Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka.
"Heaven's Crew?" saran Ivan."Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju."Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem."Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya."Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian."Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju.""Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat penggawang, diketuai Renoir, semuanya setuju dengan hal tersebut sebab ia memenuhi seluruh syarat; satu, jelas laki-laki, dua, Renoir punya pengaruh paling besar di antara mereka, tiga, ia populer di kalangan murid-murid perempuan."Kita perlu basecamp. Tidak asyik kalau hanya berkumpul di kantin. Kita perlu markas," tutur Ivan."Soal markas ... aku tahu tempat yang pas." Renoir punya ide.Ia mengajak Ivan, Niguel dan Sebastian ke bagian belakang sekolah, tepatnya ke gimnasium lama. Tempat kosong terbengkalai itu hendak Renoir alih fungsikan sebagai tempat nongkrong mereka. Renoir mendorong pintu bangunan berbentuk lingkaran tersebut, tidak terendus bau debu memang, tapi, sayangnya tempat itu tidak dibekali pencahayaan. Niguel sudah mencoba menaikkan sekring namun nihil.“Sepertinya listrik di tempat ini sudah diputus,” terang Niguel.“Ah, sial! Padahal ini markas terbaik.” Renoir bersikukuh untuk membuat gimnasium lama menjadi markas untuk gengnya. “Begini saja, bagaimana kalau kita bicara dengan staf sekolah untuk menyediakan listrik di tempat ini lagi?”“Eh? Memangnya keinginan kita bisa dikabulkan?” Sebastian tidak yakin.“Kita coba dulu. Aku percaya staf sekolah bisa menuruti permintaan kita.” Apa yang Renoir inginkan pasti Renoir dapatkan.Motto yang selalu dipegang teguh oleh pemuda konglomerat itu seolah jadi mantra wajib baginya. Saat ia dan ketiga temannya menemui pihak administrasi sekolah, seorang wanita tambun berkacamata nan ketus, kendati bukan hal mudah tapi Renoir berhasil membujuk wanita itu untuk memasang listrik di gimnasium lama berkat sebuah pernyataan konyol.“Kami tahu diri, tidak akan membebani biaya aktivitas kami kepada pihak sekolah, kok. Biar kami yang menanggungnya.”“Maksudmu ... kalian yang akan mengeluarkan biaya instalasi dan tagihan listrik tempat itu?” Wanita tambun itu awalnya ragu.“Jangan meragukan kami!” tegas Renoir. “Ehm! Bukankah Gerrard Kim adalah salah satu penyumbang dana terbesar di yayasan sekolah ini?” ujar Renoir sambil mengorek kuku tangan dengan raut congkak.Wanita itu terlihat berpikir.“Bu, Anda tidak tahu? Dia ini anaknya Tuan Kim!” sontak Ivan membanggakan temannya.Berkat pengungkapan itu, tiga hari kemudian listrik di gimnasium lama akhirnya berfungsi. Lampu-lampu menyala menerangi ruangan, tampaklah area yang sangat luas untuk bermain. Dua lapangan tenis, satu lapangan basket, area berlari serta kursi-kursi bertingkat berjajar rapi melingkar mengikuti bentuk bangunan. Empat pemuda tampak puas dengan markas mereka. Tidak main-main, fasilitas sekolah dijadikan tempat khusus untuk mereka, semua itu berkat sang ketua.Setelah dipikir-pikir, tempat ini terlalu luas hanya untuk mereka berempat."Menurutku, kita perlu mengajak anak-anak lain untuk bergabung ke dalam kelompok kita!" Suara sang ketua menggaung seraya melempar bola ke dalam ring."Benar juga. Kita butuh anggota untuk semakin mengukuhkan keberadaan kelompok ini." Sebastian melakukan dribble."Saranku, cari anggota yang mumpuni, bukan sekedar minat saja. Kriterianya; latar belakang yang bisa diperhitungkan dan mampu berkelahi. Kita perlu dipandang bukan hanya di sekolah ini, tapi juga di sekolah lain." Ivan bersemangat."Kita akan berkelahi?" sahut Niguel."Biasanya suka terjadi adu kekuatan antar geng sekolah. Kita perlu mendapatkan pamor." Ivan bicara dengan yakin."Tapi ... aku tidak bisa berkelahi, tahu." Niguel merasa ciut."Dasar. Kau bisanya apa, sih?" ejek Ivan."Sudahlah. Aku terima saran Ivan. Kita perlu anggota yang bisa bertarung untuk jaga-jaga. Perkelahian antar anak SMA itu hal biasa," ujar sang ketua."Kau sendiri jago berkelahi?" tanya Renoir pada Ivan.“Aku ini murid nakal di SMP, jangan ragukan aku. Akhir-akhir ini aku juga mempelajari tinju,” terang Ivan.“Aku mempelajari judo sejak SD,” papar Sebastian sambil mengangkat tangan.Sedang, Niguel hanya bisa diam mengingat ia yang paling tidak mampu di antara keempatnya."Aku jago IT, kok. Suatu saat pasti keahlianku dibutuhkan," bela Niguel. "Aku ... tidak ditendang dari geng, kan?"Renoir menyeringai. "Tenang saja, kawan. Setidak bergunanya dirimu, kau tetap ku terima. Karena kau adalah teman baikku."Pada akhirnya, setelah ide perekrutan anggota, seluruh siswa di kelas—8 orang tambahan—jadi anggota Geng M.C.. Mereka jadi anak-anak paling diperhitungkan di SMA Heaven.***Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai,
Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dala
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda kalau disandingkan dengan hunian tempat tinggal Renoir. Mungkin ini jadi salah satu alasan mengapa Cherie sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Renoir serta tortelini di atas piring Cherie begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Renoir terisi mocktail—bebas alkohol.Renoir senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Renoir justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Renoir meng
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Renoir mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Renoir dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Renoir tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Renoir telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Renoir melawan udara
“Kau habis mandi minyak wangi?” Renoir sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi memikat itu.Sebastian telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Renoir belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Renoir sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Renoir menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Sebastian sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Renoir masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menutup hidung!Renoir berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer d
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Renoir tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung pelayan yang menyambut Renoir, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana Ayahku?”“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Renoir bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Gerrard tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Tapi—belum selesai menyelesaikan langkah, begitu berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Cherie mengomel dengan tatapan murka.Renoir teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—&ldq
Sudah berhari-hari Renoir tidak pulang, semakin mirip Gerrard. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.“Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,” dalih Renoir dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Cherie.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu namun belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Renoir, “mungkin dia sedang membuat kue.”Tak mau ambil pusing, Renoir melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Renoir berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan da