“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras.
Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco membentuk garis lurus, dengan sorot mata tajam penuh intimidasi ia beralih ke sisi Jessica. “ “Aku akan membayar gajimu, lima kali lipat kalau kamu mau bantu aku kali ini,” bisik Marco. Seperti robot kepala Jessica menoleh ke samping, penuh tanya. Marco menghela napas kesal, sambil meredam amarah karena kemampuan mencerna Jessica yang lamban ia kembali berbisik. “Berpura-puralah jadi pacar saya di depan Ibu Joanna. Akan aku berikan bayaran yang setimpal untukmu.” Bayang-bayang lembaran uang bak rintik hujan mengisi kepal Jessica yang kosong. Bahkan butuh waktu cukup lama baginya untuk mencerna situasi jika Marco tidak berinisiatif untuk memberikan penjelasan. “O-Oh! Iya! Sayang, maaf. Aku terlalu terkejut,” ucap Jessica setelah sepenuhnya roh wanita itu kembali ke tubuhnya. Ia mengembangkan senyum paling menawan untuk Marco, kemudian dibagikan pada Joanna yang kini menatapnya puas. Marco membimbing Jessica mendekati Joanna, tidak peduli seberapa pucat wajah Jessica saat ini berhadapan dengan ratu terakhir penguasa Agensi Kkum Haneul. “Ma, kenalkan, ini Jessica, pacarku,” kaa Marco. Joanna mengangguk pelan, tidak sedetikpun mengalihkan pandangannya dari Jessica. Pandangan yang tidak bisa Jessica artikan namun cukup menciptakan canggung yang menusuk. Ini hanya akting, tapi mengapa rasanya seperti sedang berhadapan dengan calon mertua sungguhan? Batin Jessica berkelakar. Menolak perintah Marco meski pria itu menjanjikan bayaran yang setimpal. Harga diri Jessica dipertaruhkan oleh bagaimana reaksi Joanna nantinya. “Jessica..” Bibir tipis Joanna yang diselimuti gincu marun bergumam lirih. Ketika namanya disebut, Jessica berusaha keras menyembunyikan bulu roma yang meremanag di sekujur tubuhnya. Ia melirik Marco lewat ekor mata, memohon pada pria itu untuk memecah kecanggungan. Sialnya, Marco tidak memiliki kepekaan yang cukup sebagai lelaki, alih-alih paham, pria itu justru membiarkan Jessica tenggelam dalam kecanggungannya sendiri. “Kamu sekretarisnya Marco?” tanya Joanna. Jessica mengangguk sopan, “benar, Bu.” “Sudah berapa lama kalian berhubungan?” Tubuh Jessica menegang, lirikannya semakin kaku terarah pada Marco memohon pertolongan. “Um, kami sudah berhubungan kira-kira..” “Satu tahun, Ma,” sela Marco cepat. Jessica melotot mendengar jawaban spontan yang terucap dari bibir tipis Marco. “Aku dan Jessica sudah pacaran satu tahun. Tapi, kami sengaja tidak memberitahu siapapun karena alasan privasi,” jelas marco lagi. Dalam hati Jessica merutuk keputusan Marco untuk berbohong yang kesekian kalinya. Itu sama saja ia menyeret Jessica ke dalam dosa besar karena telah mengelabui sosok yang digadang akan menjadi mertua Jessica nanti. Oh! Jessica harap, itu predikat itu tidak akan menjadi kenyataan. “Ya ampun, kalau kamu bilang sama Mama, Mama pasti nggak akan paksa kamu buat cari jodoh, Marco,” ucap Joanna . Nada bicaranya mendadak berubah ramah. Berbanding terbalik dengan reaksinya beberapa saat lalu. Joanna mengalihkan pandangannya ke arah Jessica, kali ini dengan seulas senyum tulu yang menggetarkan hati. “Jadi, ini calon menantu Mama?” Joanna mengulurkan tangan, menyentuh pipi mulus Jessica pelan. “Cantik sekali.” “Terima kasih atas pujiannya, Bu. Ibu juga cantik sekali.” Senyum di wajah Joanna pudar setelah Jessica mengatakan itu. “Jessica, beraninya kamu panggil saya ibu?” ucap Joanna kemudian. Sorot matanya tajam karena tak terima. “M-maaf, kalau saya lancang. Kalau begitu saya akan panggil–” “Mama.” Deg! Baik Marco maupun Jessica kompak ternganga. Bola mata mereka hampir mencuat keluar karena syok. “Panggil saya Mama. Karena kamu pacarnya Marco, saya nggak mau ada jarak diantara kita, Jessica.” Suasana di ruangan itu terasa lebih panas, hingga Jessica harus pintar-pintar mencari angin segar untuk menandaskan ketegangan diantara dirinya dengan Marco. “Ma, aku rasa itu terlalu berlebihan,” ucap Marco memprotes. Joanna langsung memberinya ultimatum. “Berlebihan bagaimana? Itu tradisi keluarga kita, Marco. Siapapun yang memiliki hubungan khusus dengan keturunan keluarga Lee, akan dianggap sebagai bagian dari kita semua,” tutur Joanna. Ia kembali menatap Jessica yang salah tingkah. “Kamu nggak keberatan ‘kan, Jes? Jessica merasakan ubun-ubunnya berdenyut kencang. Kebiasaan setiap kali ia gugup menghadapi sebuah situasi diluar kendalinya. Kedua kelopak mata tipisnya mengerjap, sedang sosok wanita paruh baya di depannya memandang Jessica penuh harap. “I-iya, Ma.” “Nah, begitu dong! Kalau Marco sudah punya pacar, Mama lega sekarang.” Langkah kaki Joanna yang dibalut heels keluaran terbatas dari merek Manolo Blahnik model Hangisi Satin Pump dikayuh menuju meja kerja Marco. Tempat dimana Joanna menaruh Hermes Bleu Mykonos Matte Alligator Birkin warna biru yang menyalip kekuasan sang putra mahkota di ruangan itu. “Mama senang akhirnya putra tunggal Mama sudah berkencan sekarang. Jadi, Mama akan menepati janji Mama untuk membatalkan jadwal kencan buta hari ini,” putus Joanna. Dagunya terangkat sedikit menunjukkan kebanggan yang begitu besar. Seolah putranya baru saja meraih pencapaian terbesar dalam hidup. Di sisi lain, Marco tersenyum lega mendengar itu. Tidak masalah jika ia harus berbohong sekali untuk menghentikan ide gila mamanya. Berkencan bukan hal yang masuk ke dalam prioritas hidup Marco saat ini. “Mama janji ‘kan, tidak akan memaksaku untuk pergi kencan buta lagi?” tanya Marco. Jika memungkinkan, ia akan menyiapkan surat perjanjian hitam di atas putih untuk keputusan ini. Joanna mengangguk yakin. “Ya, tentu. Mama sudah puas melihat Jessica. Dia cantik, jika menempati posisi sebagai sekretaris kamu sudah pasti dia wanita yang cerdas. Selebihnya, Mama nggak akan mempermasalahkan apapun.” “Deal, Ma!” Marco menjabat tangan Joanna penuh semangat. Binar bahagia muncul di kedua matanya. Berbeda dengan Jessica yang justru diam, meredam rasa bersalah karena telah membohongi Joanna. “Oke, kalau begitu Mama pulang dulu.” Joanna meraih tas mewahnya, menjinjingnya menuju pintu. Jessica menghela napas lega. Akhirnya setelah beberapa saat berperang dengan drama, aktingnya akan selesai. “Hati-hati di jalan, Ma. Kabari aku kalau sudah sampai rumah,” kata MArco, mengantar wanita berusia lima puluhan itu keluar ruangan. Namun, ketika dua orang itu sampai di ambang pintu, langkah Joanna terhenti. “Tunggu, Marco,” kata Joanna. Ia berbalik menghadap Jessica yang masih berdiri di tempat yang sama. Sontak wanita pemilik rambut model soft layer itu kembali mengukir senyum sungkan. “Jessica, datanglah ke acara makan malam di rumah Mama hari ini. Marco akan menjemputmu. Mama harap kamu bisa meluangkan waktu malam ini,” kata Joann tiba-tiba. Disebelahnya Marco mematung, menyadari sandiwaranya tidak akan berakhir dengan mudah seperti apa yang ia harapkan. Begitu juga dengan Jessica. Melihat Marco pucat pasi, ia bisa meraba situasi diantara mereka sudah di luar kendali.Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
Ruang kerja itu terasa pengap, sebab keseriusan Marco membawa suasana di sana menjadi lebih tegang. Dari mejanya, Jessica mengintai awas bosnya yang kini nampak frustasi. Kerutan semakin jelas di wajah Marco, setiap lembar naskah skrip yang dibanyanya semakin mempertegas keraguannya.“Jessica,” panggilnya. Memecah keheningan yang sejak tadi menemani Jessica kikuk. Mendongak dari balik layar komputer yang besar, Jessica menyahut. “Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Marco bergeming. Sedikitpun sorot awas di matanya tidak bergeser. “Kamu yakin bisa mengurus naskah film tahun ini?” Senyum Jessica semakin cerah. Lantas ia berdiri dari kursi, memamerkan raut wajah penuh keyakinan meski Marco tak beralih. “Saya yakin dengan potensi saya, Pak,” jawabnya. “Bukan karena kamu mau lari dari tanggung jawab sebagai sekretaris ‘kan?” Itu salah satunya, batin Jessica. “Nggak, Pak. Saya yakin karena tema film itu sesuai dengan..” Saat Jessica sengaja menjeda ucapannya, Marco baru tertarik meng
Dari belakang, pundak lebar itu menegang dalam balutan jas mahal kesayangannya. Sambil berkacak pinggang pertanda penolakan begitu besar siap terlontar bagaikan bom waktu yang siap meledak. Tak jauh dari tempat Marco berdiri, Jessica diam mematung di balik meja kerja. Diam-diam menghitung mundur menunggu bom yang ia serahkan pada Marco beberapa menit lalu. Ketika tubuh kokoh bak tembok China itu berbalik, sorot mata menghujam penuh penghakiman tertuju pada Jessica. Seakan wanita pemilik surai pendek coklat gelap itu adalah mangsa yang nikmat untuk dilahap. “Saya memang memintamu menjadi kekasih, tapi bukan berarti kamu bisa mengatur saya!” tegas Marco. Iris Hazel gelapnya berkilat tajam. Seperti mata pisau yang baru diasah. “Sampai kapanpun saya tidak akan pernah datang kesana!” tegasnya lagi. Kembali memutari meja kerja dengan langkah penuh hentakan kemudian duduk di kursi kebesarannya. “Maaf, tapi saya sudah janji akan bawa Bapak ke sana. Lagipula, tempat itu adalah pembaringan
Tinggal satu hari pernikahan putra mahkota Agensi Kkum Haneul akan diselenggarakan. Di dalam sebuah ballroom hotel tim perencana acara berlalu lalang melangkah berpacu dengan hitungan waktu. Peluh di wajah mereka menjadi pertanda betapa keras merek berjuang menahan kantuk dan lelah demi menghadirkan acara dengan konsep Royal Wedding termegah tahun ini. Di tengah lalu lalang orang-orang itu, Marco berdiri di depan pelaminan yang sudah berdiri sempurna dengan sentuhan dekorasi bunga di dominasi warna biru langit yang menyegarkan dan putih yang melambangkan kesucian. Pelaminan dipenuhi oleh dekorasi bunga mawar biru dan lily berbentuk gapura di bagian tengah tepat di belakang sofa mewah pengantin warna beige. Lampu LED berkelap-kelip di balik rangkaian bunga itu. Kontras dengan latar belakang pelaminan yang didominasi warna putih. Diantara sofa pengantin, dua pasang kursi khusus orang tua bersanding rapi. Pikiran Marco mulai bermain, membayangkan Joanna mengisi salah satu sisi kursi i
“Pengantin baru, harus diantar sampai ke kamar.” “Tidak perlu, Ma. Aku dan Jessica bisa balik ke kamar berdua saja.” Kerumunan yang semula dipadati oleh para tamu undangan, kini mulai terpecah belah tepat etika jam pesta telah dinyatakan selesai. Di dalam ballroom hotel tempat resepsi pernikahan putra pewaris Haneul Group itu mulai lengang. Hanya beberapa orang yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang begitu, dua pilar utama pesta ini tengah sibuk berdebat untuk masalah yang menurut Jessica, sepela. Perdebatan ibu dan anak ini entah sampai kapan bergaung memenuhi telinga Jessica. “Eh! Kamu paham pamali, nggak? Pengantin baru itu harus didampingi sampai kamar.” Joanna berusaha mempertahankan lagi argumennya. Namun, karena sikapnya, Wanita dengan rambut Kundai alias Konde simpul khas Korea dipadukan dengan Binyeo–tusuk konde–justru terkesan terlalu memaksakan kehendaknya. Lagi-lagi, Jessica harus menjadi penengah. Terlebih, saat ini dirinya sudah resmi menjadi istri
Langit sore menua, semburat jingga di ufuk barat mulai meredup, tenggelam perlahan di balik gedung-gedung pencakar langit. Ruangan luas dengan interior modern terasa senyap, meski hawa panas ketegangan menguar di antara dua wanita yang berdiri berhadapan.Jessica menatap lurus ke arah Sisil, wajahnya tetap tenang, meski amarah telah merayapi hatinya. Sudut bibirnya melengkung tipis, tetapi bukan dalam bentuk senyuman ramah."Maaf, Mbak Sisil," katanya, suaranya jernih dan tegas. "Aku datang kemari untuk menjalankan tugas dari Pak Marco, bukan untuk mendengarkan masalah personal Mbak. Aku juga nggak peduli kalau Mbak berniat melamar Pak Marco jadi kekasih. Tapi kalau aku jadi Mbak Sisil, dengan cara murahan seperti itu, aku akan lebih tahu diri untuk menjaga sikap."Ucapannya meluncur tajam, setajam pisau yang mengiris harga diri Sisil.Sisil membeku. Matanya membelalak, bibirnya yang sedari tadi terbuka hendak berucap kini tertutup rapat. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berbica
Sebelah sudut bibir Sisil berkedut samar. Matanya yang berkilat penuh harap perlahan meredup saat Marco, pria yang sudah lima tahun menjadi incarannya, menolak mentah-mentah permintaannya untuk bicara secara personal.Bukan hanya menolak, Marco bahkan mengalihkan pembicaraan itu pada Jessica, sekretarisnya yang selalu berdiri setia di sisinya.Jessica menatap Sisil dengan sorot mata yang sulit dibaca. Ia tersenyum tipis, ekspresinya tetap tenang, seperti biasa. “Mbak Sisil bisa sampaikan padaku. Aku akan meneruskan pesan Mbak ke Pak Marco.”Suasana di ruangan Sisil terasa hampa. Udara yang tadinya hanya berisi ketegangan kini berubah pekat, seakan menyimpan bara yang bisa menyala kapan saja. Sisil masih duduk di kursinya, jari-jarinya mencengkeram pinggiran meja dengan kuat. Pandangannya beralih sekilas ke sudut ruangan, tempat tumpukan naskah yang hampir setinggi pinggangnya berserakan tanpa arah.Jessica juga melihatnya. Dalam pikirannya, tumpukan itu mirip benteng Takeshi—hanya sa
Maserati milik marco berhenti tepat di depan lobi kantor. Petugas valet yang berjaga sigap menghampiri kedatangan sang bos besar pewaris Haneul Grup. Marco melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya secepat kilat. Mengedar pandang ke sekitar, demi memastikan seluruh barang pribadinya tak ada yang tertinggal. Di sebelahnya, Jessica ikut melakukan hal yang sama. Rambut pendek warna almondnya dikibaskan sebelah, menguarkan aroma bunga yang langsung menyapa indera penciuman Marco. Kekesalan Jessica pada sang suami kini berlapis-lapis. Sepanjang perjalanan Jessica membatin, apa yang ada di pikirannya waktu itu sampai berniat untuk menjalin kerja sama dan menyetujui pernikahan kontrak dengan Tuan Lee ini? Setelah pagi harinya dikejutkan dengan kelakuan Marco yang berani menyentuhnya, amarah tertahan di dada Jessica semakin gencar memprotes saat pria itu kembali berulah. Memutuskan untuk langsung terjun ke dalam proyek film yang akan Jessica tulis naskahnya. Padahal, Jessica men
Dari jendela besar yang mengelilingi restoran di lantai enam puluh tiga ini, mata pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan kepul awan tipis yang berarak. Jika mereka sedikit menurunkan pandangannya, mereka akan menemukan deretan gedung yang menjulang tak kalah tinggi di sekitar gedung hotel ini. Begitu juga dengan pemandangan hiruk pikuk kota Jakarta yang mulai padat. Mobil-mobil di bawah sana, hanya nampak sebesar ruas jari. Berjajar rapi membentuk garis lurus yang panjang tanpa akhir. Kontras dengan pemandangan kehidupan di kaki gedung ini, keluarga konglomerat bermarga Lee baru saja masuk ke dalam restoran. Langkah mereka dipimpin oleh Joanna yang berjalan paling depan. Di belakangnya, Marco dan Jessica mengekori. Para pelayan sudah berbaris rapi di pintu masuk, kompak membungkuk memberi salam hormat ketika langkah keluarga itu sudah mencapai bibir pintu restoran. Ini pertama kalinya Jessica memasuki area kelas naratama. Dimana sosok yang berasal dari kalangan menengah
“Jessica, bangun.” Seuntai kalimat itu mampir di telinga Jessica, namun kesadarannya belum pulih sempurna ketika dua kata yang keluar dari suara berat seseorang itu, kembali melantun lembut namun tetap terdengar tegas. “Jessica,” panggil suara itu lagi. Kali ini lebih menuntut. Jessica, masih berkelit dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhnya. Semakin lama dibiarkan matanya terpejam, semakin sulit lepas dari jeratan ranjang nyaman ini. Jessica baru bisa terlelap subuh tadi. Masih sempat berguling ke sana-kemari menguasai permukaan empuk ranjang itu. Sempat terlintas di pikirannya, jika ia berbaring dengan sosok yang ia cintai di sana, pasti malam itu akan terasa lebih istimewa. Sayangnya, itu hanya ilusi belaka. Nyatanya kini Jessica hidup di bawah kuasa seorang pria keturunan konglomerat. Menghamba pada sosok itu demi sebuah pembalasan dendam. Sedangkan, kesabaran Marco pagi ini hanya setipis tisu. “Jessica, bangunlah!” Suaranya lebih keras. Ia tarik sedikit selimut ya
Debat panas tadi, cukup menguras emosi Jessica. Tak terasa waktu sudah beranjak pagi dan Jessica baru bisa merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar yang kosong. Sekosong hati dan pikirannya saat ini. Kedua kaki Jessica menjuntai di sisi tempat tidur. Berayun pelan mengiringi gumaman merdu dari mulutnya. Ranjang empuk ini, adalah salah satu dari bagian mimpinya di masa depan. Hidup bergelimang harta tanpa perlu mengkhawatirkan hari esok adalah impian Jessica semenjak hidupnya berubah 180 derajat lima belas tahun lalu. Alih-alih sukses lewat jalannya sendiri, siapa sangka takdir menariknya ke dalam lingkar kehidupan yang semrawut. Jessica tumbuh dengan beban berat di pundaknya setelah ibunya, meninggal tepat setelah melahirkan Thania, adiknya. Sedang, sang Ayah, yang digadang-gadang menjadi garda terdepan, justru mengecewakan. Kecanduan main perempuan dan judi daring membuat Jessica kehilangan sosok orang tua satu-satunya. Masa kecil penuh beban menjadikan
Deru napas Jessica semakin cepat, dadanya bergejolak ketika wajah pria pemilik rahang tegas dan mata elang itu terpampang di depan matanya. Kurang dari sepuluh senti, aroma woody dari tubuh Marco, dan aroma bunga sakura dari Jessica berbaur menciptakan sebuah harmoni aroma yang sialnya.. memabukkan! Jessica masih mematung di sana, meski Marco berusaha mengungkungnya dengan senyum penuh intimidasi yang kuat. Kedua tangan Jessica menggantung bebas di sisi gaun, terkepal erat menahan canggung yang berusaha menenggelamkannya pada sebuah ilusi. Sempat terlintas di pikiran Jessica, mungkinkah, malam ini akan menjadi malam dimana Jessica benar-benar diperlakukan sebagai istri meski, statusnya hanya istri bayaran. Melihat bagaimana Marco menunjukan reaksi atas ucapannya tadi, dengan tidak tahu dirinya Jessica menaruh harapan. Marco tersenyum miring, melihat Jessica yang menahan napas disambutnya dengan kekehan rendah. Jessica seperti anak itik yang kehilangan induknya. “Kenapa? Kamu takut?
“Pengantin baru, harus diantar sampai ke kamar.” “Tidak perlu, Ma. Aku dan Jessica bisa balik ke kamar berdua saja.” Kerumunan yang semula dipadati oleh para tamu undangan, kini mulai terpecah belah tepat etika jam pesta telah dinyatakan selesai. Di dalam ballroom hotel tempat resepsi pernikahan putra pewaris Haneul Group itu mulai lengang. Hanya beberapa orang yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang begitu, dua pilar utama pesta ini tengah sibuk berdebat untuk masalah yang menurut Jessica, sepela. Perdebatan ibu dan anak ini entah sampai kapan bergaung memenuhi telinga Jessica. “Eh! Kamu paham pamali, nggak? Pengantin baru itu harus didampingi sampai kamar.” Joanna berusaha mempertahankan lagi argumennya. Namun, karena sikapnya, Wanita dengan rambut Kundai alias Konde simpul khas Korea dipadukan dengan Binyeo–tusuk konde–justru terkesan terlalu memaksakan kehendaknya. Lagi-lagi, Jessica harus menjadi penengah. Terlebih, saat ini dirinya sudah resmi menjadi istri
Tinggal satu hari pernikahan putra mahkota Agensi Kkum Haneul akan diselenggarakan. Di dalam sebuah ballroom hotel tim perencana acara berlalu lalang melangkah berpacu dengan hitungan waktu. Peluh di wajah mereka menjadi pertanda betapa keras merek berjuang menahan kantuk dan lelah demi menghadirkan acara dengan konsep Royal Wedding termegah tahun ini. Di tengah lalu lalang orang-orang itu, Marco berdiri di depan pelaminan yang sudah berdiri sempurna dengan sentuhan dekorasi bunga di dominasi warna biru langit yang menyegarkan dan putih yang melambangkan kesucian. Pelaminan dipenuhi oleh dekorasi bunga mawar biru dan lily berbentuk gapura di bagian tengah tepat di belakang sofa mewah pengantin warna beige. Lampu LED berkelap-kelip di balik rangkaian bunga itu. Kontras dengan latar belakang pelaminan yang didominasi warna putih. Diantara sofa pengantin, dua pasang kursi khusus orang tua bersanding rapi. Pikiran Marco mulai bermain, membayangkan Joanna mengisi salah satu sisi kursi i