“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras.
Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco membentuk garis lurus, dengan sorot mata tajam penuh intimidasi ia beralih ke sisi Jessica. “ “Aku akan membayar gajimu, lima kali lipat kalau kamu mau bantu aku kali ini,” bisik Marco. Seperti robot kepala Jessica menoleh ke samping, penuh tanya. Marco menghela napas kesal, sambil meredam amarah karena kemampuan mencerna Jessica yang lamban ia kembali berbisik. “Berpura-puralah jadi pacar saya di depan Ibu Joanna. Akan aku berikan bayaran yang setimpal untukmu.” Bayang-bayang lembaran uang bak rintik hujan mengisi kepal Jessica yang kosong. Bahkan butuh waktu cukup lama baginya untuk mencerna situasi jika Marco tidak berinisiatif untuk memberikan penjelasan. “O-Oh! Iya! Sayang, maaf. Aku terlalu terkejut,” ucap Jessica setelah sepenuhnya roh wanita itu kembali ke tubuhnya. Ia mengembangkan senyum paling menawan untuk Marco, kemudian dibagikan pada Joanna yang kini menatapnya puas. Marco membimbing Jessica mendekati Joanna, tidak peduli seberapa pucat wajah Jessica saat ini berhadapan dengan ratu terakhir penguasa Agensi Kkum Haneul. “Ma, kenalkan, ini Jessica, pacarku,” kaa Marco. Joanna mengangguk pelan, tidak sedetikpun mengalihkan pandangannya dari Jessica. Pandangan yang tidak bisa Jessica artikan namun cukup menciptakan canggung yang menusuk. Ini hanya akting, tapi mengapa rasanya seperti sedang berhadapan dengan calon mertua sungguhan? Batin Jessica berkelakar. Menolak perintah Marco meski pria itu menjanjikan bayaran yang setimpal. Harga diri Jessica dipertaruhkan oleh bagaimana reaksi Joanna nantinya. “Jessica..” Bibir tipis Joanna yang diselimuti gincu marun bergumam lirih. Ketika namanya disebut, Jessica berusaha keras menyembunyikan bulu roma yang meremanag di sekujur tubuhnya. Ia melirik Marco lewat ekor mata, memohon pada pria itu untuk memecah kecanggungan. Sialnya, Marco tidak memiliki kepekaan yang cukup sebagai lelaki, alih-alih paham, pria itu justru membiarkan Jessica tenggelam dalam kecanggungannya sendiri. “Kamu sekretarisnya Marco?” tanya Joanna. Jessica mengangguk sopan, “benar, Bu.” “Sudah berapa lama kalian berhubungan?” Tubuh Jessica menegang, lirikannya semakin kaku terarah pada Marco memohon pertolongan. “Um, kami sudah berhubungan kira-kira..” “Satu tahun, Ma,” sela Marco cepat. Jessica melotot mendengar jawaban spontan yang terucap dari bibir tipis Marco. “Aku dan Jessica sudah pacaran satu tahun. Tapi, kami sengaja tidak memberitahu siapapun karena alasan privasi,” jelas marco lagi. Dalam hati Jessica merutuk keputusan Marco untuk berbohong yang kesekian kalinya. Itu sama saja ia menyeret Jessica ke dalam dosa besar karena telah mengelabui sosok yang digadang akan menjadi mertua Jessica nanti. Oh! Jessica harap, itu predikat itu tidak akan menjadi kenyataan. “Ya ampun, kalau kamu bilang sama Mama, Mama pasti nggak akan paksa kamu buat cari jodoh, Marco,” ucap Joanna . Nada bicaranya mendadak berubah ramah. Berbanding terbalik dengan reaksinya beberapa saat lalu. Joanna mengalihkan pandangannya ke arah Jessica, kali ini dengan seulas senyum tulu yang menggetarkan hati. “Jadi, ini calon menantu Mama?” Joanna mengulurkan tangan, menyentuh pipi mulus Jessica pelan. “Cantik sekali.” “Terima kasih atas pujiannya, Bu. Ibu juga cantik sekali.” Senyum di wajah Joanna pudar setelah Jessica mengatakan itu. “Jessica, beraninya kamu panggil saya ibu?” ucap Joanna kemudian. Sorot matanya tajam karena tak terima. “M-maaf, kalau