BAB 1
[Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.] Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?” Jessica menelan ludah, matanya langsung terbelalak ketika suara pria di balik telepon itu membawa pesan mengejutkan pagi ini. “Maksudnya nunggak gimana, Pak? Bukannya udah dibayar setiap bulan dan nggak pernah telat?” Terdengar helaan napas jengah. “Kalau Ibu nggak nunggak, saya nggak akan nagih pagi-pagi begini, Bu.” Jessica diam dibuatnya. Ia menghela napas panjang seraya mengurai emosi yang perlahan memuncak. Namun, pria di balik telepon itu tidak akan membiarkan pagi Jessica kali ini damai. Ia kembali berkata. “Kalau ibu nggak bayar tunggakannya sekarang, nama ibu akan masuk ke dalam daftar nasabah dengan kredit macet. Jadi saya tunggu pembayarannya hari ini ya, bu.” “T-tapi, Pak–” Tut! Tut! Tut! Panggilan telepon berakhir sepihak, Jessica lantas melempar ponselnya ke atas kasur karena kesal. Apa ia tidak salah dengar? Pinjamannya di bank menunggak? Padahal jelas-jelas ia selalu memberikan uang cicilan setiap bulannya pada Teddy untuk di bayar. Jessica semakin geram. Dadanya naik turun karena menahan emosi. Ujian hidup macam apalagi ini? Mati-matian ia mengambil semua proyek kerja lepas sampai begadang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar cicilan, petaka baru datang lagi. Kemarahannya membawa Jessica beranjak dari kasur kemudian melangkah cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus bertemu Teddy hari ini dan meminta pertanggung jawaban atas cicilan bank yang ia pinjam atas nama Jessica. Meski datang ke rumah Teddy untuk mengamuk, penampilan Jessica harus tetap stand on. Riasan tipis menghiasi wajah cantiknya yang merupakan hasil dari perpaduan Jepang dan Sunda Jawa. Mata kecilnya berusaha keras untuk menunjukkan sorot tajam penuh amarah ketika di depan sana ia temukan rumah Teddy yang nampak sepi seolah tidak berpenghuni. “Teddy! Buka pintunya!” teriak Jessica dari luar. Suara gedoran pintu dan amukan mengusik ketenangan di komplek perumahan yang ditempati oleh kekasihnya itu. “Teddy!” Lagi Jessica berteriak. Kesal karena tak kunjung disambut, Jessica meraih kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Semesta seakan sedang mendukung Jessica untuk menuntut tanggung jawab seorang pria yang mungkin masih terlelap di pagi hari yang mendung ini. Semendung suasana hati Jessica karena tagihan hutang yang menggunung. Kaki jenjangnya menyusuri rumah bergaya Scandinavian itu. Perpaduan warna coklat kayu dan putih di setiap detail interior rumah ini tidak pernah gagal untuk membuat Jessica terkagum-kagum. Tetapi, sekali lagi, ini bukan tentang rumah. Jessica menaiki tangga menuju lantai dua tempat dimana kamar Teddy berada. Ketika sampai di depan pintu kamar, pintu ruangan itu tidak sepenuhnya tertutup. Susulan suara desau samar-samar terdengar di telinga, semakin memancing amarah Jessica karena kini pikirannya tak lagi jernih. Brak! Pintu dibuka dengan kasar. Kamar itu hanya mengandalkan sinar matahari yang masuk melalui jendela sebagai penerangan. Bayangan dua orang di atas ranjang membuat hati Jessica berdesir. “Teddy! Jadi ini yang kamu lakukan di belakang aku?!” kata Jessica dengan suara tinggi. Sorot matanya tajam membunuh kala memergoki dua orang itu sedang beradu pacu dengan kenikmatan satu sama lain. “Kamu ngapain datang pagi-pagi begini?” hardik Teddy marah. Pria itu tidak segan membalas tatapan Jessica tak kalah tajam seraya melepas rangkulan di tubuh wanita asing itu. “Kamu yang seharusnya jawab pertanyaanku! Aku kesini buat minta kepastian, kenapa kamu nggak bayar cicilan pinjaman bank padahal setiap bulan uangnya udah aku kasih.” “Cicilan bank?” Sebelah alis Teddy melesat naik. “Cicilan apa? Aku merasa nggak punya hutang.” Jawaban Teddy sontak membuat iris hazel terang itu semakin menyorotnya sinis. “Jangan pura-pura lupa, Teddy! Enam bulan lalu kamu pakai namaku untuk pinjam uang ke bank dan buka bisnis. Sekarang aku diteror sama bank karena kamu nunggak bayar. Aku nggak mau tahu, kamu harus bayar cicilannya sekarang!” tuntut Jessica. Ia sama sekali tidak peduli dengan sosok lain yang ada diantara mereka. Mengetahui fakta bahwa selama ini Teddy mendua tak lagi ia hiraukan. Meski sakit dikhianati, lebih sakit lagi jika bebannya ditambah dengan jumlah cicilan yang semakin membengkak. Teddy beranjak dari tempat tidur, setelah mengenakan jubah mandi untuk menutupi sebagian tubuhnya. Menghampiri Jessica dengan raut wajah yang tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. Hanya seringai licik yang ada di sana, menghiasi wajah tampan pria itu di usianya yang di ujung kepala dua. “Hutang itu kan atas nama kamu, jangan bebankan ke aku dong! Kamu ‘kan tahu, setiap bulan aku selalu minta kamu nabung buat masa depan. Urusan cicilan itu harusnya kamu yang bayar!” Amarah mulai menjalar di setiap sudut syaraf Jessica. Tangannya terkepal erat saat mendengar kalimat itu dengan mudahnya terlontar dari mulut busuk Teddy. “Uang bulanan yang kamu kasih ke aku, dan cicilan pinjaman itu jelas beda. Uang bulanan itu buat kebutuhan aku, sedangkan cicilan itu tanggung jawab kamu. Jangan tagih ke aku,” kata Teddy lagi. “Lagi pula, mulai hari ini, kamu bukan siapa-siapa aku lagi. Jadi, aku minta jangan ganggu kehidupanku lagi. Bawa pergi semua hutang bersamamu. Jangan seret aku ke dalamnya.” “Apa maksud kamu?” Jessica memicing. Teddy terkekeh, sambil memindai setiap inci tubuh Jessica dengan tatapan merendahkan. “Berhubung sekarang kamu udah lihat aku punya wanita lain, jadi, mulai hari ini KITA PUTUS!” Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Jessica mematung di tempatnya. Wajahnya berubah pias. “P-putus?” gumamnya tidak percaya. Padahal ia berniat untuk memaafkan Teddy atas perselingkuhannya jika pria itu mau mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Jessica menggeleng pelan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Nggak, ini nggak adil. Kamu harus tanggung jawab sama hutangmu dan minta maaf karena udah selingkuh!” Bagi Teddy, tuntutan Jessica terdengar seperti lelucon. Ia tertawa saat mendapati perubahan ekspresi wanita di depannya ini. Dari marah berubah menjadi gurat kekecewaan. “Kamu ini bebal, ya? Udah aku bilang, hutang itu urusanmu dan aku selingkuh juga karena kamu itu.. membosankan. Berhenti ganggu aku lagi dengan tuntutan nggak masuk akal itu atau..” Teddy sengaja menggantungkan kalimatnya. Sebelah tangan pria berpostur 180 cm itu merogoh saku jubah mandi. Mengeluarkan ponselnya yang sudah menyetel video adegan panas dirinya dengan Jessica dua bulan. Jessica terkesiap, ia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Apa maksud kamu merekam video kita?!” hadirknya tak terima. Tangan Jessica terulur berusaha merebut ponsel milik Teddy namun pria bengis itu sudah lebih dulu menangkis niat Jessica. “Awalnya cuma bahan fantasiku aja. Tapi sekarang akan lebih berguna karena kalau kamu terus mendesakku dengan tuntutan konyol itu, aku nggak akan segan sebarin video kita ini di internet, bahkan.. situs dewasa gelap!” tandas Teddy mengancam. Tawanya semakin keras tetap di depan wajah Jessica yang menegang.Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
Air kolam renang memantulkan cahaya putih dari lampu di sekitarnya. Riak air berhembus pelan mengikuti ritme angin. Beratapkan langit malam, dua orang yang baru saling mengenal itu, berdiri di pinggir kolam renang membawa pikirannya yang mengawang jauh entah kemana. Marco memandang lurus pada hamparan taman di depannya, tak jauh dari kolam. Sesekali menarik napas dalam untuk mengurai perasaan tak nyaman di dada. Sedangkan, Jessica, sibuk memainkan sebelah kakinya yang bergesekan dengan granit bibir kolam. Ia sadar keputusannya untuk menyeret Marco ke sini adalah keputusan yang tepat setelah melakoni peran sebagai sepasang kekasih idaman.“Saya tidak menyangka Ibu Joanna akan mengambil keputusan ekstrim seperti itu.” Marco buka suara setelah lima belas menit lamanya hening mencekik leher mereka. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia kembali berkata. “Saya rasa, kita perlu membuat perjanjian ulang. Saya tidak akan menuntut imbalan apapun dari kamu. Dan saya akan membayarmu dengan jumlah
“Teddy, tolong ambilkan bingkisan yang aku minta tadi pagi.”Ketika nama itu terucap dari bibir merah Joanna, sensasi menggila menjalar di sepanjang syaraf tubuh Jessica. Makan malam ini terasa bagaikan neraka yang tidak akan berhenti menyeret Jessica untuk masuk ke alamnya. Jessica pikir, disaat ia fokus dengan masalah dan mencari solusi untuk menyelesaikan semua hutang, masa lalu akan berhenti menghantui. Namun, siapa sangka, takdir berkata lain. Takdir yang tertulis untuk Jessica tidak semudah itu untuk ditaklukan. Sudah jatuh tertimpa tangga. Bagi Jessica, hidupnya saat ini sudah diambang batas antara hidup dan mati. Sebelah tangannya menggenggam pisau steak gemetar. Teddy–pria itu–datang menghampiri Joanna dengan dua buah kotak berhiaskan pita di permukaannya. Ketika Teddy menyerahkan bingkisan yang diminta sang nyonya besar, matanya tertuju pada Jessica. “Berikan pada Marco dan Jessica,” perintah Joanna lagi. Sigap Teddy menghampiri dua orang itu dan menyodorkan bingkisannya
Keberadaan sebuah Maserati Cielo warna biru di ujung jalan menarik perhatian orang-orang yang tinggal di sisi perbatasan kota Jakarta. Marco memarkirkan mobil itu tepat di depan sebuah kafe yang ramai disambangi pengunjung. Melihat dunia luar lewat kaca film mobilnya yang hitam pekat, semakin menenggelamkan niat Marco untuk keluar dari tempat persembunyian sementaranya. Ini ketiga kalinya Marco melirik Richard Millienya sekilas. Sudah sepuluh menit ia menunggu di titik pertemuannya dengan Jessica namun wanita itu tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. “Apakah dia selalu terlambat seperti ini?” Marco mendengus kesal. Ia menyibukkan diri menyoroti aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di sekitar. Jika biasanya ada Jasper yang akan setia mengantar Marco kemanapun, khusus malam ini, Jasper menjadi pengecualian. Joanna terang-terangan meminta Marco untuk menjemput Jessica seorang diri hingga pria yang dijuluki Mister Presisi itu, berakhir mengenaskan dalam kesendirian. Klek.
Di dalam sebuah kafe tak jauh dari kantor, Jessica dan Marco duduk berhadapan. Suasana canggung menyelimuti mereka karena tidak ada satupun yang berniat untuk buka suara. “Pak Marco mau pesan apa?” tanya Jasper. Asisten pribadi yang khusus menangani semua hal personal tentang pemilik agensi Kkum Haneul ini. Sepasang mata sipitnya menatap Marco jeli, diam-diam memperhatikan setiap detail penampilan Marco adalah sebagian besar dari tugas Jasper sebagai Aspri. “Bapak mau makan siang?”Marco mengangguk pelan, tatapannya masih lurus menerobos dinding kepercayaan diri Jessica yang duduk dengan kepala tertunduk lesu. Seakan sedang memindai isi pikiran wanita itu. “Berikan saya seporsi Jjampong,” jawab Marco.Jasper mengangguk patuh, kemudian ia beralih pada Jessica di sebelah kanannya. “Jes, kamu mau makan apa?” Jessica menggigit sudut bibirnya ragu. Tempat yang ia sambangi saat ini adalah kafe khusus menjual menu-menu masakan rumahan ala Korea. Sesungguhnya ia tidak terlalu familiar denga
“W-what?” Jessica bergumam pelan. Ekspresinya bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Ia mematung di tempatnya berdiri, salah tingkah ketika sepasang ibu dan an menatapnya dengan dua sorot mata yang kontras. Waktu berjalan begitu lama bagi Jessica, hingga sentuhan di tangan kanannya membuat pikiran Jessica teralihkan kembali ke alam nyata. “Jessica?” Itu suara Marco. Jessica hampir terjerembab mundur ketika menyadari pria dengan postur tubuh tinggi dan wajah perpaduan bule asia itu sudah berdiri di depannya. “Mama sudah menunggu. Ayo, beri salam padanya,” kata Marco. Seulas senyum semakin menambah tingkat ketampanan Marco. Jantung Jessica berdetak keras dibuatnya. “A-apa maksudnya?” tanya Jessica pelan. Menjawab kebingungan Jessica, Marco mencondongkan tubuhnya ke hadapan Jessica. Kini wajah tampan itu kian melekat di depan wajah Jessica yang menegang. Aura aroma musk dari kolon yang Marco pakai, menyapa penciuman Jessica malu-malu. Sudut bibir Marco mem
“Dimana Jessica Nathania? Dia harus bayar hutangnya sekarang!” Suara keras seorang pria yang berdiri di depan rumah Jessica membuat Jessica mendongak. Kepalanya yang tertunduk seakan tertantang untuk mendongak mengamati situasi ricuh yang sedang terjadi. Jessica melotot melihat adik perempuannya tengah menjadi bulan-bulanan dua orang pria berwajah sangar. Tak terima adik satu-satunya itu dibentak, Jessica lantas memacu langkahnya untuk mendekat. “Kenapa ribut-ribut begini? Bapak cari saya?” Jessica bertanya. Wajahnya tak lagi ramah. Dua pria itu menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala seperti layar pemindai. “Kamu Jessica?” tanya salah satu dari mereka. Jessica mengangguk. “Bayarkan hutangmu sekarang. Kamu sudah menunggak cicilan pinjaman di Bank Matahari selama tiga bulan!” ujar pria itu lagi. Nada bicaranya semakin lama kian tinggi. Tepat di depan wajah Jessica.Jessica ingin marah saja rasanya. Pada keadaan dan pada Teddy yang sudah menambah beban. Ia mengelus pundak Lila, ad
Tangis Jessica pecah dihadapan Tita, sahabatnya. Satu pak tisu habis sudah untuk menyeka setiap air mata berharga yang Jessica keluarkan untuk pria mokondo seperti Teddy. “Pokoknya gue nggak terima sama perlakuan Teddy ke gue!” ucap Jessica di tengah tangisnya yang meradang. Di depannya, Tita setia memberikan helai demi helai tisu wajah dengan ekspresi ngilu. Apa yang terjadi pada Jessica saat ini adalah pelajaran baginya untuk tidak terlalu memberikan kepercayaan penuh atas nama cinta pada seseorang.Kesabaran Tita mampu menenangkan Jessica yang berkelakar. “Udah, lo boleh emosi, tapi jangan sampai emosi lo malah bikin lo kelihatan mengenaskan di depan Teddy. Dia bisa makin besar kepala kalau lihat lo terpuruk begini,” kata Tita. Seketika itu pula tangis Jessica redam. Ia beralih pada sahabatnya. Ekspresinya serius. “Lo benar. Gue harus bisa balas dendam ke Teddy,” kata Jessica berapi-api. “Gue nggak nyuruh lo balas dendam, btw..” “Tapi omongan lo menginspirasi gue buat balas de
BAB 1 [Pinjaman Anda sudah melewati masa jatuh tempo. Mohon lakukan pembayaran hari ini untuk mencegah nama Anda masuk ke dalam daftar nasabah kredit terkendala.]Sederet pesan berisi peringatan muncul sudah lima kali di layar ponsel Jessica yang tergeletak mengenaskan di atas nakas. Sedang ponsel itu terus bergetar meminta respon, sang empunya masih sibuk berkutat dengan mimpi indahnya seolah kondisi dunia luar tidak akan mengusik kenyamanannya yang baru terlelap subuh tadi. Kring.. Kring.. Dering ponsel menggelegar, mengejutkan Jessica yang langsung bangkit dari alam bawah sadarnya. Dengan kesadaran setipis tisu ia meraih ponselnya, menggeser asal ikon hijau di layar tanpa melihat siapa yang menghubunginya lewat telepon. “Halo?” ucapnya dengan suara parau. Suara seseorang nan jauh di sana, tidak ada kesan ramah-ramahnya sama sekali. “Bu Jessica, cicilan pinjaman Anda sudah jatuh tempo. Nominal tunggakannya semakin besar. Bisa dibayarkan hari ini, Bu?”Jessica menelan ludah, mat