Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain terduduk di ranjang. Dalam diamnya, tampak air mata menetes melewati pipinya yang bersih. Luka akibat goresan sudah ditutup, namun justru luka di hatinya kembali terbuka. Kiana telah memaafkan segala kesalahan Rafael, tapi dengan kesalahan terakhir laki-laki itu, dia sangat amat berat memaafkannya. Bagaimana mungkin Rafael bisa setega itu padanya? Membunuh calon anaknya hanya karena membencinya? Apa jadinya jika laki-laki itu tahu kalau dia tengah hamil? Apakah calon anaknya yang sekarang, juga akan bernasib sama?
"Kiana, makan siang sudah siap. Ayo kita makan!" seru Garry yang berjalan masuk ke kamar Kiana. Menyentak Kiana dari lamunannya. Posisi Kiana yang memang sedang membelakangi, sama sekali tidak bisa membuat Garry melihatnya menangis. Sampai saat Garry mendekat, barulah dia menyadari kalau putrinya tengah bersedih. "Ya, Ayah." "Kamu baik-baik saja?"  Karena cerita ini bentar lagi tamat, untuk bulan depan akan slow update. Terima kasih buat kalian yang udah vote cerita ini dan kasih dukungan dengan komentar, itu sangat berharga. Koran jadi tambah semangat. Semoga, cerita ini bisa menghibur untuk kalian. Lupa mulu dan kemarin mau bikjn catatan.
Rafael menatap pusara ibunya dengan lekat. Sebuket bunga dia letakkan di atas pemakaman itu. Wajahnya tampak murung. Tak ada senyum sedikit pun terlihat di sana. Meski hatinya sudah ikhlas dengan meninggalnya sang ibu di tangan pamannya sendiri. "Semoga Mama tenang di sana. Maafkan semua kesalahan Rafael." Hatinya sesak, tapi Rafael tahu kalau semuanya telah berakhir. Dia tidak bisa melanjutkan balas dendamnya karena mungkin, itu juga bukan hal yang diinginkan oleh sang ibu. Balas dendam yang pada kenyataannya malah menghancurkan dirinya sendiri. Dia menyesal. Matanya kemudian menoleh ke arah lain. Melihat makam ayahnya yang ada di sebelah ibunya. Kakinya ragu untuk mendekat, tapi teringat akan perbuatannya pada sang ayah, Rafael melangkah pelan. Makam itu tampak sangat tidak terawat. Berbeda dengan makam ibunya yang memang masih baru. Semua karena baik dia atau pun kakeknya, tidak hampir tidak pernah datang ke sini. &n
Kiana mengelus perutnya dengan penuh kasih sayang. Hari ini, Kiana akan memulai mengecek kehamilan dengan ditemani oleh ayahnya ke rumah sakit. Garry rela meninggalkan pekerjaannya sehari hanya untuk menemani sang putri. Tidak, bukan meninggalkan melainkan mengalihkan pekerjaannya ke rumah. "Tunggu, apa kau melihat Ayah?" Kiana menghentikan seorang pelayan yang melintas di depannya. Seorang wanita muda seumurannya. Mungkin beberapa tahun lebih tua di atasnya. "Beliau ada di ruang kerjanya, Nona." "Baiklah, terima kasih." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kiana melangkah dengan pelan sambil bersenandung. Berjalan dan tersenyum pada para pelayan yang melewatinya. Dia senang karena semua orang di rumah ayahnya bersikap sangat baik. Tidak ada yang bersikap buruk. Begitu juga dengan sang ayah yang bahkan tahu kalau saat ini dirinya tengah hamil. Hingga dirinya tiba di depan ru
Rafael menatap pria tua di hadapannya dengan gugup. Dia tidak percaya kalau dirinya ketahuan dengan sangat mudah oleh ayah Kiana. Apa yang akan dirinya lakukan sekarang? Garry membawanya menuju halaman samping rumah sakit. Meninggalkan Kiana bersama Andrew. Padahal dia ingin sekali melihat wanita itu. "Jadi, katakan apa tujuanmu mengikuti kami?" Tatapan Garry begitu menusuk, sampai-sampai Rafael sedikit tak nyaman. Akan tetapi, dia tidak boleh mundur. "Saya ... hanya ingin melihat Kiana." "Apa kau berniat menculik anakku lagi? Kaumau menjadikannya gila atau mau membuatnya tersiksa sampai bunuh diri? Atau kau hanya ingin menjadikannya mainan yang bisa kau setubuhi setiap waktu?" Kata-kata yang dilontarkan Garry cukup untuk membuat Rafael merasa tertohok. Wajahnya berubah murung dan kepala yang tadinya menatap lurus penuh keyakinan, kini tampak tertunduk malu. Apa dirinya memang sejahat itu? Akan
"Apa pernikahan itu sangat penting, Ken? Aku tidak mengerti kenapa Kiana menamparku," ucap Rafael saat berada di kamar temannya. Ken melirik ke arah Rafael sekilas, sebelum dia fokus kembali pada gadget di tangannya. Tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan konyol temannya. Laki-laki itu terlihat masih sangat kesal karena Rafael menghilang di rumah sakit sedang dia mencari-carinya setelah memarkirkan mobil. Sialnya, temannya juga tidak mau mengangkat telepon. Sampai setelah tiga puluh menit lebih, dia baru menemukan laki-laki itu yang tengah berjalan di lorong koridor dengan wajah kusut. Persis seperti orang yang kehilangan arah. Berjalan sempoyongan dan tampak seperti memiliki banyak pikiran. Rafael bahkan tak menjawab semua pertanyaan atau gerutuannya. Hanya diam sampai mereka pulang ke apartemen. Kini, baru kalimat tersebut yang meluncur lolos dari mulut laki-laki itu. Siapa yang tidak kesal jika s
"Rafael? Kau ... bagaimana bisa?" Kiana berusaha melepaskan pelukannya. Dia menatap Rafael dengan bingung, sampai matanya menatap ke arah jendela yang terbuka. Apa mungkin laki-laki ini masuk melalui jendela tersebut? Belum sempat pertanyaannya keluar, Rafael sudah kembali memeluknya erat. Hingga Kiana sedikit sesak karenanya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh itu menjauh. "Se-sak. L-lepash." "Maaf, maafkan aku." Serta merta, pelukannya terlepas. Raut khawatir terlihat di wajah Rafael saat Kiana memegangi dadanya, yang tanpa sadar juga ikut dipegangnya. Kiana hanya melongo menatap Rafael. Dia seketika menepis tangan laki-laki itu dengan semburat merah terlihat di pipinya. "Jangan menyentuhku sembarangan." Barulah Rafael tersadar dengan apa yang dilakukannya dan seketika dia menyembunyikan kedua tangannya. Berpaling ke arah lain karena gugup. Dia tidak bermaksud m
"Ayah, jadi Ayah mengawasi Kiana selama ini?" Kiana menatap Garry dengan sorot menuntut jawaban. Dia melihat pigura dirinya yang dipasangi kamera kecil. Kamera pengintai yang bisa melihat apa pun yang Kiana lakukan di dalam kamar. "Maaf, Ayah hanya takut kalau kamu melarikan diri atau seorang penyusup masuk." Garry menekankan kata 'penyusup' sambil melirik ke arah Rafael. Akan tetapi, orang yang disinggung sama sekali tak bereaksi dan hanya tersenyum seolah-olah tidak melakukan sesuatu yang salah. Di tangannya sudah ada cincin yang tadi hendak digunakan untuk melamar Kiana. "Tapi apa yang Ayah lakukan sangat mengganggu! Dan lagi, apa benar Ayah melihat semuanya dari awal?" Garry tidak punya alasan untuk menyangkal tudingan putrinya. Dia mengangguk dan membenarkan perkataan Rafael. Dia tentu tidak setiap waktu me
"Apa ini? Kenapa kau terus melamun?" tegur sebuah suara. Mengalihkan perhatian Rafael yang saat ini tengah menatap kertas di atas meja dengan tatapan kosong. "Kakek." Kakek tua yang selama beberapa hari tidak ditemuinya karena Guzman sibuk mengurus masalah Mario serta Marcel, kini datang dalam keadaan sangat sehat di usia senjanya. "Ada apa Kakek ke sini? Apa terjadi sesuatu?" "Harusnya Kakek yang bertanya seperti itu. Kakek mendapat kabar kalau kau tidak masuk dua hari kemarin. Sekarang, kau juga bermalas-malasan. Mana janjimu," desak Guzman. Kakinya melangkah dan duduk di sofa tak jauh dari meja sang cucu. Embusan napas lelah keluar dari mulut Rafael. Dia menatap sang kakek tajam. Ingin rasanya menyangkal ucapan kakeknya. Dia tidak bermaksud untuk malas-malasan, hanya saja pikirannya tidak bisa berhenti untuk tidak mengulang apa yang terjadi semalam. Dia masih ingin bersama Kiana.
Telat. Dia kalah. Andrew sudah mendahuluinya. Laki-laki itu tampak tengah bicara dengan Kiana di depan pintu. Keduanya tidak menyadari Rafael yang memerhatikan mereka dari pagar besi yang menjulang dan menjadi pembatas bagi mereka. Ini terlalu memuakkan. Siapa yang tidak panas melihat wanita yang dicintainya sedang bersama pria lain? Sedang dia hanya diam di balik pagar bak seorang pecundang. Pandangan Rafael beralih menatap bunga mawar digenggamnya yang sedikit rusak karena sengaja diinjak oleh Andrew sebelum laki-laki itu pergi. Dia bahkan belum sempat mengobati wajahnya yang terdapat sedikit memar karena Andrew memukulnya dengan tiba-tiba. Hanya membasuhnya untuk menghilangkan darah. Niatnya untuk datang lebih awal ternyata sudah dicuri lebih dulu oleh Andrew. Sial. Walau begitu, kata mengalah sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Dia sudah berjanji dan meyakinkan dirinya kalau dia akan terus maju. Membuat Kiana mau menerimanya.
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal