Dari belakang, pundak lebar itu menegang dalam balutan jas mahal kesayangannya. Sambil berkacak pinggang pertanda penolakan begitu besar siap terlontar bagaikan bom waktu yang siap meledak. Tak jauh dari tempat Marco berdiri, Jessica diam mematung di balik meja kerja. Diam-diam menghitung mundur menunggu bom yang ia serahkan pada Marco beberapa menit lalu. Ketika tubuh kokoh bak tembok China itu berbalik, sorot mata menghujam penuh penghakiman tertuju pada Jessica. Seakan wanita pemilik surai pendek coklat gelap itu adalah mangsa yang nikmat untuk dilahap. “Saya memang memintamu menjadi kekasih, tapi bukan berarti kamu bisa mengatur saya!” tegas Marco. Iris Hazel gelapnya berkilat tajam. Seperti mata pisau yang baru diasah. “Sampai kapanpun saya tidak akan pernah datang kesana!” tegasnya lagi. Kembali memutari meja kerja dengan langkah penuh hentakan kemudian duduk di kursi kebesarannya. “Maaf, tapi saya sudah janji akan bawa Bapak ke sana. Lagipula, tempat itu adalah pembaringan
Tinggal satu hari pernikahan putra mahkota Agensi Kkum Haneul akan diselenggarakan. Di dalam sebuah ballroom hotel tim perencana acara berlalu lalang melangkah berpacu dengan hitungan waktu. Peluh di wajah mereka menjadi pertanda betapa keras merek berjuang menahan kantuk dan lelah demi menghadirkan acara dengan konsep Royal Wedding termegah tahun ini. Di tengah lalu lalang orang-orang itu, Marco berdiri di depan pelaminan yang sudah berdiri sempurna dengan sentuhan dekorasi bunga di dominasi warna biru langit yang menyegarkan dan putih yang melambangkan kesucian. Pelaminan dipenuhi oleh dekorasi bunga mawar biru dan lily berbentuk gapura di bagian tengah tepat di belakang sofa mewah pengantin warna beige. Lampu LED berkelap-kelip di balik rangkaian bunga itu. Kontras dengan latar belakang pelaminan yang didominasi warna putih. Diantara sofa pengantin, dua pasang kursi khusus orang tua bersanding rapi. Pikiran Marco mulai bermain, membayangkan Joanna mengisi salah satu sisi kursi i
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Tinggal satu hari pernikahan putra mahkota Agensi Kkum Haneul akan diselenggarakan. Di dalam sebuah ballroom hotel tim perencana acara berlalu lalang melangkah berpacu dengan hitungan waktu. Peluh di wajah mereka menjadi pertanda betapa keras merek berjuang menahan kantuk dan lelah demi menghadirkan acara dengan konsep Royal Wedding termegah tahun ini. Di tengah lalu lalang orang-orang itu, Marco berdiri di depan pelaminan yang sudah berdiri sempurna dengan sentuhan dekorasi bunga di dominasi warna biru langit yang menyegarkan dan putih yang melambangkan kesucian. Pelaminan dipenuhi oleh dekorasi bunga mawar biru dan lily berbentuk gapura di bagian tengah tepat di belakang sofa mewah pengantin warna beige. Lampu LED berkelap-kelip di balik rangkaian bunga itu. Kontras dengan latar belakang pelaminan yang didominasi warna putih. Diantara sofa pengantin, dua pasang kursi khusus orang tua bersanding rapi. Pikiran Marco mulai bermain, membayangkan Joanna mengisi salah satu sisi kursi i
Dari belakang, pundak lebar itu menegang dalam balutan jas mahal kesayangannya. Sambil berkacak pinggang pertanda penolakan begitu besar siap terlontar bagaikan bom waktu yang siap meledak. Tak jauh dari tempat Marco berdiri, Jessica diam mematung di balik meja kerja. Diam-diam menghitung mundur menunggu bom yang ia serahkan pada Marco beberapa menit lalu. Ketika tubuh kokoh bak tembok China itu berbalik, sorot mata menghujam penuh penghakiman tertuju pada Jessica. Seakan wanita pemilik surai pendek coklat gelap itu adalah mangsa yang nikmat untuk dilahap. “Saya memang memintamu menjadi kekasih, tapi bukan berarti kamu bisa mengatur saya!” tegas Marco. Iris Hazel gelapnya berkilat tajam. Seperti mata pisau yang baru diasah. “Sampai kapanpun saya tidak akan pernah datang kesana!” tegasnya lagi. Kembali memutari meja kerja dengan langkah penuh hentakan kemudian duduk di kursi kebesarannya. “Maaf, tapi saya sudah janji akan bawa Bapak ke sana. Lagipula, tempat itu adalah pembaringan
Ruang kerja itu terasa pengap, sebab keseriusan Marco membawa suasana di sana menjadi lebih tegang. Dari mejanya, Jessica mengintai awas bosnya yang kini nampak frustasi. Kerutan semakin jelas di wajah Marco, setiap lembar naskah skrip yang dibanyanya semakin mempertegas keraguannya.“Jessica,” panggilnya. Memecah keheningan yang sejak tadi menemani Jessica kikuk. Mendongak dari balik layar komputer yang besar, Jessica menyahut. “Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Marco bergeming. Sedikitpun sorot awas di matanya tidak bergeser. “Kamu yakin bisa mengurus naskah film tahun ini?” Senyum Jessica semakin cerah. Lantas ia berdiri dari kursi, memamerkan raut wajah penuh keyakinan meski Marco tak beralih. “Saya yakin dengan potensi saya, Pak,” jawabnya. “Bukan karena kamu mau lari dari tanggung jawab sebagai sekretaris ‘kan?” Itu salah satunya, batin Jessica. “Nggak, Pak. Saya yakin karena tema film itu sesuai dengan..” Saat Jessica sengaja menjeda ucapannya, Marco baru tertarik meng
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad