Maserati milik marco berhenti tepat di depan lobi kantor. Petugas valet yang berjaga sigap menghampiri kedatangan sang bos besar pewaris Haneul Grup. Marco melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya secepat kilat. Mengedar pandang ke sekitar, demi memastikan seluruh barang pribadinya tak ada yang tertinggal. Di sebelahnya, Jessica ikut melakukan hal yang sama. Rambut pendek warna almondnya dikibaskan sebelah, menguarkan aroma bunga yang langsung menyapa indera penciuman Marco. Kekesalan Jessica pada sang suami kini berlapis-lapis. Sepanjang perjalanan Jessica membatin, apa yang ada di pikirannya waktu itu sampai berniat untuk menjalin kerja sama dan menyetujui pernikahan kontrak dengan Tuan Lee ini? Setelah pagi harinya dikejutkan dengan kelakuan Marco yang berani menyentuhnya, amarah tertahan di dada Jessica semakin gencar memprotes saat pria itu kembali berulah. Memutuskan untuk langsung terjun ke dalam proyek film yang akan Jessica tulis naskahnya. Padahal, Jessica men
Sebelah sudut bibir Sisil berkedut samar. Matanya yang berkilat penuh harap perlahan meredup saat Marco, pria yang sudah lima tahun menjadi incarannya, menolak mentah-mentah permintaannya untuk bicara secara personal.Bukan hanya menolak, Marco bahkan mengalihkan pembicaraan itu pada Jessica, sekretarisnya yang selalu berdiri setia di sisinya.Jessica menatap Sisil dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang, seperti biasa. “Mbak Sisil bisa sampaikan padaku. Aku akan meneruskan pesan Mbak ke Pak Marco.”Suasana di ruangan Sisil terasa hampa. Udara yang tadinya hanya berisi ketegangan kini berubah pekat, seakan menyimpan bara yang bisa menyala kapan saja. Sisil masih duduk di kursinya, jari-jarinya mencengkeram pinggiran meja dengan kuat. Pandangannya beralih sekilas ke sudut ruangan, tempat tumpukan naskah yang hampir setinggi pinggangnya berserakan tanpa arah.Jessica juga melihatnya. Dalam pikirannya, tumpukan itu mirip benteng Takeshi—hanya sa
Langit sore menua, semburat jingga di ufuk barat mulai meredup, tenggelam perlahan di balik gedung-gedung pencakar langit. Ruangan luas dengan interior modern terasa senyap, meski hawa panas ketegangan menguar di antara dua wanita yang berdiri berhadapan.Jessica menatap lurus ke arah Sisil, wajahnya tetap tenang, meski amarah telah merayapi hatinya. Sudut bibirnya melengkung tipis, tetapi bukan dalam bentuk senyuman ramah."Maaf, Mbak Sisil," katanya, suaranya jernih dan tegas. "Aku datang kemari untuk menjalankan tugas dari Pak Marco, bukan untuk mendengarkan masalah personal Mbak. Aku juga nggak peduli kalau Mbak berniat melamar Pak Marco jadi kekasih. Tapi kalau aku jadi Mbak Sisil, dengan cara murahan seperti itu, aku akan lebih tahu diri untuk menjaga sikap."Ucapannya meluncur tajam, setajam pisau yang mengiris harga diri Sisil.Sisil membeku. Matanya membelalak, bibirnya yang sedari tadi terbuka hendak berucap kini tertutup rapat. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbica
Kedua mata Jessica terbelalak, tepat ketika sebuah panggilan telepon barusaja berakhir sepihak. Ia lantas melempar ponselnya ke atas kasur karena hawa panas di kepalanya sudah memuncak. Mata sayu dan wajah polos tanpa riasan itu memerah. Bibir ranum merah muda bersungut-sungut tanpa suara. Kepalan tangan Jessica, siap menghajar apapun yang ada di depan matanya saat ini jika amarahnya tak bisa ia kendalikan. Apa ia tidak salah dengar? Pinjamannya di bank menunggak? Padahal jelas-jelas ia selalu memberikan uang cicilan setiap bulannya pada Teddy–sang kekasih– untuk di bayar. Jessica semakin geram. Dadanya naik turun karena menahan emosi. Ujian hidup macam apalagi ini? Mati-matian ia mengambil semua proyek kerja lepas sampai begadang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar cicilan, petaka baru datang lagi. Kemarahannya membawa Jessica beranjak dari kasur kemudian melangkah cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus bertemu Teddy hari ini dan memi
Masih jelas membekas di hati Jessica, bagaimana hidupnya jungkir balik 180 derajat semenjak kejadian seminggu lalu dimana ia menemukan sebuah fakta menyakitkan. Selama seminggu pula Jessica memutar otak untuk menyelesaikan masalah finansial yang harus ia tanggung sendirian sebab, dalang dari masalah ini justru sibuk mencari pembelaan publik alih-alih bertanggung jawab. Belum usai urusan finansial, Jessica juga harus terbiasa untuk berdiri sendirian. Di saat dulu ia selalu mengandalkan Teddy untuk menemaninya, kali ini ia dituntut untuk menata ulang masa depan dan kisah cintanya dari nol lagi. Seperti pepatah, uang bisa dicari, sakit hati tak mudah diobati. Kalimat itu terus berseliweran di kepala Jessica. Rasanya mau pecah dan mati saja tiap kali Jessica teringat pada momen kelam itu. Tetapi, satu hal yang patut Jessica syukuri. Di tengah kondisi finansial yang morat-marit, malaikat tanpa sayap berwujud sahabat, Tita, membantunya mendapatkan solusi terbaik untuk salah satu masa
Aroma fruity menyeruak tiap kali seorang wanita yang kini duduk berhadapan dengan Jessica menyibakkan rambut panjangnya. Pakaian wanita itu, terlihat berkelas dengan setelan formal blazer warna biru langit dan sepatu hak tinggi keluaran merek ternama. Di tangannya, wanita bernama Risa itu membawa sebuah dokumen. Sesuatu yang akan membawa nasib Jessica ke depannya. Sedangkan Jessica sendiri, duduk manis sejak kedatangannya setengah jam lalu. Di ruangan luas nan estetik di dominasi warna biru dan putih ini, Jessica mencoba membaur diri dengan orang-orang yang tidak cukup ramah atas kehadirannya. Ini kali keduanya datang ke kantor Kkumui Haneul. Setelah tiga hari tanpa kepastian, manajer HRD memanggilnya untuk datang kembali tanpa sebuah alasan. Tetapi, semua pertanyaan yang muncul di benak Jessica sejak semalam, kini terjawab. Sebuah map disodorkan Risa padanya. Senyum tipis itu tidak mengurangi kesan tegas yang mengalir kental di air wajahnya. “Ini kontrak kerjamu, Jessica. Kamu b
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Langit sore menua, semburat jingga di ufuk barat mulai meredup, tenggelam perlahan di balik gedung-gedung pencakar langit. Ruangan luas dengan interior modern terasa senyap, meski hawa panas ketegangan menguar di antara dua wanita yang berdiri berhadapan.Jessica menatap lurus ke arah Sisil, wajahnya tetap tenang, meski amarah telah merayapi hatinya. Sudut bibirnya melengkung tipis, tetapi bukan dalam bentuk senyuman ramah."Maaf, Mbak Sisil," katanya, suaranya jernih dan tegas. "Aku datang kemari untuk menjalankan tugas dari Pak Marco, bukan untuk mendengarkan masalah personal Mbak. Aku juga nggak peduli kalau Mbak berniat melamar Pak Marco jadi kekasih. Tapi kalau aku jadi Mbak Sisil, dengan cara murahan seperti itu, aku akan lebih tahu diri untuk menjaga sikap."Ucapannya meluncur tajam, setajam pisau yang mengiris harga diri Sisil.Sisil membeku. Matanya membelalak, bibirnya yang sedari tadi terbuka hendak berucap kini tertutup rapat. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbica
Sebelah sudut bibir Sisil berkedut samar. Matanya yang berkilat penuh harap perlahan meredup saat Marco, pria yang sudah lima tahun menjadi incarannya, menolak mentah-mentah permintaannya untuk bicara secara personal.Bukan hanya menolak, Marco bahkan mengalihkan pembicaraan itu pada Jessica, sekretarisnya yang selalu berdiri setia di sisinya.Jessica menatap Sisil dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang, seperti biasa. “Mbak Sisil bisa sampaikan padaku. Aku akan meneruskan pesan Mbak ke Pak Marco.”Suasana di ruangan Sisil terasa hampa. Udara yang tadinya hanya berisi ketegangan kini berubah pekat, seakan menyimpan bara yang bisa menyala kapan saja. Sisil masih duduk di kursinya, jari-jarinya mencengkeram pinggiran meja dengan kuat. Pandangannya beralih sekilas ke sudut ruangan, tempat tumpukan naskah yang hampir setinggi pinggangnya berserakan tanpa arah.Jessica juga melihatnya. Dalam pikirannya, tumpukan itu mirip benteng Takeshi—hanya sa
Maserati milik marco berhenti tepat di depan lobi kantor. Petugas valet yang berjaga sigap menghampiri kedatangan sang bos besar pewaris Haneul Grup. Marco melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya secepat kilat. Mengedar pandang ke sekitar, demi memastikan seluruh barang pribadinya tak ada yang tertinggal. Di sebelahnya, Jessica ikut melakukan hal yang sama. Rambut pendek warna almondnya dikibaskan sebelah, menguarkan aroma bunga yang langsung menyapa indera penciuman Marco. Kekesalan Jessica pada sang suami kini berlapis-lapis. Sepanjang perjalanan Jessica membatin, apa yang ada di pikirannya waktu itu sampai berniat untuk menjalin kerja sama dan menyetujui pernikahan kontrak dengan Tuan Lee ini? Setelah pagi harinya dikejutkan dengan kelakuan Marco yang berani menyentuhnya, amarah tertahan di dada Jessica semakin gencar memprotes saat pria itu kembali berulah. Memutuskan untuk langsung terjun ke dalam proyek film yang akan Jessica tulis naskahnya. Padahal, Jessica men
Dari jendela besar yang mengelilingi restoran di lantai enam puluh tiga ini, mata pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan kepul awan tipis yang berarak. Jika mereka sedikit menurunkan pandangannya, mereka akan menemukan deretan gedung yang menjulang tak kalah tinggi di sekitar gedung hotel ini. Begitu juga dengan pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta yang mulai padat. Mobil-mobil di bawah sana, hanya nampak sebesar ruas jari. Berjajar rapi membentuk garis lurus yang panjang tanpa akhir. Kontras dengan pemandangan kehidupan di kaki gedung ini, keluarga konglomerat bermarga Lee baru saja masuk ke dalam restoran. Langkah mereka dipimpin oleh Joanna yang berjalan paling depan. Di belakangnya, Marco dan Jessica mengekori. Para pelayan sudah berbaris rapi di pintu masuk, kompak membungkuk memberi salam hormat ketika langkah keluarga itu sudah mencapai bibir pintu restoran. Ini pertama kalinya Jessica memasuki area kelas naratama. Dimana sosok yang berasal dari kalangan menengah
“Jessica, bangun.” Seuntai kalimat itu mampir di telinga Jessica, namun kesadarannya belum pulih sempurna ketika dua kata yang keluar dari suara berat seseorang itu, kembali melantun lembut namun tetap terdengar tegas. “Jessica,” panggil suara itu lagi. Kali ini lebih menuntut. Jessica, masih berkelit dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Semakin lama dibiarkan matanya terpejam, semakin sulit lepas dari jeratan ranjang nyaman ini. Jessica baru bisa terlelap subuh tadi. Masih sempat berguling ke sana-kemari menguasai permukaan empuk ranjang itu. Sempat terlintas di pikirannya, jika ia berbaring dengan sosok yang ia cintai di sana, pasti malam itu akan terasa lebih istimewa. Sayangnya, itu hanya ilusi belaka. Nyatanya kini Jessica hidup di bawah kuasa seorang pria keturunan konglomerat. Menghamba pada sosok itu demi sebuah pembalasan dendam. Sedangkan, kesabaran Marco pagi ini hanya setipis tisu. “Jessica, bangunlah!” Suaranya lebih keras. Ia tarik sedikit selimut ya
