Renoir membaca pesan di tengah aktivitas makan siangnya.
"Renoir, kurasa aku sedang tidak baik-baik saja."
Tangan kirinya memegang ponsel erat-erat, matanya menyorot lamat-lamat, sementara tangan kanan masih setia mengantar makanan, sedang mulutnya terus mengunyah. Ekspresinya selalu lucu saat makan, bibirnya mirip Donald Duck, terasa ingin menarik bibir itu saking gemasnya. Renoir berpikir, apa Natalia cemas gara-gara tiramisu semalam? Atau karena, ah ... Renoir menyeringai. Pasti karena hal ini.
"Kenapa, sayang? Kurasa kau butuh tiramisu lagi agar perasaanmu membaik," balas Renoir tidak ragu menyebut Natalia dengan 'sayang'.
Renoir terus tersenyum ke arah ponselnya dan itu membuat atensi Niguel di sebelah tertarik. Penasaran apa yang dilakukan sang ketua dengan gawainya sampai sumringah begitu. Niguel mengintip dan melihat layar diisi kolom chat. Na-ta-li-a, Niguel mengeja dalam hati. Hmm, siapa Natalia?
"
Renoir menekan tombol penyiram di toilet. Barusan buang hajat besar, perutnya terasa sedikit lapar. Dia membuka pintu beralih menuju wastafel, kebetulan ada murid yang bisa disuruh-suruh.Belum cuci tangan, Renoir merangkul bahu Fermin yang terlihat jengkel dari cermin. "Sudah selesai cuci tangan? Belikan aku soda dan cemilan, ya. Bawakan ke markas," perintah Renoir ringan kemudian menepuk-nepuk punggung siswa yang kerap jadi mainan anggota gengnya.Tidak mampu mengelak, Fermin pasrah disuruh-suruh oleh sang ketua geng. Renoir menyalakan keran, membasahi kedua tangan lalu menuang sabun cair."Tunggu apa lagi? Kau ingin aku mati kelaparan?" katanya sedikit membentak. Fermin pun pergi setelah ditegur.Nikmat betul hari-hari sang ketua seolah punya pelayan pribadi meskipun di sekolah, bukan di rumah. Bedanya, pelayan ini tidak mendapat bayaran sepeser pun. Cuma-cuma, lebih tepatnya terpaksa. Takut kalau melawan bakal dijadikan bulan-bulanan lagi oleh antek-a
"Keparat sialan! Kau yang membuat Ibu meninggal, kan? Aku tahu kau membunuh Ibuku!" pekik Renoir terdengar hingga ke seluruh halaman rumah megah kediamannya.Ia tengah beradu pandang dengan seseorang yang paling dibenci di dunia, Gerrard Kim—sang ayah, yang berdiri tepat di ujung anak tangga. Mata cokelat indah Renoir seolah mengeluarkan api, hidung tingginya mengendus cepat, rahang tegasnya pun mengeras.Langit malam berbintang, juga rumput-rumput di halaman jadi saksi betapa sakitnya Renoir tatkala mengetahui kebenaran pahit dan menyesakkan. Kematian ibunya sebulan lalu bukanlah kecelakaan murni. Setelah merasakan kejanggalan atas kejadian nahas bulan lepas, Renoir meminta bantuan seorang teman untuk melakukan penyelidikan mandiri. Tidak mungkin minta bantuan polisi kalau lawannya adalah sang ayah. Bukan tanpa sebab, kekuasaan Gerrard sebagai seorang pesohor di negeri dengan segala materi dan kuasa yang dimilikinya pasti membuat penegak hukum enggan mencolek pria itu
"Geng ... ?" Alis Renoir hampir menyatu tatkala Gerrard mengungkap satu fakta yang tidak pernah Renoir ketahui sebelumnya. "Apa maksudmu?""Kau terkejut?" Gerrard memegang kedua bahu sang putra sebelum menjelaskan lebih rinci, "bagaimana pun, kau harus menerima kenyataan ini. Sejujurnya aku berencana mengungkapkannya padamu setelah kau lulus kuliah dan mulai sedikit banyak mengurus perusahaan. Tapi—"Tatapan Renoir belum berubah."Bisakah turunkan tensimu sedikit?""Tidak bisa. Kau baru saja mengatakan sebuah hal besar. Mana bisa aku santai begitu tahu kalau kau adalah bos gengster?!" geram Renoir.Gerrard berdecak pelan sambil menarik napas dari mulut. Ya, ia memang menutupinya dengan baik, bukan hanya dari publik bahkan dari anaknya sendiri."Bisnis keluarga kita bukan hanya Diamond Grup—sejak lama. Aku hanya meneruskannya dari kakekmu, Renoir. Awalnya aku juga terkejut saat mengetahui takdirku, menjadi pimpinan kelompok amoral
“Aku? Akan jadi pemimpin gengster?”Setelah pertengkaran semalam dan pengungkapan yang dilakukan Gerrard, Renoir tidak merasa lebih baik. Sekarang ia mengerti, mengapa sang ayah kerap bertindak keras padanya. Renoir diharuskan untuk tidak memiliki rasa takut, tidak punya hati, persis seperti Gerrard.Selepas membawa pulang mobil Gerrard semalam, orangtua itu malah tidak pulang ke rumah. Renoir sudah bisa tebak, “Paling-paling dia pergi ke tempat wanita sialan itu lagi,” ucapnya disertai seringai."Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran tua bangka itu. Menikahi seorang wanita, tidak memberinya rasa cinta sedikit pun, menghabisi nyawanya tanpa ampun bahkan bisa-bisanya berkumpul dengan jalang dan anak haram itu dengan tenang.""... dia benar-benar bukan manusia."Deru mesin pemotong rumput memekak telinga. Renoir tengah duduk di tepian selasar rumah merenungi hidup. Entah dari mana titik mula kisah hidup ini. Orang b
Tatapan Renoir bergetar memandang ayahnya yang berwajah tenang. Meski tenang, keberadaannya tetap mengancam. Atmosfer di ruangan menjadi kelam. Renoir masih bungkam dengan pertanyaan Gerrard. Apa yang terjadi padanya, sebaiknya tidak perlu diungkap."Siapa yang mengajarimu mengabaikan pertanyaan orangtua?" sambung Gerrard sebab Renoir tak kunjung menjawab."Aku terjatuh waktu main sepak bola di sekolah," jawab Renoir spontan.Gerrard mengangkat sebelah alis. "Kau terjatuh? Katuh dari lantai berapa? Jangan coba-coba membodohiku. Kecuali kau mendapat luka-luka itu dari bola yang dihantamkan ke wajahmu berkali-kali, aku akan percaya.""Ehh ..." Renoir kehabisan kata-kata untuk membalas pernyataan sang ayah."Katakan yang jujur, kenapa wajahmu bisa seperti itu?"Renoir meremas ujung celana pendeknya."Kau berani membohongi Ayahmu, Renoir?" Tatapan Gerrard semakin tajam.Renoir tidak sanggup men
Satu tahun sembilan bulan kemudian, Renoir lagi-lagi bertanding di halaman belakang. Sudah hampir dua tahun dan belum sekali pun ia menjatuhkan Gerrard. Bukan lawan yang setimpal. Keyakinan Renoir akan kemampuan bela dirinya kini meningkat hingga akhirnya untuk pertama kali, Gerrard berhasil dibanting di atas rumput empuk yang selalu tertata rapi.Gerrard terperangah di pembaringan seolah tak percaya bahwa inilah harinya. Hari di mana Renoir telah berubah menjadi sosok yang diinginkannya."Ayah bisa bangun?" Renoir mengulurkan tangan.Gerrard menggenggamnya tanpa ragu. Untuk pertama kalinya ia tersentuh dengan sang putra."Renoir ..." Sampai-sampai Gerrard menyentuh bahu Renoir dan mengulas senyum tipis, "kau harus mengikuti ujian sabuk hitam!"Dan Renoir pun mengikutinya beberapa hari kemudian. Ia masuk ke arena pertandingan memakai seragam bela diri lengkap dengan sabuk merah melingkar di pinggang, juga kehadiran kedua orangtu
Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka."Heaven's Crew?" saran Ivan."Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju."Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem."Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya."Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian."Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju.""Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat
Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai,