"Saya tinggal jemput dokter dulu, Pak," pamit si perawat sambil menutup pintu ruangan."Silakan, Sus."Perawat beranjak pergi dan kini, tinggal kedua pria berdiri berhadapan. Parman memandang Aldi tanpa prasangka apa pun. Namun, beda jauh dengan pria muda di depannya.Ia punya ambisi besar. Sesaat setelah menatap tubuh Saimah yang terbujur dari balik kaca, ada sensasi berbeda yang dirasakannya. Meski, Aldi menepis sekuat mungkin, tetapi rasa aneh tersebut semakin menjadi-jadi."Maaf, ada yang harus saya bayar?" Parman mengulang pertanyaan kembali kepada Aldi.Pria muda berkaca mata tersebut masih terlihat termenung sambil memegang map. Parman menepuk bahu pria di sebelahnya. Aldi pun seketika tersadar dari lamunan. Saat itu pula dirinya sadar sedang diawasi oleh Parman.Ia segera menunduk pura-pura mengecek berkas di dalam map. Hal tersebut untuk menutupi perasaan gugup yang sedang dialaminya. Setelah sedikit tenang, Aldi mulai mengeluarkan suara."Ya, Pak. Maaf. Ini ada beberapa tagi
"Sepertinya doa Mas Parman terkabul.""Maksud Kiai, mereka yang ditemukan di hutan?""Insyaallah, Mas. Semoga sesuai harapan kita. Biar nanti beberapa penghuni pondok kemari untuk beristighosah di masjid. Kebetulan kami sudah beberapa kali melakukannya," kata Kiai dengan jemari sibuk memilin biji-biji tasbih. Dari bibir pria sepuh tersebut terdengar doa-doa wirid. Parman ikut berdoa dalam hati. Pria ini sangat berharap ucapan Kiai benar-benar terwujud agar bisa segera menata rencana masa depan kembali."Mau saya temani ke depan, Kiai?" tanya Parman sambil memandangi orang-orang yang berlarian menuju arah luar lobby."Mas Parman di sini saja. Jagain Mbak Saimah. Ingat, yang baru saja terjadi," tegur Kiai yang langsung membuat Parman menundukkan kepala."Baik, Kiai."Pria sepuh tersebut mengucapkan salam lalu dibalas oleh Parman. Tak lama setelah kepergian Kiai, datang rombongan wartawan menuju arah ruang ICU. Namun, satpam segera menghalangi mereka. Bahkan seorang di antaranya memangg
Mereka berjalan seperti di sebuah lorong. Hanya ada satu cahaya menuju sebuah lubang di ujung lorong. Seketika Parman menghentikan langkah. Ia tahu betul bahwa ini adalah sebuah jebakan. Tanpa berucap sepatah kata pun, Parman memutar langkah dan langsung berlari. Dari mulutnya terucap bacaan Ta'awudz."A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim!"[“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk”.]Pria ini semakin mempercepat larinya. Tiba-tiba Parman merasakan lorong tempatnya berlari ambrol. Kepala Parman tertimpa sesuatu dan berakhir gelap. Ia pun jatuh tersungkur." .... bimaa syaa’ wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardlo walaa ya’uuduhuu hifdhuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adhiim." Terdengar lantunan Ayat Kursi bergema memasuki gendang telinga Parman. Kedua mata pria ini masih terasa berat. Ada sesuatu yang melekat di bagian atas kepala sebelah kanan. Parman mencoba menggerakkan jari jemari dan ternyata bisa."Alhamdulillah! Akhirnya siuman," ucap Kiai sembari menatap Parman yang m
"Saya tinggal dulu ke sebelah. Kata dokter, setelah minum obat, insyaallah sakit kepala Mas Parman bisa berkurang," jelas Kiai seraya menatap terenyuh ke arah pria lugu yang kena imbas pesugihan tersebut."Baik, Kiai," balas Parman sambil membuka bungkus roti. Kiai meninggalkan ruangan. Tak lama kemudian masuk seorang ustaz yang juga menjadi pengurus asrama putra di pondok. Setelah meminum obat kepala Parnan berasa berat dan kedua mata mulai ingin terkatup. Ia berpamitan untuk tidur. Kedua ustaz menunggu di dalam sesuai permintaan Kiai.Tiba-tiba seorang santri datang mencari Kiai dan oleh salah satu ustaz diantar menuju kamar sebelah. Namun, mereka tak menjumpai Kiai di ruangan tersebut. Hanya ada Kesi dan Badrun yang masih tidur pulas karena efek obat yang sedang dijaga oleh santri juga.Ustaz mencoba menelepon ke ponsel Kiai dan pria sepuh tersebut mengaku sedang berada di ruangan dokter. Ustaz yang merasa ada sesuatu tak wajar, akhirnya menyusul ke ruangan yang dimaksud. Lagi-lag
"Ada yang sedang bermain-main dengan kita, Dokter," ucap Kiai dengan jemari memilin biji tasbih."Saya pun merasakan hal tersebut, Kiai," sahut Ustaz Hamid seketika."Teman saya dengan seorang perawat memberitahukan bahwa pasien atas nama Bu Saimah keadaannya telah stabil. Bisa dipindah ke ruang perawatan biasa," urai Lisa dengan hati berdebar-debar.Ia tak ingin peristiwa ini bisa menyeretnya ke kasus yang pelik. Ia tak ingin kena pemutusan hubungan kerja apalagi dilaporkan ke polisi. Kenapa Aldi akhir-akhir ini berbuat aneh? Perawat tadi siapa? Aku tak mengenalnya, batin Lisa dengan kedua tangan gemetar.Sementara di tempat lain, dua orang sedang sibuk mengikat tangan dan kaki seorang wanita dalam sebuah kamar mayat. Mereka adalah Aldi dan pasangan ritualnya serta Saimah yang tak berdaya."Tolong nyalakan lilin. Setelah itu berjaga depan ruangan," ujar Aldi setelah tubuh Saimah terikat sempurna.Pria muda ini memandang tubuh yang terlentang dengan penuh gejolak dalam dada. Wanita t
"Kau adalah milikku! Tubuh ini hanya sebuah perantara penyatuan tubuh kita. Setelah besok, kita tak akan terpisah. Kau akan abadi bersamaku, Sayang," bisik lembut Saimah di telinga Aldi. Pria muda ini semakin tertantang. Ia merebahkan tubuh polos Saimah. Dirinya telah terbuai di atas awang-awang tanpa sadar dengan perubahan yang terjadi dengan tubuh wanita yang sedang dicumbunya.'Braaak!' Sebuah tendangan merobohkan daun pintu."Kita pergi sekarang."Sebuah suara berbisik ke telinga Aldi dan seketika tubuh pria muda tersebut seketika lenyap. Sementara tubuh Saimah terbujur lemas di atas ranjang."Kurang ajar! Ke mana dia?" teriak marah Parman setelah di dalam ruangan.Pria berbadan tegap tersebut segera membetulkan letak pakaian si istri. Tubuh lemas Saimah langsung dibopong keluar."Aneh! Ke mana larinya?" tanya Ustaz Hamid sambil memidai seluruh ruangan.Kamar mayat hanya berisi empat ranjang kosong dan sebuah rak besar tempat perkakas. Pria berbaju koko dengan seorang santri itu
"Jangan sampe ketahuan istri kamu, Mas.""Enggak mungkin dia tahu. Lain tempat kerja. Justru kamu yang harus berhati-hati, suami kamu hari ini satu sif, kan?" Parman memandangi mereka dengan hati penuh tanda tanya. Orang-orang ini pada edan apa. Ngelakuin di tempat umum. Ini kan tampak jelas dari kaca.Berkata dalam hati seperti itu, Parman merasakan ada bagian tubuhnya yang ikut tegang. Dua adegan yang dilihatnya telah membangkitkan gairah yang selama beberapa hari tak terpenuhi. Ia dan Saimah telah disibukkan oleh kasus yang tak ada selesainya. Kini, gelinjang dalam darah sedang bergejolak dan pria berbadan kekar ini kelimpungan.Aku harus tahan. Bisa jadi ini godaan para penunggu Gunung Kemukus yang sedang berkeliaran di sini, ucap Parman dalam hati. Tiba-tiba di depan pria kekar ini ada seorang wanita cantik yang sedang berjalan ke arahnya. Senyumnya manis menghias di kedua pipi putih mulus. Bibirnya merah merona alami. Ia tampak tak memakai make up, akan tetapi kecantikan alami
"Mas, dari mana?" Parman segera menoleh ke arah sumber suara yang familier di telinga. Ia melihat Saimah sedang menghampirinya. Parman tersenyum karena melihat istrinya telah sehat kembali. Rasa bahagia yang ia rasakan tertutup oleh perasaan bersalah saat mengingat kejadian dengan wanita cantik."Mas Parman tadi terjatuh di jalan depan," ucap Ustaz Hamid membantu menjawab."Bukannya tadi diminta Kiai. Diajak diskusi di ruangan dokter, ya," ucap Saimah dengan nada heran. "Iya, tadi sebelum ke sana maunya ke toilet dulu. Gak taunya kesasar,"jawab Parman dengan ekspresi sedikit malu. Baru sekarang ia menyadari tingkah konyolnya barusan. Pria berbadan kekar ini langsung memegang tangan Saimah lalu mencium punggungnya dengan rasa mendalam. Ada perasaan bersalah karena niat akan berkhianat."Mas, bisa luka-luka begini. Kenapa?" tanya Saimah sambil membantu memegangi celana.Perawat menggunting bagian celana yang robek untuk memudahkan pengobatan luka. Beberapa saat luka terbuka tersebut