Kiai tertawa terkekeh-kekeh lalu meminta para santri untuk segera kembali ke aula. Pria sepuh ini berniat memberi tausiah kepada para santri. Akhirnya, keempat santri berpamitan kepada Kiai dan Parman. Mereka berjalan keluar ruangan dengan berbicara lirih. Parman masih bisa sedikit mendengar arah pembicaraan mereka yaitu ada sebuah gedebok pisang hangus di dapur. Mereka berbicara sambil sesekali beristigfar. “Astaghfirullahaladzim!” “Masyaallah!” “Allahu Akbar!” Parman tak berniat membahasnya dengan Kiai. Ia masih ingin menenangkan diri dulu karena belum sanggup mendapat kejutan lagi. Kiai menghampiri Parman lalu menepuk bahunya. “Mas Parman makan dulu lalu beristirahat. Biar pikiran dan hati lebih fresh. Saya tinggal dulu ke aula. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” tutur Kiai lalu tersenyum bijak. “Terima kasih. Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas Parman lalu ikut mengiringi langkah pria sepuh tersebut dan membantu membukakan pintu. Tampak di sekel
“Sini, Sayang! Gak ada yang tahu. Mari kita bebaskan diri dari ikatan Gunung Kemukus. Pengorbanan sekali, tapi buat hidup lebih tenang selamanya. Apakah kamu ingin istrimu jadi budak Ratu? Kita berempat akan jadi budak. Ini akan menyenangkan.” Parman seperti terlena dengan kata-kata Kesi. Wanita berkulit hitam manis ini berdiri menantang di depan Parman. Aroma tubuhnya tercium oleh hidung Parman. Pria dengan mata terpejam ini bisa merasakan embusan napas hangat Kesi menerpa pipi dan leher. Ia merasakan dua tangan membelai pipi dan dada. Tiba-tiba Parman mendengar jerit tangis Saimah. “Mas, jangan! Kau orang baik!” Seketika kesadaran Parman terkumpul. Pria ini sekuat tenaga mendorong tubuh Kesi. “Audzubillahiminasyaitonirrojim!” Parman melafazkan dengan suara sekencang-kencangnya. Ia yakin dengan doa permohonan tersebut, Allah akan menolongnya dari godaan setan yang terkutuk. “Allahu Akbar!” Pria ini sadar betul hanya Allah Yang Maha Besar satu-satunya pemberi pelindung. Kedua ma
“Tidak apa-apa, Mas. Sekarang, silakan memegang pojok beton lalu ucapkan salam sebanyak tiga kali. Jika ada yang tampak, segera ucapkan Subhanallah.” “Baik, Kiai,” balas Parman. Pria berbadan tegap tersebut berjalan semakin mendekat ke beton berlapis keramik. Bibirnya mengucapkan yang disarankan oleh Kiai. Tangan kanan memegang pojok beton. Tiba-tiba tengkuk dan kedua pundak Parman terasa berat seperti memanggul barang. Tanpa terduga, tangan Parman seperti lengket pada beton keramik. Kemudian, hawa sedingin es menyelimuti tubuhnya. Pria ini seketika menggigil hebat. Saat bersamaan di depan mata Parman muncul penampakan gedebok pisang berwarna gosong di sebagian sisi luar. Sementara bagian dalam seperti daging yang tak henti meneteskan darah hitam berbau busuk menyengat. “Subhanallah!” seru Parman yang kaget. Kiai beranjak menghampiri Parman lalu tangan kanannya dijulurkan di atas gedebog. Pria sepuh tersebut menggerakkan tangan seperti mengusap dari atas ke bawah. “Laa haula wa l
“Kami tadi berunding di dalam. Bagaimana jika sementara waktu berdiam di asrama putri? Tampak keadaannya belum stabil. Agar kami dapat memberi pendampingan sampai benar-benar kembali di kehidupan normal. Keadaannya sangat memprihatinkan, Kiai,” jelas ustazah tersebut dengan kedua mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, jika sudah paham soal itu. Silakan dipersiapkan segala sesuatunya segera mungkin. Jika ada perlu perlengkapan tambahan, bisa ambil stok di gudang pondok. Buat laporan barang-barang yang diperlukan lalu serahkan bagian perlengkapan,” balas Kiai sambil tersenyum bijak. Ustazah menganggukkan kepala. Wanita setengah umur tersebut tampak lega. Hal itu dapat dilihat dari sebuah senyuman terukir dari kedua sudut pipi. Parman yang ikut mendengarkan penjelasan wanita separuh baya dan juga tanggapan dari Kiai semakin dibuat penasaran. Namun, dirinya yakin bahwa pembicaraan keduanya berhubungan dengan kejadian yang sedang dialaminya. Ustazah pamit kepada kedua pria untuk kembali ke
Tiba-tiba bulu kuduk kedua ustazah meremang. Mereka merasa ada ‘sesuatu’ hadir di antara mereka. Tanpa diketahui dari mana berasal, tiba-tiba sebuah embusan angin kencang menghantam salah satu pilar masjid hingga patah. “Astaghfirullahaladzim!” teriak kedua ustazah karena kaget. Bunyi pilar yang patah sangat keras terdengar sampai aula dan dalam asrama. Tak pelak, beberapa santri berlari mencari sumber suara. Langkah lari mereka berakhir di depan teras masjid. Mereka menyaksikan pilar yang patah dengan mata terbelalak. Mereka heran karena tak ada hujan angin dan juga suatu benda yang bisa membuat pilar patah. Situasi sekitar masjid tampak tenang. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak lama kemudian, Kiai dengan didampingi pengurus asrama putra datang menghampiri mereka. “Rupanya kita punya tamu tak diundang,” tutur Kiai setelah mengamati sekeliling. Dua ustaz yang mendampingi Kiai segera paham yang dimaksud pria sepuh tersebut. “Kiai, kami pamit ke belakang untuk menemani Mas Par
“Astaghfirullahaladzim,” ucap lirih Parman seraya mengusap bekas air mata dengan ujung jari. Dua ustaz beranjak menuju ke tempat kesehatan. Tak berapa lama kemudian, kedua pria telah kembali bersama petugas kesehatan dengan mendorong sebuah brankar. Parman yang tak mau lepas dari tubuh Saimah menatap wajah istrinya dengan panik. “Istri saya gak bernapas,” ucap Parman sambil mendekatkan telunjuk pada lubang hidung. Belum puas dengan hasilnya, ia lalu menempelkan telinga ke dada istrinya. Kiai seketika terkejut lalu berucap, “Tolong Mas angkat tubuh Mbak Saimah ke brankar. Biar bisa dilakukan pemeriksaan.” Dengan kedua tangan gemetar, Parman segera mengangkat tubuh istrinya ke brankar. Tenaga medis dengan cekatan mendorong brankar dibantu oleh Parman menuju ruang kesehatan. Sementara Kiai dan kedua ustaz mengikuti sembari melantunkan doa. Saat mereka sampai ruang kesehatan, Parman dan yang lain diminta menunggu di luar. Beberapa saat kemudian, seorang dokter datang. Wanita berjas pu
Ia segera menyodorkan map melalui lubang loket lalu beranjak menuju bangku untuk duduk menunggu panggilan. Mata Parman awas memandang ke arah sosok wanita yang tak dikenal sedang tersenyum padanya. Ia duduk berjarak tiga bangku di depan Parman. Pria tersebut serba salah karenanya.Namun, wanita serius tersebut melambaikan tangan seperti menyuruh menghampiri. Parman yang merasa tak mengenal wanita tersebut membalas dengan anggukan kepala demi kesopanan. Beberapa saat kemudian, tampak Kiai sedang menuju ke arah tempat duduk Parman. Pandangan Parman seketika terbelalak karena wanita tersebut menghilang.“Alhamdulillah sepi, Mas. Dapat antrean nomor berapa?” tanya Kiai saat telah duduk di samping Parman.“Alhamdulillah, Kiai. Tinggal tunggu dua orang lagi,” balas Parman dengan kedua mata mencari keberadaan wanita tadi.Kiai yang melihat gelagat aneh Parman akhirnya mengikuti arah pandangan pria tersebut. Namun, tak ada hal apa pun yang mencurigakan. Parman mengetahui bahwa Kiai ikut mengam
“Baiklah, Kiai, Mas Parman. Kalo begitu, saya pamit kembali ke pondok. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap si santri lalu mencium tangan Kiai dan menyalami Parman.“Terima kasih,” ucap Parman sambil memegang erat tangan santri tersebut.“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap Kiai dan Parman bersamaan mengiringi kepergian santri tersebut.Kedua pria lalu beranjak untuk mencari tempat duduk. Mereka akan mendiskusikan terkait beberapa dokumen penting yang baru saja diterima oleh Parman. Kedua pria tersebut berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Begitu sampai tempat yang dituju, mereka mencari bangku paling belakang.“Gimana rencana Mas Parman sekarang?” tanya Kiai setelah mereka duduk berdampingan.“Saya minta pertimbangan dari Kiai saja,” balas Parman dengan ekspresi bingung. Pria ini sesekali menatap amplop yang dibawanya.“Sepintas tadi saya lihat ada surat. Lebih baik dibaca dulu, Mas.”“Oh, ya, Kiai. Baik,” jawab Parman yang lalu mengambil lipatan ker