Rafael menatap pria tua di hadapannya dengan gugup. Dia tidak percaya kalau dirinya ketahuan dengan sangat mudah oleh ayah Kiana. Apa yang akan dirinya lakukan sekarang? Garry membawanya menuju halaman samping rumah sakit. Meninggalkan Kiana bersama Andrew. Padahal dia ingin sekali melihat wanita itu.
"Jadi, katakan apa tujuanmu mengikuti kami?" Tatapan Garry begitu menusuk, sampai-sampai Rafael sedikit tak nyaman. Akan tetapi, dia tidak boleh mundur. "Saya ... hanya ingin melihat Kiana." "Apa kau berniat menculik anakku lagi? Kaumau menjadikannya gila atau mau membuatnya tersiksa sampai bunuh diri? Atau kau hanya ingin menjadikannya mainan yang bisa kau setubuhi setiap waktu?" Kata-kata yang dilontarkan Garry cukup untuk membuat Rafael merasa tertohok. Wajahnya berubah murung dan kepala yang tadinya menatap lurus penuh keyakinan, kini tampak tertunduk malu. Apa dirinya memang sejahat itu? Akan"Apa pernikahan itu sangat penting, Ken? Aku tidak mengerti kenapa Kiana menamparku," ucap Rafael saat berada di kamar temannya. Ken melirik ke arah Rafael sekilas, sebelum dia fokus kembali pada gadget di tangannya. Tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan konyol temannya. Laki-laki itu terlihat masih sangat kesal karena Rafael menghilang di rumah sakit sedang dia mencari-carinya setelah memarkirkan mobil. Sialnya, temannya juga tidak mau mengangkat telepon. Sampai setelah tiga puluh menit lebih, dia baru menemukan laki-laki itu yang tengah berjalan di lorong koridor dengan wajah kusut. Persis seperti orang yang kehilangan arah. Berjalan sempoyongan dan tampak seperti memiliki banyak pikiran. Rafael bahkan tak menjawab semua pertanyaan atau gerutuannya. Hanya diam sampai mereka pulang ke apartemen. Kini, baru kalimat tersebut yang meluncur lolos dari mulut laki-laki itu. Siapa yang tidak kesal jika s
"Rafael? Kau ... bagaimana bisa?" Kiana berusaha melepaskan pelukannya. Dia menatap Rafael dengan bingung, sampai matanya menatap ke arah jendela yang terbuka. Apa mungkin laki-laki ini masuk melalui jendela tersebut? Belum sempat pertanyaannya keluar, Rafael sudah kembali memeluknya erat. Hingga Kiana sedikit sesak karenanya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh itu menjauh. "Se-sak. L-lepash." "Maaf, maafkan aku." Serta merta, pelukannya terlepas. Raut khawatir terlihat di wajah Rafael saat Kiana memegangi dadanya, yang tanpa sadar juga ikut dipegangnya. Kiana hanya melongo menatap Rafael. Dia seketika menepis tangan laki-laki itu dengan semburat merah terlihat di pipinya. "Jangan menyentuhku sembarangan." Barulah Rafael tersadar dengan apa yang dilakukannya dan seketika dia menyembunyikan kedua tangannya. Berpaling ke arah lain karena gugup. Dia tidak bermaksud m
"Ayah, jadi Ayah mengawasi Kiana selama ini?" Kiana menatap Garry dengan sorot menuntut jawaban. Dia melihat pigura dirinya yang dipasangi kamera kecil. Kamera pengintai yang bisa melihat apa pun yang Kiana lakukan di dalam kamar. "Maaf, Ayah hanya takut kalau kamu melarikan diri atau seorang penyusup masuk." Garry menekankan kata 'penyusup' sambil melirik ke arah Rafael. Akan tetapi, orang yang disinggung sama sekali tak bereaksi dan hanya tersenyum seolah-olah tidak melakukan sesuatu yang salah. Di tangannya sudah ada cincin yang tadi hendak digunakan untuk melamar Kiana. "Tapi apa yang Ayah lakukan sangat mengganggu! Dan lagi, apa benar Ayah melihat semuanya dari awal?" Garry tidak punya alasan untuk menyangkal tudingan putrinya. Dia mengangguk dan membenarkan perkataan Rafael. Dia tentu tidak setiap waktu me
"Apa ini? Kenapa kau terus melamun?" tegur sebuah suara. Mengalihkan perhatian Rafael yang saat ini tengah menatap kertas di atas meja dengan tatapan kosong. "Kakek." Kakek tua yang selama beberapa hari tidak ditemuinya karena Guzman sibuk mengurus masalah Mario serta Marcel, kini datang dalam keadaan sangat sehat di usia senjanya. "Ada apa Kakek ke sini? Apa terjadi sesuatu?" "Harusnya Kakek yang bertanya seperti itu. Kakek mendapat kabar kalau kau tidak masuk dua hari kemarin. Sekarang, kau juga bermalas-malasan. Mana janjimu," desak Guzman. Kakinya melangkah dan duduk di sofa tak jauh dari meja sang cucu. Embusan napas lelah keluar dari mulut Rafael. Dia menatap sang kakek tajam. Ingin rasanya menyangkal ucapan kakeknya. Dia tidak bermaksud untuk malas-malasan, hanya saja pikirannya tidak bisa berhenti untuk tidak mengulang apa yang terjadi semalam. Dia masih ingin bersama Kiana.
Telat. Dia kalah. Andrew sudah mendahuluinya. Laki-laki itu tampak tengah bicara dengan Kiana di depan pintu. Keduanya tidak menyadari Rafael yang memerhatikan mereka dari pagar besi yang menjulang dan menjadi pembatas bagi mereka. Ini terlalu memuakkan. Siapa yang tidak panas melihat wanita yang dicintainya sedang bersama pria lain? Sedang dia hanya diam di balik pagar bak seorang pecundang. Pandangan Rafael beralih menatap bunga mawar digenggamnya yang sedikit rusak karena sengaja diinjak oleh Andrew sebelum laki-laki itu pergi. Dia bahkan belum sempat mengobati wajahnya yang terdapat sedikit memar karena Andrew memukulnya dengan tiba-tiba. Hanya membasuhnya untuk menghilangkan darah. Niatnya untuk datang lebih awal ternyata sudah dicuri lebih dulu oleh Andrew. Sial. Walau begitu, kata mengalah sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Dia sudah berjanji dan meyakinkan dirinya kalau dia akan terus maju. Membuat Kiana mau menerimanya.
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry