“Baiklah, Kiai, Mas Parman. Kalo begitu, saya pamit kembali ke pondok. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap si santri lalu mencium tangan Kiai dan menyalami Parman.“Terima kasih,” ucap Parman sambil memegang erat tangan santri tersebut.“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap Kiai dan Parman bersamaan mengiringi kepergian santri tersebut.Kedua pria lalu beranjak untuk mencari tempat duduk. Mereka akan mendiskusikan terkait beberapa dokumen penting yang baru saja diterima oleh Parman. Kedua pria tersebut berjalan beriringan menuju ruang tunggu. Begitu sampai tempat yang dituju, mereka mencari bangku paling belakang.“Gimana rencana Mas Parman sekarang?” tanya Kiai setelah mereka duduk berdampingan.“Saya minta pertimbangan dari Kiai saja,” balas Parman dengan ekspresi bingung. Pria ini sesekali menatap amplop yang dibawanya.“Sepintas tadi saya lihat ada surat. Lebih baik dibaca dulu, Mas.”“Oh, ya, Kiai. Baik,” jawab Parman yang lalu mengambil lipatan ker
“Nah, sekarang. Silakan Pak Hadi menceritakan awal mula bisa berhubungan dengan Mbak Saimah dan temannya yang bule,” ucap Kiai. Pria sepuh ini memberi ruang agar Parman bisa duduk bersebelahan dengan Hadi. Kiai lalu mengambil tempat duduk di sebelah kanan Parman.“Baik. Saya akan menceritakan semua agar Mas Parman bisa memahaminya. Terlebih dulu, saya ikut prihatin atas kejadian yang sedang dialami Mas dan istri. Saya berdoa semoga ujian ini segera berlalu,” kata Hadi dengan raut wajah sedih.“Aamiin. Terima kasih atas doanya, Pak,” balas Parman dengan perasaan sungkan. Ia merasa minder saat membandingkan diri dengan penampilan pria di sebelahnya. Baru sekarang Parman sadar bahwa lingkaran pertemanan istrinya adalah orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.Pria yang berprofesi sebagai notaris tersebut berwajah tampan dan tampak berkarisma dengan setelan jas yang dikenakannya. Sementara dirinya yang semua orang tahu, sudah pasti si notaris paham hal tersebut. Ia seorang kuli bangun
“Gak usah merasa seperti itu, Mas. Mungkin ini nanti yang bisa menjadi jalan bagi Mbak Saimah segera pulih kesehatannya. Allah masih sayang kalian.”“Aamiin. Terima kasih, Kiai,” balas Parman dengan raut wajah sendu. Dalam hati pria ini tertanam sebuah tekad untuk membawa istrinya kembali ke jalan yang benar.Ketiga pria tak menyadari kehadiran sesosok misterius sedang tersenyum sinis ke arah mereka. Ia berada di antara para tenaga medis yang sedang berbincang di ruangan tak jauh dari tempat tunggu.“Saimah adalah milikku. Akan kupastikan itu,” ucap sosok ini sambil mendesis.“Hei, ngapain kamu?” tanya seorang tenaga medis sambil memukul punggung si teman dengan map yang dibawanya.Teman yang ditegur adalah seorang pria muda bertubuh jangkung dengan perawakan sedang. Pria ini berwajah manis dengan kaca mata melekat di pangkal hidung."Lis, nanti malam ikut aku. Ada warung seblak yang baru dibuka," balas pria berkaca mata."Kok tahu?" tanya Lisa sambil menatap ke pria sebelahnya dengan
"Saya tinggal jemput dokter dulu, Pak," pamit si perawat sambil menutup pintu ruangan."Silakan, Sus."Perawat beranjak pergi dan kini, tinggal kedua pria berdiri berhadapan. Parman memandang Aldi tanpa prasangka apa pun. Namun, beda jauh dengan pria muda di depannya.Ia punya ambisi besar. Sesaat setelah menatap tubuh Saimah yang terbujur dari balik kaca, ada sensasi berbeda yang dirasakannya. Meski, Aldi menepis sekuat mungkin, tetapi rasa aneh tersebut semakin menjadi-jadi."Maaf, ada yang harus saya bayar?" Parman mengulang pertanyaan kembali kepada Aldi.Pria muda berkaca mata tersebut masih terlihat termenung sambil memegang map. Parman menepuk bahu pria di sebelahnya. Aldi pun seketika tersadar dari lamunan. Saat itu pula dirinya sadar sedang diawasi oleh Parman.Ia segera menunduk pura-pura mengecek berkas di dalam map. Hal tersebut untuk menutupi perasaan gugup yang sedang dialaminya. Setelah sedikit tenang, Aldi mulai mengeluarkan suara."Ya, Pak. Maaf. Ini ada beberapa tagi
"Sepertinya doa Mas Parman terkabul.""Maksud Kiai, mereka yang ditemukan di hutan?""Insyaallah, Mas. Semoga sesuai harapan kita. Biar nanti beberapa penghuni pondok kemari untuk beristighosah di masjid. Kebetulan kami sudah beberapa kali melakukannya," kata Kiai dengan jemari sibuk memilin biji-biji tasbih. Dari bibir pria sepuh tersebut terdengar doa-doa wirid. Parman ikut berdoa dalam hati. Pria ini sangat berharap ucapan Kiai benar-benar terwujud agar bisa segera menata rencana masa depan kembali."Mau saya temani ke depan, Kiai?" tanya Parman sambil memandangi orang-orang yang berlarian menuju arah luar lobby."Mas Parman di sini saja. Jagain Mbak Saimah. Ingat, yang baru saja terjadi," tegur Kiai yang langsung membuat Parman menundukkan kepala."Baik, Kiai."Pria sepuh tersebut mengucapkan salam lalu dibalas oleh Parman. Tak lama setelah kepergian Kiai, datang rombongan wartawan menuju arah ruang ICU. Namun, satpam segera menghalangi mereka. Bahkan seorang di antaranya memangg
Mereka berjalan seperti di sebuah lorong. Hanya ada satu cahaya menuju sebuah lubang di ujung lorong. Seketika Parman menghentikan langkah. Ia tahu betul bahwa ini adalah sebuah jebakan. Tanpa berucap sepatah kata pun, Parman memutar langkah dan langsung berlari. Dari mulutnya terucap bacaan Ta'awudz."A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim!"[“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”.]Pria ini semakin mempercepat larinya. Tiba-tiba Parman merasakan lorong tempatnya berlari ambrol. Kepala Parman tertimpa sesuatu dan berakhir gelap. Ia pun jatuh tersungkur." .... bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim." Terdengar lantunan Ayat Kursi bergema memasuki gendang telinga Parman. Kedua mata pria ini masih terasa berat. Ada sesuatu yang melekat di bagian atas kepala sebelah kanan. Parman mencoba menggerakkan jari jemari dan ternyata bisa."Alhamdulillah! Akhirnya siuman," ucap Kiai sembari menatap Parman yang m
"Saya tinggal dulu ke sebelah. Kata dokter, setelah minum obat, insyaallah sakit kepala Mas Parman bisa berkurang," jelas Kiai seraya menatap terenyuh ke arah pria lugu yang kena imbas pesugihan tersebut."Baik, Kiai," balas Parman sambil membuka bungkus roti. Kiai meninggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuk seorang ustaz yang juga menjadi pengurus asrama putra di pondok. Setelah meminum obat kepala Parnan berasa berat dan kedua mata mulai ingin terkatup. Ia berpamitan untuk tidur. Kedua ustaz menunggu di dalam sesuai permintaan Kiai.Tiba-tiba seorang santri datang mencari Kiai dan oleh salah satu ustaz diantar menuju kamar sebelah. Namun, mereka tak menjumpai Kiai di ruangan tersebut. Hanya ada Kesi dan Badrun yang masih tidur pulas karena efek obat yang sedang dijaga oleh santri juga.Ustaz mencoba menelepon ke ponsel Kiai dan pria sepuh tersebut mengaku sedang berada di ruangan dokter. Ustaz yang merasa ada sesuatu tak wajar, akhirnya menyusul ke ruangan yang dimaksud. Lagi-lag
"Ada yang sedang bermain-main dengan kita, Dokter," ucap Kiai dengan jemari memilin biji tasbih."Saya pun merasakan hal tersebut, Kiai," sahut Ustaz Hamid seketika."Teman saya dengan seorang perawat memberitahukan bahwa pasien atas nama Bu Saimah keadaannya telah stabil. Bisa dipindah ke ruang perawatan biasa," urai Lisa dengan hati berdebar-debar.Ia tak ingin peristiwa ini bisa menyeretnya ke kasus yang pelik. Ia tak ingin kena pemutusan hubungan kerja apalagi dilaporkan ke polisi. Kenapa Aldi akhir-akhir ini berbuat aneh? Perawat tadi siapa? Aku tak mengenalnya, batin Lisa dengan kedua tangan gemetar.Sementara di tempat lain, dua orang sedang sibuk mengikat tangan dan kaki seorang wanita dalam sebuah kamar mayat. Mereka adalah Aldi dan pasangan ritualnya serta Saimah yang tak berdaya."Tolong nyalakan lilin. Setelah itu berjaga depan ruangan," ujar Aldi setelah tubuh Saimah terikat sempurna.Pria muda ini memandang tubuh yang terlentang dengan penuh gejolak dalam dada. Wanita t