“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi.
Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica. Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, adiknya. “Kamu masuk dulu, ya. Biar Kakak yang selesaikan urusan ini,” titahnya. Saat mengatakan itu, Jessica tak sengaja memergoki bayangan ayahnya yang mengintip dari jendela kamar. Alih-alih membantu Jessica menenangkan keadaan, sosok itu justru bersembunyi membiarkan putrinya menghadapi masalah sendirian. Lila menurut, meski dengan tubuh sedikit bergetar, ia melangkah masuk ke dalam rumah. “Punya ayah tapi berasa nggak punya ayah,” gumam Jessica kesal. “Jadi gimana, Mbak? Kalau Mbak nggak bayar hari ini, nama baik Mbak tercoreng di data nasabah bank kami. Kalau itu terjadi, Mbak akan kesulitan mengajukan pinjaman lain kedepannya,” ucap satu pria lain di sebelah pria yang membentak Jessica tadi. Pria itu bersikap lebih sopan. Kontras dengan rekannya. “Bisakah saya minta keringanan, Pak? Saya belum ada uangnya. Uang pinjaman itu bukan saya yang pakai.” Jessica mendesah frustasi. Dua orang pria itu saling melempar pandang. “Mau siapapun yang pakai uangnya, itu bukan urusan kami, Mbak. Kami hanya menjalankan tugas aja.” “Untuk sekarang, saya belum ada uangnya. Kalau saya minta keringanan waktu bagaimana?” Para Debt Collector nampak saling bernegosiasi dalam diam, hingga pria pertama yang mewakilkan untuk menjawab, “oke, kami kasih waktu satu minggu untuk bayar sesuai nominal tunggakan. Tapi ingat, ya, Mbak. Ini adalah keringanan terakhir. Kalau Mbak lalai lagi, kami akan menyita barang apapun di rumah ini sampai nilainya setara sama tunggakan Mbak Jessica.” Fiyuh.. Akhirnya Jessica bisa bernapas lega. Ia mengangguk, meski belum tahu pasti bagaimana caranya ia akan membayar semua itu. Setelah mencapai kesepakatan bersama, dua pria tadi pergi, meninggalkan rasa penasaran para tetangga yang menyaksikan adegan riuh sebelumnya. Dari siang hingga sore menyapa Jessica mengurung diri di kamar. Kondisi kamar yang berantakan dengan bungkus cemilan seakan menggambarkan situasi pikirannya saat ini. Jessica memilih menghabiskan stok cemilan alih-alih makan masakan Lila meski adiknya sudah membujuk untuk keluar kamar. Itu semua karena harapan satu-satunya untuk bekerja penuh waktu di agensi itu kandas sudah. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan nanar, “tinggal tiga juta. Mana cukup buat sebulan,” gumamnya lirih. Hanya itu satu-satunya tabungan yang Jessica punya. Sebelumnya, sudah habis untuk memenuhi kebutuhan rumah dan biaya kuliah Lila. Melihat deretan angka di rekening pribadi membuat hati Jessica meringis pilu. Kesakitannya semakin diperparah ketika secara tak sengaja, gulir jemari Jessica di layar ponselnya berhenti pada sebuah postingan yang memilukan. Laman akun media sosialnya dipenuhi dengan postingan milik Teddy. “Dia nyebelin banget, sih! Gue jungkir balik nyari uang, dia enak-enakan jalan sama cewek lain. Flexing hidup mewah pula!” gerutu Jessica tak terima. Hatinya memanas melihat senyum lebar tanpa beban yang Teddy tunjukkan di foto itu. “Awas aja, ya, Ted! Gue nggak akan biarin hidup lo tenang. Lo udah selingkuh dari gue, dan tinggalin beban hutang yang buat gue hampir gila begini. Lo harus rasakan apa yang gue rasakan sekarang!” Segala sumpah serapah dan makian Jessica langitkan. Berharap semesta mendengar dan mewujudkan ucapannya untuk pria tidak tahu diri macam Teddy. Ketika mulut Jessica tidak bisa diam, hal lain yang muncul di ponselnya membuat perhatian Jessica teralih. kedua matanya membola membaca deretan pesan balasan dari pengirim yang tidak ia duga. Kkumui Haneul Agency Dear Jessica Nathania, Kami dari Kkumui Haneul Agency ingin mengucapkan Selamat! Kamu resmi diterima sebagai bagian dari tim kami! Harap hadir esok hari ke kantor pusat kami untuk melakukan serangkaian prosedur perekrutan dan pelatihan kerja... Jessica hampir limbung ketika membaca pesan itu. Saking gembira dan antusiasnya, ia tidak membaca detail pesan hingga ke akhir. “Akhirnya gue keterima kerja!” katanya berteriak kencang hingga seluruh penghuni rumah itu terheran-heran. * Ini hari pertama Jessica bekerja. Seharusnya saat ini ia tengah sibuk mengetik ribuan kata untuk menciptakan sebuah naskah cerita yang apik. Sesuai dengan pekerjaan yang ia lamar, penulis skenario. Tetapi, apa yang ada di hadapannya kini justru berbanding terbalik. Meja kerja yang sudah disiapkan untuknya dipenuhi tumpukan dokumen. Melihat itu semua, mendadak perut Jessica nyeri. Berapa banyak obat asam lambung yang harus ia minum setiap hari setelah mengerjakan sederetan daftar kerja yang diberikan sosok pria yang kini duduk tenang di balik meja kekuasaannya. “Kenapa kamu lihat saya begitu?” Pertanyaan itu bagaikan sebilah pisau yang langsung menancap tepat di iris cantik Jessica. Didukung dengan tatapan tajam dari Marco. “Kamu keberatan dengan posisi ini? Kalau begitu kamu bisa ajukan surat pengun–” “Nggak, Pak. Saya nggak keberatan jadi sekretaris Bapak,” sela Jessica. Ya, akibat keteledorannya sendiri yang tidak membaca lengkap balasan surel dari HRD semalam, Jessica berakhir di sini. Satu ruangan dengan sosok pria yang ia maki dalam diam kemarin pagi. Tentu dengan jabatan yang jauh berbeda dari yang Jessica perkirakan. Alih-alih mengisi posisi sebagai penulis skenario, Jessica malah mengisi posisi kosong sebagai sekretaris pribadi Presdir Kkumui Haneul Agensi. Pagi tadi, dengan penuh percaya dirinya ia datang ke kantor pusat agensi ini untuk melakukan pelatihan kerja. Ketika dua orang lain masuk ke ruang divisi kreatif, hanya dirinya yang dibawa menuju ruang Presdir. “Dengan kamu menginjakkan kaki di ruangan saya sekarang, artinya kamu sudah menyetujui untuk mengisi posisi sebagai sekretaris. Dan saya tidak menerima pembatalan keputusan apapun setelahnya,” ucap Marco tadi pagi. Hingag kini kalimat itu masih menghntui Jessica dan membuatnya gelisah. “Bagus! Setelah semua dokumen itu selesai kamu periksa. Tolong kamu bereskan lemari buku saya itu.” Pandangan Jessica mengikuti kemana arah jari telunjuk Marco tertuju. Pria berdarah Korea itu menunjuk sebuah lemari buku di sudut ruangan. Jessica mengernyitkan dahinya. Tidak yakin dengan apa yang ia lihat dan apa yang dimaksud oleh Marco, membereskan lemari itu. “A-apa yang harus saya bereskan, Pak?” tanyanya. Pasalnya, tidak ada satu hal pun yang perlu dibereskan dari lemari itu. Semua buku berjejer rapi di tempatnya. Marco mendesah kesal. “Kamu tidak lihat posisi buku paling ujung di kanan atas lemari itu, miring?” kata Marco. Jessia kembali memicingkan kedua matanya, berusaha fokus dengan objek yang dimaksud bosnya. Namun, seberapa keras pun ia meneliti, di matanya, tidak ada yang salah dengan buku-buku itu. “Saya rasa