saya lancang. Kalau begitu saya akan panggil–” “Mama.” Deg! Baik Marco maupun Jessica kompak ternganga. Bola mata mereka hampir mencuat keluar karena syok. “Panggil saya Mama. Karena kamu pacarnya Marco, saya nggak mau ada jarak diantara kita, Jessica.” Suasana di ruangan itu terasa lebih panas, hingga Jessica harus pintar-pintar mencari angin segar untuk menandaskan ketegangan diantara dirinya dengan Marco. “Ma, aku rasa itu terlalu berlebihan,” ucap Marco memprotes. Joanna langsung memberinya ultimatum. “Berlebihan bagaimana? Itu tradisi keluarga kita, Marco. Siapapun yang memiliki hubungan khusus dengan keturunan keluarga Lee, akan dianggap sebagai bagian dari kita semua,” tutur Joanna. Ia kembali menatap Jessica yang salah tingkah. “Kamu nggak keberatan ‘kan, Jes? Jessica merasakan ubun-ubunnya berdenyut kencang. Kebiasaan setiap kali ia gugup menghadapi sebuah situasi diluar kendalinya. Kedua kelopak mata tipisnya mengerjap, sedang sosok wanita paruh baya di depannya memandang Jessica penuh harap. “I-iya, Ma.” “Nah, begitu dong! Kalau Marco sudah punya pacar, Mama lega sekarang.” Langkah kaki Joanna yang dibalut heels keluaran terbatas dari merek Manolo Blahnik model Hangisi Satin Pump dikayuh menuju meja kerja Marco. Tempat dimana Joanna menaruh Hermes Bleu Mykonos Matte Alligator Birkin warna biru yang menyalip kekuasan sang putra mahkota di ruangan itu. “Mama senang akhirnya putra tunggal Mama sudah berkencan sekarang. Jadi, Mama akan menepati janji Mama untuk membatalkan jadwal kencan buta hari ini,” putus Joanna. Dagunya terangkat sedikit menunjukkan kebanggan yang begitu besar. Seolah putranya baru saja meraih pencapaian terbesar dalam hidup. Di sisi lain, Marco tersenyum lega mendengar itu. Tidak masalah jika ia harus berbohong sekali untuk menghentikan ide gila mamanya. Berkencan bukan hal yang masuk ke dalam prioritas hidup Marco saat ini. “Mama janji ‘kan, tidak akan memaksaku untuk pergi kencan buta lagi?” tanya Marco. Jika memungkinkan, ia akan menyiapkan surat perjanjian hitam di atas putih untuk keputusan ini. Joanna mengangguk yakin. “Ya, tentu. Mama sudah puas melihat Jessica. Dia cantik, jika menempati posisi sebagai sekretaris kamu sudah pasti dia wanita yang cerdas. Selebihnya, Mama nggak akan mempermasalahkan apapun.” “Deal, Ma!” Marco menjabat tangan Joanna penuh semangat. Binar bahagia muncul di kedua matanya. Berbeda dengan Jessica yang justru diam, meredam rasa bersalah karena telah membohongi Joanna. “Oke, kalau begitu Mama pulang dulu.” Joanna meraih tas mewahnya, menjinjingnya menuju pintu. Jessica menghela napas lega. Akhirnya setelah beberapa saat berperang dengan drama, aktingnya akan selesai. “Hati-hati di jalan, Ma. Kabari aku kalau sudah sampai rumah,” kata MArco, mengantar wanita berusia lima puluhan itu keluar ruangan. Namun, ketika dua orang itu sampai di ambang pintu, langkah Joanna terhenti. “Tunggu, Marco,” kata Joanna. Ia berbalik menghadap Jessica yang masih berdiri di tempat yang sama. Sontak wanita pemilik rambut model soft layer itu kembali mengukir senyum sungkan. “Jessica, datanglah ke acara makan malam di rumah Mama hari ini. Marco akan menjemputmu. Mama harap kamu bisa meluangkan waktu malam ini,” kata Joann tiba-tiba. Disebelahnya Marco mematung, menyadari sandiwaranya tidak akan berakhir dengan mudah seperti apa yang ia harapkan. Begitu juga dengan Jessica. Melihat Marco pucat pasi, ia bisa meraba situasi diantara mereka sudah di luar kendali.Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat