"Keparat sialan! Kau yang membuat Ibu meninggal, kan? Aku tahu kau membunuh Ibuku!" pekik Renoir terdengar hingga ke seluruh halaman rumah megah kediamannya.
Ia tengah beradu pandang dengan seseorang yang paling dibenci di dunia, Gerrard Kim—sang ayah, yang berdiri tepat di ujung anak tangga. Mata cokelat indah Renoir seolah mengeluarkan api, hidung tingginya mengendus cepat, rahang tegasnya pun mengeras.Langit malam berbintang, juga rumput-rumput di halaman jadi saksi betapa sakitnya Renoir tatkala mengetahui kebenaran pahit dan menyesakkan. Kematian ibunya sebulan lalu bukanlah kecelakaan murni. Setelah merasakan kejanggalan atas kejadian nahas bulan lepas, Renoir meminta bantuan seorang teman untuk melakukan penyelidikan mandiri. Tidak mungkin minta bantuan polisi kalau lawannya adalah sang ayah. Bukan tanpa sebab, kekuasaan Gerrard sebagai seorang pesohor di negeri dengan segala materi dan kuasa yang dimilikinya pasti membuat penegak hukum enggan mencolek pria itu.Setelah berbagai usaha keras yang dikerahkan, kini Renoir mendapatkan kesimpulan. Bahwa kematian ibunda telah diatur sedemikian rupa hingga terlihat alamiah. Orang awam tidak akan menyadari perihal beberapa hal ganjil saat proses penanganan mayat Cherie—ibu Renoir. Jika bukan sebab rasa cinta dan sayang yang menggunung, mata Renoir juga bisa tertutup. Namun berkat rasa itu, ia memiliki pertanggungjawaban untuk mengungkap fakta yang sebenarnya.Gerrard hanya berekspresi datar—seperti biasa. Pria paruh baya elegan nan congkak itu berdiri tegak tanpa membungkukkan sedikit pun tulang belakangnya. Sorot mata itu tertuju pada sang putra semata wayang yang kelak akan mewarisi seluruh bisnis yang ia pegang. Diamond Grup, sebuah imperium penginapan dan klub malam. Perusahaan yang tersohor bukan hanya di dalam negeri, namun juga mengekspansi hingga negeri seberang.Bukan hanya Diamond Grup, Gerrard juga memiliki bisnis lain. Bisnis gelap yang ia jalankan dari balik layar. Sebuah bisnis berbondong-bondong, jaringan yang tersebar ke mana-mana. Bukan bisnis sembarangan, ini bisnis penuh resiko menantang. Kelak, Renoir-lah yang akan menangani itu semua. Namun sekarang Renoir bahkan belum tahu soal bisnis 'lain' itu. Gerrard sengaja menyembunyikannya dari Renoir, ia berniat memberitahu sang anak di saat yang tepat."Kau tidak mengerti apa pun. Aku melakukannya demi kebaikanmu," balas Gerrard dengan tenang."Kebaikan apa?! Kau tidak pernah tahu apa yang baik untukku! Kau hanya memaksakan egomu dengan terus menggunakanku!" Renoir berapi-api.Gerrard masih beraut tenang. Orang itu memang sudah mati rasa."Biar kutunjukkan apa yang baik buatku." Renoir memajukan langkah penuh amarah. Menghampiri sang ayah yang tidak tergugah.Renoir berniat menghabisi sang ayah. Mengingat kekuatan yang telah ia sempurnakan selama bertahun-tahun, mengalahkan pria tua di hadapan pasti tidaklah sulit. Renoir mengerahkan tinju, Gerrard mengelak dengan mudah."Jangan lakukan ini pada Ayahmu," kata Gerrard tenang."Kau— aku tidak ingin melihatmu lagi!" Renoir terus melayangkan tinju tanpa mengenai Gerrard sedikit pun. Orang tua itu bisa membaca serangan si bocah marah dengan gampang."Argh!" Renoir mengeluh sebab upayanya percuma. Gerrard masih sulit dikalahkan."Kau harus mati!" Serangan Renoir membabi-buta, namun Gerrard bisa menghentikannya dengan sekali gerak.Buk! Tendangan telak menghempaskan tubuh ringkih anak itu."Hiks ... hiks ... arghhh!" Renoir menangis hingga berteriak. Bukan karena sakitnya tendangan yang menghujam ulu hati, melainkan sebab rasa sakit di dalam hati.Ia menggenggam erat rumput yang jadi alas, menatap gusar sosok yang berjalan malas. Renoir masih terisak-isak meluapkan segala kekesalan. Hidup ini tak henti memberinya penderitaan. Renoir pun mulai berpikir, lantas untuk apa dirinya diciptakan?"Ayo, berdiri, Nak." Gerrard meraih tangan Renoir. Menarik sang putra untuk bangkit lantas memeluknya.Momen sentimental yang tidak perlu. Selama bertahun-tahun—mungkin seumur hidupnya, mana pernah Gerrard berlaku seperti ini. Mendekap erat putranya yang tampak kesulitan, berusaha untuk membuat perasaannya tenang. Renoir tidak merasakan apa pun dalam rengkuhan itu, pelukan yang terasa kosong tak berarti."Seharusnya kau jangan memelukku. Itu tidak mengubah apa pun." Renoir menekankan ucapannya sambil menghentikan tangis dan air mata."Semua ini karena ulahmu. Kau yang membuatku menjadi seperti ini!" Ia menambahkan."Cukup, Renoir. Aku sadar kau tidak akan bisa menghentikan kebencian terhadapku. Tapi, aku melakukan semuanya demi kau, Putraku." Gerrard tidak melepas pelukan yang dilawan Renoir."Tidak, jangan gunakan aku sebagai alasan tidak masuk akalmu! Kau membunuh Ibu demi aku?!"Gerrard tidak mampu lagi menahan diri. Ia melepas dekapan, menghadapkan wajah Renoir ke arahnya. Sekarang ia akan mengungkap alasan mengapa dirinya memperlakukan putra kesayangannya dengan kasar selama bertahun-tahun. Inilah waktu yang tepat."Dengar, Nak. Aku akan memberitahu sesuatu. Alasan mengapa aku dipandang buruk olehmu."Sorot mata Renoir penuh benci."Ayo, ikut aku. Kita harus pergi."Tanpa basa-basi, Gerrard menggeret Renoir menuju garasi untuk menggunakan salah satu mobil mahal di sana. Renoir ikut bukan sebab menurut, ia perlu tahu alasan apa yang dikatakan Gerrard."Kalau alasannya hanyalah sebuah hal konyol, akan kutembak kepalanya saat tiba di rumah," batin Renoir bergelora.Keduanya menempuh perjalanan mengarungi gelap malam menuju antah berantah. Renoir tidak bertanya, hanya menanti ke mana arah tujuan mereka. Akhirnya mereka tiba, ternyata tidak jauh tempatnya, masih di tengah kota. Renoir menengadah menyorot tajam ke arah bangunan ruko berlantai dua biasa."Kenapa ayah membawaku ke sini?" tanya Renoir pada diri sendiri."Ayo, Nak," ajak Gerrard.Renoir mengikuti jejak Gerrard keluar dari mobil. Membuntuti orangtua berpakaian formal itu menuju pintu kusam di ujung pandangan."Tempat apa ini?""Kau akan segera tahu," jawab Gerrard tanpa menghentikan langkah.Renoir mengambil napas lebih dalam kemudian membuangnya dengan keras. Apapun itu firasatnya mengatakan tidak baik. Sudah pasti, mana ada hal baik yang berkaitan dengan kematian yang disengaja. Gerrard cuma memberitahu penyebab pembunuhan terhadap Cherie. Dengan dalih apa pun, tetap saja Renoir tidak akan memaafkan Gerrard bahkan hingga sampai ke kehidupan berikutnya.Gerrard mendorong pintu berdebu, Renoir melangkah ragu-ragu. Sesaat melewati ambang pintu, Renoir dapat menangkap pemandangan kumuh di sepanjang mata memandang. Tempat yang sama sekali bukan gaya hidupnya."Ayo!" Gerrard mengajak Renoir yang terpaku untuk beralih ke lantai dua bangunan itu.Tangga menuju atas tampak suram. Sebenarnya tempat apa ini? Mengapa Gerrard tahu tempat macam ini? Renoir tidak habis pikir pria congkak yang kerap menyombongkan harta bisa-bisanya datang ke tempat kumuh penuh debu dan kuman, astaga.Tiba saat kaki Renoir menginjak lantai dua, terlihat beberapa orang bertampang garang dengan pakaian serupa. Mereka tampak terkesiap begitu melihat Gerrard kemudian membungkuk takzim tepat membentuk sudut 90 derajat. Renoir bingung.Lantas ada seseorang keluar dari balik pintu sebuah ruangan. Seorang pria berkulit pucat dengan rambut yang tidak kalah pucat. Pria itu juga membungkuk hormat. Renoir semakin bingung."Renoir, maaf, baru mengatakannya sekarang."Renoir mendengarkan dengan seksama. Gerrard menoleh, memusatkan atensi kepada anaknya."Perkenalkan, mereka adalah anggota Geng Intan. Kelompok gengster pimpinan Ayah."***Welcome di cerita pertama aku di GoodNovel. Semoga kalian suka dengan ceritanya. Silakan tinggalkan review dan vote kalian. Thx
"Geng ... ?" Alis Renoir hampir menyatu tatkala Gerrard mengungkap satu fakta yang tidak pernah Renoir ketahui sebelumnya. "Apa maksudmu?""Kau terkejut?" Gerrard memegang kedua bahu sang putra sebelum menjelaskan lebih rinci, "bagaimana pun, kau harus menerima kenyataan ini. Sejujurnya aku berencana mengungkapkannya padamu setelah kau lulus kuliah dan mulai sedikit banyak mengurus perusahaan. Tapi—"Tatapan Renoir belum berubah."Bisakah turunkan tensimu sedikit?""Tidak bisa. Kau baru saja mengatakan sebuah hal besar. Mana bisa aku santai begitu tahu kalau kau adalah bos gengster?!" geram Renoir.Gerrard berdecak pelan sambil menarik napas dari mulut. Ya, ia memang menutupinya dengan baik, bukan hanya dari publik bahkan dari anaknya sendiri."Bisnis keluarga kita bukan hanya Diamond Grup—sejak lama. Aku hanya meneruskannya dari kakekmu, Renoir. Awalnya aku juga terkejut saat mengetahui takdirku, menjadi pimpinan kelompok amoral
“Aku? Akan jadi pemimpin gengster?”Setelah pertengkaran semalam dan pengungkapan yang dilakukan Gerrard, Renoir tidak merasa lebih baik. Sekarang ia mengerti, mengapa sang ayah kerap bertindak keras padanya. Renoir diharuskan untuk tidak memiliki rasa takut, tidak punya hati, persis seperti Gerrard.Selepas membawa pulang mobil Gerrard semalam, orangtua itu malah tidak pulang ke rumah. Renoir sudah bisa tebak, “Paling-paling dia pergi ke tempat wanita sialan itu lagi,” ucapnya disertai seringai."Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran tua bangka itu. Menikahi seorang wanita, tidak memberinya rasa cinta sedikit pun, menghabisi nyawanya tanpa ampun bahkan bisa-bisanya berkumpul dengan jalang dan anak haram itu dengan tenang.""... dia benar-benar bukan manusia."Deru mesin pemotong rumput memekak telinga. Renoir tengah duduk di tepian selasar rumah merenungi hidup. Entah dari mana titik mula kisah hidup ini. Orang b
Tatapan Renoir bergetar memandang ayahnya yang berwajah tenang. Meski tenang, keberadaannya tetap mengancam. Atmosfer di ruangan menjadi kelam. Renoir masih bungkam dengan pertanyaan Gerrard. Apa yang terjadi padanya, sebaiknya tidak perlu diungkap."Siapa yang mengajarimu mengabaikan pertanyaan orangtua?" sambung Gerrard sebab Renoir tak kunjung menjawab."Aku terjatuh waktu main sepak bola di sekolah," jawab Renoir spontan.Gerrard mengangkat sebelah alis. "Kau terjatuh? Katuh dari lantai berapa? Jangan coba-coba membodohiku. Kecuali kau mendapat luka-luka itu dari bola yang dihantamkan ke wajahmu berkali-kali, aku akan percaya.""Ehh ..." Renoir kehabisan kata-kata untuk membalas pernyataan sang ayah."Katakan yang jujur, kenapa wajahmu bisa seperti itu?"Renoir meremas ujung celana pendeknya."Kau berani membohongi Ayahmu, Renoir?" Tatapan Gerrard semakin tajam.Renoir tidak sanggup men
Satu tahun sembilan bulan kemudian, Renoir lagi-lagi bertanding di halaman belakang. Sudah hampir dua tahun dan belum sekali pun ia menjatuhkan Gerrard. Bukan lawan yang setimpal. Keyakinan Renoir akan kemampuan bela dirinya kini meningkat hingga akhirnya untuk pertama kali, Gerrard berhasil dibanting di atas rumput empuk yang selalu tertata rapi.Gerrard terperangah di pembaringan seolah tak percaya bahwa inilah harinya. Hari di mana Renoir telah berubah menjadi sosok yang diinginkannya."Ayah bisa bangun?" Renoir mengulurkan tangan.Gerrard menggenggamnya tanpa ragu. Untuk pertama kalinya ia tersentuh dengan sang putra."Renoir ..." Sampai-sampai Gerrard menyentuh bahu Renoir dan mengulas senyum tipis, "kau harus mengikuti ujian sabuk hitam!"Dan Renoir pun mengikutinya beberapa hari kemudian. Ia masuk ke arena pertandingan memakai seragam bela diri lengkap dengan sabuk merah melingkar di pinggang, juga kehadiran kedua orangtu
Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka."Heaven's Crew?" saran Ivan."Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju."Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem."Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya."Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian."Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju.""Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat
Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai,
Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dala
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu