Sudah berhari-hari Renoir tidak pulang, semakin mirip Gerrard. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.
“Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,” dalih Renoir dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Cherie.
Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu namun belum ada tanda pesan telah dibaca.
“Tumben selama ini,” batin Renoir, “mungkin dia sedang membuat kue.”
Tak mau ambil pusing, Renoir melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun keinginannya tidak bisa berjalan tenang.
“Ahhh!” Baru saja Renoir berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.
Ivan da
Cherie siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbintang. Kendati penglihatannya masih kabur tapi ia sudah hafal dengan ruangan ini, kamar Presidential Suite di salah satu rumah sakit elite langganan keluarganya. Langit terlihat gelap dari jendela. Ia belum mampu menggerakkan tubuh dengan baik, hanya kepala yang bisa digerakkan. Cherie menoleh ke kiri, seseorang sedang membaringkan kepalanya di sisi kasur yang kosong sambil menyelimuti tangan dingin Cherie dengan telapak hangatnya. Perlahan penglihatan Cherie semakin jelas, senyumnya terulas tatkala sang putra tampak jelas tertidur pulas. Kelelahan sangat tampak di wajah pemuda itu. Cherie melepas belenggu tangan Renoir, ia mengusap pelan rambut berantakan anak itu dengan segala tenaga yang ia punya.Renoir merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala. Matanya perlahan terbuka, terlihat sang ibu telah membuka mata.“Ibu! Ibu sudah siuman?” sontak Renoir.Cherie h
“Renoir!” Cherie mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Cherie beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Cherie menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Renoir!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Cherie tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ...” Renoir menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Cherie hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Cherie terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan
Embusan napas Renoir terdengar berat dan kasar mengingat-ingat pembunuhan pertama yang ia lakukan. Tangannya masih terasa gemetar bila mengingat hal barusan, meskipun telah terjadi berbulan-bulan ke belakang. Sebatang rokok di tangan tinggal tersisa satu-dua hisap lagi, Renoir melemparnya ke bawah sandal lantas menginjak hingga baranya padam.Lagi-lagi ia mengembuskan napas berat dari mulut. Setelah perbuatan kejinya malam itu—menusuk-nusuk orang dengan alat pemecah es—dirinya tidak bisa tenang. Mentalnya terganggu seperti kejadian yang menimpanya semasa kecil, waktu menyaksikan perbuatan keji Gerrard di basement rumah, hanya saja perbedaannya sangat besar. Pelaku perbuatan keji itu adalah dirinya.Gerrard mengantar Renoir pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering.Gerrard menepikan m
Renoir membuka mata di bawah pohon magnolia di tengah hamparan padang lily yang luas. Langit telah menguning dan ia hanya sendirian, entah di mana Cherie. Renoir berdiri tegak, pandangan matanya merasa ada yang aneh. Seingatnya sebelum terlelap bunga-bunga yang ada di sekeliling berwarna putih terang namun sekarang berubah menjadi merah darah. Entah karena rona langit atau matanya tertipu ilusi, yang jelas saat ini Renoir lebih mempedulikan soal ibunya ketimbang perubahan warna bunga-bunga itu.Dengan kaki telanjang, ia kembali menerobos padang bunga lily mencari keberadaan Cherie. Harusnya wanita itu mudah terlihat karena tinggi badannya jelas melebihi tinggi tanaman bunga. Tapi, sejauh mata memandang hanya ada tanaman bunga yang terlihat."Ibu!" Renoir mulai berteriak mencari keberadaan ibunda. Ia mulai cemas dan menyalahkan diri, "Harusnya tadi aku tidak tertidur!""Ibu?!"Beratus-ratus langkah telah dilalui, tidak tahu telah seberapa jauh dari titik a
Natalia, wanita kedua yang terlihat manis bagi Renoir setelah ibunya. Berkat pertemuan mainstream, berkembang ke tahap perkenalan. Setelah berhasil mendapatkan kontaknya, nyatanya Renoir hanya mampu memandangi kolom chat kosong terbubuh nama dan foto gadis itu di atasnya."Mengapa aku gugup? Dia sama saja seperti gadis lainnya." Renoir memegang ponselnya dengan kedua tangan di balik setir mobil mahal di halaman rumah.Gusar, ia mematikan kembali layar ponsel dan memilih menyimpannya di saku daripada mengirim sebaris pesan untuk Natalia. Mobil yang diparkir sembarangan dibiarkan menghalangi jalan masuk menuju pintu. Ada pelayan rumah yang bisa disuruh-suruh, kok. Mereka dibayar untuk hal itu, kan?Renoir masuk ke rumah megah, melewati aula lantas menuju lift di sudut kiri. Pemuda murung itu tiba di lantai dua tidak lama. Helaan napasnya terdengar sulit, entahlah, untuk pertama kalinya ia merasa kesulitan karena seorang wanita muda. Apa
"Ahh ...." Renoir mengurut kening di depan mading sekolah. Berkumpul bersama ketiga teman serta murid lainnya, berjubel mengecek nilai ujian tengah semester yang dilaksanakan dua minggu lalu."Hei, nilaimu bertinta merah. Tampaknya kau harus ikut remedial," tegas Ivan seraya merangkul Renoir."Aku tahu itu. Tidak perlu diperjelas." Intonasi Renoir tidak terdengar senang. Jelas, siapa yang senang ikut remedial? Ditambah mengingat standar Gerrard, 85 saja dianggap jelek apalagi 70, haduh.Renoir melarikan diri sambil berdecak kesal. Selama ini, nilai matematika teranjlok yang diraihnya tidak pernah kurang dari 80. Namun, kini turun drastis—70 selama 12 tahun bersekolah—jika tidak diperbaiki sudah pasti ia akan mendapat masalah di rumah.Alih-alih mempersiapkan diri untuk ujian ulang, Renoir malah pergi ke gimnasium lama. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dari kesulitan akademik. Sebatang gulungan tembakau di mulut jadi alat penenang, Renoir
"Maaf, kau jadi terlibat." Natalia berjalan berdampingan dengan Renoir menuju UKS.Eireen membawakan ransel milik pemuda itu, sementara Syeena melirik dua sejoli bergantian dari belakang."Dia suka mengganggumu, ya?" timpal Renoir."Hm, begitulah. Dia kakak kelasku, satu angkatan lebih senior. Dia suka mencari perhatianku, sejak lama."Renoir menengok, pantaslah seniornya suka mencari perhatian karena Natalia amat menarik. "Kalau begitu, dia akan punya saingan.""Apa maksudmu?" Natalia membalas lirikan Renoir sambil mengangkat alis.Syeena menyikut Eireen hingga mengeluh kesakitan. "Hei, sikumu tajam! Sakit tahu!""Aku—" Kata-kata Renoir terpotong, dua sahabat Natalia tiba-tiba merangsek ke dalam barisan mengapit Natalia dan Renoir di tengah."Omong-omong, apa kalian bertemu pertama kali di cafe akhir pekan lalu?" Eireen coba mengulik mereka."Bukan, itu yang kedua," papar Renoir, "sebelumnya kami bertemu di sekola
Untuk pertama kalinya, kursi penumpang di mobil Renoir diisi oleh seorang gadis. Akhirnya ia mengizinkan seorang lawan jenis selain Cherie mengisi kursi kosong tersebut. Natalia bisa dibilang sangat beruntung, sebab pemuda itu cukup kuat mempertahankan keyakinan untuk tidak membiarkan seorang gadis pun mengusik kehidupan pribadinya. Gadis-gadis hanya untuk bersenang-senang.Tapi kini, Renoir malah mengumbar senyum terus-terusan akibat gadis di sebelahnya. Mereka mengingat kembali pertemuan pertama yang cukup menggelikan. Keduanya terlibat insiden kecil saling bertabrakan dan mengakibatkan Natalia terpental hingga terjerembab ke belakang."Kau tidak apa-apa waktu itu?" tanya Renoir di sela tawa mereka, pandangannya lurus ke depan memperhatikan jalan."Sebenarnya agak sakit waktu itu. Aku terjatuh cukup keras. Bokongku rasanya nyeri.""Ya ampun, maafkan aku." Renoir merasa bersalah."Kau sudah minta maaf selepas kejadian. Jangan mengulangnya lagi, ak