nggak, Pak,” jawabnya. “Itu miring, Jessica. Cepat benarkan posisinya sekarang,” titah Marco. Jessica sungguh penasaran. Apa penglihatan belakangan ini tidak bekerja dengan baik. Ia mendekati lemari itu, ketika sampai di depannya, buih-buih amarah di dadanya mulai memberontak. Perlahan naik sampai keubun-ubun. “Pak, ini cuma sedikit menjorok keluar posisinya. Bukannya miring,” protes Jessica sambil menahan kesal di dada. Sungguh, mati-matian ia mencari kesalahan yang dimaksd Marco, sampai matanya sakit, kesalahan itu hanya bisa ia lihat ketika sudah berdiri tepat di depan lemari. “Dari sini kelihatannya posisi buku itu tidak sejajar dengan buku lainnya. Kembalikan ke tempatnya semula. Saya tidak suka dengan hal-hal yang tidak presisi,” kata Marco datar kemudian beralih lagi pada pekerjaannya. Jessica mendengus kesal, jelas saja bagi Marco posisi buku itu tidak sejajar karena posisi meja kerjanya sejurus dengan posisi lemari. Sial! Pria ini sepertinya memang berniat menguji kesabaran Jessica. Bersama segala perasaan yang berkecamuk di dada Jessica kembali ke meja kerjanya, di balik tumpukkan kertas mengelus dada demi memupuk sabar meski sambil menggerutu. “Sabar, Jes. Lo butuh duitnya. Perbanyak sabar..” Dari pagi sampai menjelang jam makan siang tiba, Marco tidak henti-hentinya meminta Jessica untuk membenahi barang-barang yang tidak sesuai dengan pandangan mata pria itu. Marco benar-benar seorang maniak untuk kebersihan dan keteraturan namun bagi Jessica hal itu adalah sebuah petaka. “Pak, semua barang di sini sudah presisi. Bapak mau ngerjain saya, ya?” ucap Jessica sambil mengatur napasnya yang megap-megap. “Sepertinya matamu yang harus dicek ke Optometri. Sebagai sekretaris pribadi saya, kamu harus mulai terbiasa dengan hal itu.” “Mati lah gue..” gumam Jessica. “Apa kamu bilang?” Jessica menggeleng cepat, senyum seindah bidadari ia persembahkan untuk Marco. Peduli setan jika pria itu akan menganggapnya sebagai penjilat. “Oh, nggak. Saya nggak ngomong apa-apa, Pak.” Di saat Marco hendak membuka mulutnya lagi, suara ketukan sepatu hak tinggi menginterupsi. Pintu ruang kerja Marco terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu dengan senyum lebarnya. Namun, Marco yang melihat kedatangan wanita itu malah pucat pasi. “Marco, kamu kenapa masih di sini? Seharusnya kamu udah berangkat dari tadi,” kata wanita itu. Penampilannya elegan, mengenakan dres satin warna putih dengan model sederhana. Kelas sosialnya ditunjukkan dari seberapa besar liontin berlian dan cincin yang ia kenakan, menyilaukan mata. Jessica sadar diri akan posisinya, sehingga ia memberikan ruang khusus untuk kehadiran wanita itu. “Berangkat kemana lagi, Ma? Aku sibuk. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” balas Marco terlihat jengah. Jessica bisa melihat keengganan yang begitu besar di mata Marco atas tuntutan yang diberikan wanita paruh baya itu padanya. Mendadak ia merasa iba namun, tiap kali mengingat bagaimana perlakuan Marco padanya, Jessica kembali kesal. “Mama udah bilang, hari ini kamu ada kencan buta sama anak kolega Mama. Kamu pasti lupa lagi. Kali ini mau cari alasan apalagi?” Marco menghela napas berat. Kancing jasnya ia kendurkan untuk membuat dirinya lebih leluasa dalam bereaksi. “Aku tidak mau pergi ke acara konyol seperti itu. Sudah berulang kali aku bilang.” Wanita yang Marco panggil Mama itu melirik putranya tajam. “Kalau kamu menolak terus, kapan kamu nikahnya? Sudah kepala tiga masih jomblo begini. Anaknya teman-teman Mama udah pada kasih menantu. Kamu memang suka lihat Mama diejek teman-teman arisan Mama, ya?” “Bukan begitu, Ma.” Marco berusaha meluruskan. Ia bangkit dari kursinya, mendekati sang ibu seraya menggenggam tangannya. “Pernikahan itu bukan mainan atau ajang memenuhi standar orang lain.” “Kalau begitu, penuhi saja standar Mama. Mama cuma minta kamu menemukan wanita yang baik kok. Kalau kamu menolak pertemuan kali ini, Mama nggak akan segan buat jodohin kamu sama anaknya Tante Jelita.” Melawan ras terkuat di muka bumi ini, perlu mental yang tangguh. Dari balik meja kerjanya Jessica diam-diam menikmati perdebatan ibu dan anak itu. Sesekali mengejek Marco dalam hatinya. “Hahaha, jomblo bangkotan ternyata,” batin Jessica. Hatinya sedikit terhibur setelah seharian ini dibuat kesal. Melihat Marco menjadi bulan-bulanan ibunya, Jessica tertawa puas. “Tidak, apalagi ide konyol itu. Aku tidak akan datang ke pertemuan apapun, atau jenis perjodohan apapun, titik,” putus Marco. “Lagipula aku sudah punya pacar,” ujar Marco lagi. Ide itu mendadak muncul di kepalanya dan terucap begitu saja. Demi meredam tuntutan dari Joanna, Marco tidak berpikir panjang sebelum bicara. Mata Joanna berbinar terang setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan putranya. “Jadi selama ini kamu punya pacar? Kenapa nggak bilang sama Mama dari awal?” Marco tersenyum kikuk. “Aku.. hanya nggak suka privasiku diumbar.” Plak! Jawaban Marco sontak dihadiahi dengan pukulan telak dari Joanna di lengan sang putra. “Kamu anggap Mama apa sampai berita kamu punya pacar, kamu anggap privasi? Sekarang kasih tahu Mama, siapa pacar kamu? Suruh dia datang ke sini dan bilang kalau Mama mau bertemu sama dia.” Jeder! Napas Marco tercekat di tenggorokan hingga membuatnya terbatuk-batuk. “A-apa?” “Iya, Mama mau ketemu pacar kamu. Telepon dia sekarang. Mama mau ketemu calon menantu Mama.” Dari balik meja Jessica menahan tawa. Dari reaksi Marco barusan tentu terlihat jelas Marco sedang berusaha untuk mengelabui ibunya sendiri. “Dasar bodoh! Kenapa nggak mengaku aja kalau dia jomblo abadi? Itu sama saja menjebloskan diri ke kandang singa.” “Kenapa melamun? Cepat telon dia, Marco. Kamu ini suka sekali menguji kesabaran Mama,” perintah Joanna lagi. Kali ini lebih tegas. Marco yang gelagapan berusaha memaksa kepalanya untuk memproduksi ide. Sungguh, pengakuan tentang pacar tadi tidak lebih dari sekedar skenario belaka yang diharapkan mampu meredam kehebohan Mamanya saja. Tetapi, kini skenario itu justru balik menyerang Marco . Dipaksa bekerja keras otak Marco tak terima. Ia beralih pada Jessica yang sedang sibuk mengetik tiba-tiba, sesuatu dalam dirinya mendorong kuat untuk mengatakan satu hal. “Tidak perlu ditelepon. Pacarku ada di sini,” ucap Marco. Pandangan Joana beralih mengikuti arah pandang putranya. “Namanya Jessica.” Dua pasang mata kini tengah menatap Jessica dengan sorot yang bertolak belakang. Ia mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang menjadi tempat persembunyiannya selama ini. Sedetik kemudian jessica melihat Marco melangkah mendekatinya. Dengan tangan kekarnya yang terjulur, pria itu berkata, “sayang, kemarilah. Sudah waktunya Mamaku mengenalmu.”“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat