“Kami tadi berunding di dalam. Bagaimana jika sementara waktu berdiam di asrama putri? Tampak keadaannya belum stabil. Agar kami dapat memberi pendampingan sampai benar-benar kembali di kehidupan normal. Keadaannya sangat memprihatinkan, Kiai,” jelas ustazah tersebut dengan kedua mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, jika sudah paham soal itu. Silakan dipersiapkan segala sesuatunya segera mungkin. Jika ada perlu perlengkapan tambahan, bisa ambil stok di gudang pondok. Buat laporan barang-barang yang diperlukan lalu serahkan bagian perlengkapan,” balas Kiai sambil tersenyum bijak. Ustazah menganggukkan kepala. Wanita setengah umur tersebut tampak lega. Hal itu dapat dilihat dari sebuah senyuman terukir dari kedua sudut pipi. Parman yang ikut mendengarkan penjelasan wanita separuh baya dan juga tanggapan dari Kiai semakin dibuat penasaran. Namun, dirinya yakin bahwa pembicaraan keduanya berhubungan dengan kejadian yang sedang dialaminya. Ustazah pamit kepada kedua pria untuk kembali ke
Tiba-tiba bulu kuduk kedua ustazah meremang. Mereka merasa ada ‘sesuatu’ hadir di antara mereka. Tanpa diketahui dari mana berasal, tiba-tiba sebuah embusan angin kencang menghantam salah satu pilar masjid hingga patah. “Astaghfirullahaladzim!” teriak kedua ustazah karena kaget. Bunyi pilar yang patah sangat keras terdengar sampai aula dan dalam asrama. Tak pelak, beberapa santri berlari mencari sumber suara. Langkah lari mereka berakhir di depan teras masjid. Mereka menyaksikan pilar yang patah dengan mata terbelalak. Mereka heran karena tak ada hujan angin dan juga suatu benda yang bisa membuat pilar patah. Situasi sekitar masjid tampak tenang. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak lama kemudian, Kiai dengan didampingi pengurus asrama putra datang menghampiri mereka. “Rupanya kita punya tamu tak diundang,” tutur Kiai setelah mengamati sekeliling. Dua ustaz yang mendampingi Kiai segera paham yang dimaksud pria sepuh tersebut. “Kiai, kami pamit ke belakang untuk menemani Mas Par
“Astaghfirullahaladzim,” ucap lirih Parman seraya mengusap bekas air mata dengan ujung jari. Dua ustaz beranjak menuju ke tempat kesehatan. Tak berapa lama kemudian, kedua pria telah kembali bersama petugas kesehatan dengan mendorong sebuah brankar. Parman yang tak mau lepas dari tubuh Saimah menatap wajah istrinya dengan panik. “Istri saya gak bernapas,” ucap Parman sambil mendekatkan telunjuk pada lubang hidung. Belum puas dengan hasilnya, ia lalu menempelkan telinga ke dada istrinya. Kiai seketika terkejut lalu berucap, “Tolong Mas angkat tubuh Mbak Saimah ke brankar. Biar bisa dilakukan pemeriksaan.” Dengan kedua tangan gemetar, Parman segera mengangkat tubuh istrinya ke brankar. Tenaga medis dengan cekatan mendorong brankar dibantu oleh Parman menuju ruang kesehatan. Sementara Kiai dan kedua ustaz mengikuti sembari melantunkan doa. Saat mereka sampai ruang kesehatan, Parman dan yang lain diminta menunggu di luar. Beberapa saat kemudian, seorang dokter datang. Wanita berjas pu
Ia segera menyodorkan map melalui lubang loket lalu beranjak menuju bangku untuk duduk menunggu panggilan. Mata Parman awas memandang ke arah sosok wanita yang tak dikenal sedang tersenyum padanya. Ia duduk berjarak tiga bangku di depan Parman. Pria tersebut serba salah karenanya.Namun, wanita serius tersebut melambaikan tangan seperti menyuruh menghampiri. Parman yang merasa tak mengenal wanita tersebut membalas dengan anggukan kepala demi kesopanan. Beberapa saat kemudian, tampak Kiai sedang menuju ke arah tempat duduk Parman. Pandangan Parman seketika terbelalak karena wanita tersebut menghilang.“Alhamdulillah sepi, Mas. Dapat antrean nomor berapa?” tanya Kiai saat telah duduk di samping Parman.“Alhamdulillah, Kiai. Tinggal tunggu dua orang lagi,” balas Parman dengan kedua mata mencari keberadaan wanita tadi.Kiai yang melihat gelagat aneh Parman akhirnya mengikuti arah pandangan pria tersebut. Namun, tak ada hal apa pun yang mencurigakan. Parman mengetahui bahwa Kiai ikut mengam
“Baiklah, Kiai, Mas Parman. Kalo begitu, saya pamit kembali ke pondok. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap si santri lalu mencium tangan Kiai dan menyalami Parman.“Terima kasih,” ucap Parman sambil memegang erat tangan santri tersebut.“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap Kiai dan Parman bersamaan mengiringi kepergian santri tersebut.Kedua pria lalu beranjak untuk mencari tempat duduk. Mereka akan mendiskusikan terkait beberapa dokumen penting yang baru saja diterima oleh Parman. Kedua pria tersebut berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Begitu sampai tempat yang dituju, mereka mencari bangku paling belakang.“Gimana rencana Mas Parman sekarang?” tanya Kiai setelah mereka duduk berdampingan.“Saya minta pertimbangan dari Kiai saja,” balas Parman dengan ekspresi bingung. Pria ini sesekali menatap amplop yang dibawanya.“Sepintas tadi saya lihat ada surat. Lebih baik dibaca dulu, Mas.”“Oh, ya, Kiai. Baik,” jawab Parman yang lalu mengambil lipatan ker
“Nah, sekarang. Silakan Pak Hadi menceritakan awal mula bisa berhubungan dengan Mbak Saimah dan temannya yang bule,” ucap Kiai. Pria sepuh ini memberi ruang agar Parman bisa duduk bersebelahan dengan Hadi. Kiai lalu mengambil tempat duduk di sebelah kanan Parman.“Baik. Saya akan menceritakan semua agar Mas Parman bisa memahaminya. Terlebih dulu, saya ikut prihatin atas kejadian yang sedang dialami Mas dan istri. Saya berdoa semoga ujian ini segera berlalu,” kata Hadi dengan raut wajah sedih.“Aamiin. Terima kasih atas doanya, Pak,” balas Parman dengan perasaan sungkan. Ia merasa minder saat membandingkan diri dengan penampilan pria di sebelahnya. Baru sekarang Parman sadar bahwa lingkaran pertemanan istrinya adalah orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.Pria yang berprofesi sebagai notaris tersebut berwajah tampan dan tampak berkarisma dengan setelan jas yang dikenakannya. Sementara dirinya yang semua orang tahu, sudah pasti si notaris paham hal tersebut. Ia seorang kuli bangun
“Gak usah merasa seperti itu, Mas. Mungkin ini nanti yang bisa menjadi jalan bagi Mbak Saimah segera pulih kesehatannya. Allah masih sayang kalian.”“Aamiin. Terima kasih, Kiai,” balas Parman dengan raut wajah sendu. Dalam hati pria ini tertanam sebuah tekad untuk membawa istrinya kembali ke jalan yang benar.Ketiga pria tak menyadari kehadiran sesosok misterius sedang tersenyum sinis ke arah mereka. Ia berada di antara para tenaga medis yang sedang berbincang di ruangan tak jauh dari tempat tunggu.“Saimah adalah milikku. Akan kupastikan itu,” ucap sosok ini sambil mendesis.“Hei, ngapain kamu?” tanya seorang tenaga medis sambil memukul punggung si teman dengan map yang dibawanya.Teman yang ditegur adalah seorang pria muda bertubuh jangkung dengan perawakan sedang. Pria ini berwajah manis dengan kaca mata melekat di pangkal hidung."Lis, nanti malam ikut aku. Ada warung seblak yang baru dibuka," balas pria berkaca mata."Kok tahu?" tanya Lisa sambil menatap ke pria sebelahnya dengan
"Saya tinggal jemput dokter dulu, Pak," pamit si perawat sambil menutup pintu ruangan."Silakan, Sus."Perawat beranjak pergi dan kini, tinggal kedua pria berdiri berhadapan. Parman memandang Aldi tanpa prasangka apa pun. Namun, beda jauh dengan pria muda di depannya.Ia punya ambisi besar. Sesaat setelah menatap tubuh Saimah yang terbujur dari balik kaca, ada sensasi berbeda yang dirasakannya. Meski, Aldi menepis sekuat mungkin, tetapi rasa aneh tersebut semakin menjadi-jadi."Maaf, ada yang harus saya bayar?" Parman mengulang pertanyaan kembali kepada Aldi.Pria muda berkaca mata tersebut masih terlihat termenung sambil memegang map. Parman menepuk bahu pria di sebelahnya. Aldi pun seketika tersadar dari lamunan. Saat itu pula dirinya sadar sedang diawasi oleh Parman.Ia segera menunduk pura-pura mengecek berkas di dalam map. Hal tersebut untuk menutupi perasaan gugup yang sedang dialaminya. Setelah sedikit tenang, Aldi mulai mengeluarkan suara."Ya, Pak. Maaf. Ini ada beberapa tagi