Debat panas tadi, cukup menguras emosi Jessica. Tak terasa waktu sudah beranjak pagi dan Jessica baru bisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar yang kosong. Sekosong hati dan pikirannya saat ini. Kedua kaki Jessica menjuntai di sisi tempat tidur. Berayun pelan mengiringi gumaman merdu dari mulutnya. Ranjang empuk ini, adalah salah satu dari bagian mimpinya di masa depan. Hidup bergelimang harta tanpa perlu mengkhawatirkan hari esok adalah impian Jessica semenjak hidupnya berubah 180 derajat lima belas tahun lalu. Alih-alih sukses lewat jalannya sendiri, siapa sangka takdir menariknya ke dalam lingkar kehidupan yang semrawut. Jessica tumbuh dengan beban berat di pundaknya setelah ibunya, meninggal tepat setelah melahirkan Thania, adiknya. Sedang, sang Ayah, yang digadang-gadang menjadi garda terdepan, justru mengecewakan. Kecanduan main perempuan dan judi daring membuat Jessica kehilangan sosok orang tua satu-satunya. Masa kecil penuh beban menjadikan
Deru napas Jessica semakin cepat, dadanya bergejolak ketika wajah pria pemilik rahang tegas dan mata elang itu terpampang di depan matanya. Kurang dari sepuluh senti, aroma woody dari tubuh Marco, dan aroma bunga sakura dari Jessica berbaur menciptakan sebuah harmoni aroma yang sialnya.. memabukkan! Jessica masih mematung di sana, meski Marco berusaha mengungkungnya dengan senyum penuh intimidasi yang kuat. Kedua tangan Jessica menggantung bebas di sisi gaun, terkepal erat menahan canggung yang berusaha menenggelamkannya pada sebuah ilusi. Sempat terlintas di pikiran Jessica, mungkinkah, malam ini akan menjadi malam dimana Jessica benar-benar diperlakukan sebagai istri meski, statusnya hanya istri bayaran. Melihat bagaimana Marco menunjukan reaksi atas ucapannya tadi, dengan tidak tahu dirinya Jessica menaruh harapan. Marco tersenyum miring, melihat Jessica yang menahan napas disambutnya dengan kekehan rendah. Jessica seperti anak itik yang kehilangan induknya. “Kenapa? Kamu takut?
“Pengantin baru, harus diantar sampai ke kamar.” “Tidak perlu, Ma. Aku dan Jessica bisa balik ke kamar berdua saja.” Kerumunan yang semula dipadati oleh para tamu undangan, kini mulai terpecah belah tepat etika jam pesta telah dinyatakan selesai. Di dalam ballroom hotel tempat resepsi pernikahan putra pewaris Haneul Group itu mulai lengang. Hanya beberapa orang yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang begitu, dua pilar utama pesta ini tengah sibuk berdebat untuk masalah yang menurut Jessica, sepela. Perdebatan ibu dan anak ini entah sampai kapan bergaung memenuhi telinga Jessica. “Eh! Kamu paham pamali, nggak? Pengantin baru itu harus didampingi sampai kamar.” Joanna berusaha mempertahankan lagi argumennya. Namun, karena sikapnya, Wanita dengan rambut Kundai alias Konde simpul khas Korea dipadukan dengan Binyeo–tusuk konde–justru terkesan terlalu memaksakan kehendaknya. Lagi-lagi, Jessica harus menjadi penengah. Terlebih, saat ini dirinya sudah resmi menjadi istri
Tinggal satu hari pernikahan putra mahkota Agensi Kkum Haneul akan diselenggarakan. Di dalam sebuah ballroom hotel tim perencana acara berlalu lalang melangkah berpacu dengan hitungan waktu. Peluh di wajah mereka menjadi pertanda betapa keras merek berjuang menahan kantuk dan lelah demi menghadirkan acara dengan konsep Royal Wedding termegah tahun ini. Di tengah lalu lalang orang-orang itu, Marco berdiri di depan pelaminan yang sudah berdiri sempurna dengan sentuhan dekorasi bunga di dominasi warna biru langit yang menyegarkan dan putih yang melambangkan kesucian. Pelaminan dipenuhi oleh dekorasi bunga mawar biru dan lily berbentuk gapura di bagian tengah tepat di belakang sofa mewah pengantin warna beige. Lampu LED berkelap-kelip di balik rangkaian bunga itu. Kontras dengan latar belakang pelaminan yang didominasi warna putih. Diantara sofa pengantin, dua pasang kursi khusus orang tua bersanding rapi. Pikiran Marco mulai bermain, membayangkan Joanna mengisi salah satu sisi kursi i