bersikap seolah dirinya adalah atasan Jessica. Sambil mendengus dan dengan keterpaksaan, Jessica mendekat. “Apa lagi, Pak? Apa Bapak mulai berubah pikiran dan mutusin buat terima saya sekarang?” tanya Jessica malas. Masa bodoh dengan sikap hormat, sejak awal Marco yang sudah tidak menunjukkan respek terhadapnya. Marco menggeleng pelan. “Tidak, kamu menyenggol dokumen saya itu,” katanya. Menunjuk sebuah map yang posisinya melenceng diantara mp lain di bawahnya. “Kembalikan lagi posisinya seperti semula.” Mendengar itu, syaraf-syaraf di kepala Jessica memanas. “Bapak bercanda?” balasnya dengan emosi yang siap meledak. “Kenapa?” “Masa memanggil saya balik cuma buat benarkan posisi dokumen yang kegeser begini? Emangnya Bapak nggak bisa benerin sendiri?” “Kamu yang geser, kenapa saya yang harus bertanggung jawab? Lakukan aja, itu kan salahmu. Saya nggak suka barang-barang saya terusik. Jadi kamu harus kembalikan ke posisi semula.” Ruang kerja berukuran besar dengan model interior minimalis itu mendadak diselimuti ketegangan. Auranya mengalahkan ketegangan saat interview tadi karena dua orang dengan kepribadian yang bertolak belakang kini berperang dengan harga dirinya masing-masing. “Astaga!” Jessica mendengus. “Oke-oke, ini udah saya balikin ke posisi semula. Udah, ya. Jangan panggil saya lagi buat hal konyol kaya gini.” Menggunakan ujung jarinya Jessica menggeser ujung map hingga berada pada posisi yang presisi. Marco mengangguk puas sambil bersedekap. “Bagus! Kamu boleh pergi sekarang,” katanya. Tanpa menyahut lagi, Jessica langsung berbalik. Kali ini benar-benar meninggalkan ruangan tanpa pamit. Hatinya dongkol bukan main. Sepanjang lorong lantai dua belas, mulutnya tidak berhenti mengutuk. “Dasar cowok gila! Bisa-bisanya perusahaan sekelas Kkumui Haneul jadiin dia sebagai Presdir agensi sebagus ini!” Jessica menggerutu kesal. Harapannya untuk membangun karir di Kkumui Haneul kandas sudah hanya karena tingkah konyol seorang Presdir gila seperti Marco. Sedangkan pria itu, di ruangannya masih duduk diam menatap pintu yang tadi dibanting sedikit keras oleh Jessica. Tatapannya menyorot penuh arti menggambarkan isi kepala yang semrawut dihadapkan pada sosok wanita bar-bar dengan kesabaran setipis tisu. Ketika teringat sesuatu, pandangan Marco beralih ke arah telepon interkom. Tangannya berusaha menjangkau benda itu dan memencet satu nomor. Nomor telepon divisi HRD. “Kandidat terakhir tadi tidak bisa saya terima untuk mengisi posisi penulis skenario..” ujarnya dari balik telepon.“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat