“Renoir!” Cherie mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”
Cherie beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Cherie menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Renoir!”
“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.
“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”
“Aku sedang main.”
“Main apa?” Cherie tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.
“Main ini ...” Renoir menunjukkan sesuatu di telapak tangan.
Mata Cherie hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.
“A-apa itu, Sayang?” Cherie terbata-bata.
“Matanya Mickey. Lucu, kan
Embusan napas Renoir terdengar berat dan kasar mengingat-ingat pembunuhan pertama yang ia lakukan. Tangannya masih terasa gemetar bila mengingat hal barusan, meskipun telah terjadi berbulan-bulan ke belakang. Sebatang rokok di tangan tinggal tersisa satu-dua hisap lagi, Renoir melemparnya ke bawah sandal lantas menginjak hingga baranya padam.Lagi-lagi ia mengembuskan napas berat dari mulut. Setelah perbuatan kejinya malam itu—menusuk-nusuk orang dengan alat pemecah es—dirinya tidak bisa tenang. Mentalnya terganggu seperti kejadian yang menimpanya semasa kecil, waktu menyaksikan perbuatan keji Gerrard di basement rumah, hanya saja perbedaannya sangat besar. Pelaku perbuatan keji itu adalah dirinya.Gerrard mengantar Renoir pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering.Gerrard menepikan m
Renoir membuka mata di bawah pohon magnolia di tengah hamparan padang lily yang luas. Langit telah menguning dan ia hanya sendirian, entah di mana Cherie. Renoir berdiri tegak, pandangan matanya merasa ada yang aneh. Seingatnya sebelum terlelap bunga-bunga yang ada di sekeliling berwarna putih terang namun sekarang berubah menjadi merah darah. Entah karena rona langit atau matanya tertipu ilusi, yang jelas saat ini Renoir lebih mempedulikan soal ibunya ketimbang perubahan warna bunga-bunga itu.Dengan kaki telanjang, ia kembali menerobos padang bunga lily mencari keberadaan Cherie. Harusnya wanita itu mudah terlihat karena tinggi badannya jelas melebihi tinggi tanaman bunga. Tapi, sejauh mata memandang hanya ada tanaman bunga yang terlihat."Ibu!" Renoir mulai berteriak mencari keberadaan ibunda. Ia mulai cemas dan menyalahkan diri, "Harusnya tadi aku tidak tertidur!""Ibu?!"Beratus-ratus langkah telah dilalui, tidak tahu telah seberapa jauh dari titik a
Natalia, wanita kedua yang terlihat manis bagi Renoir setelah ibunya. Berkat pertemuan mainstream, berkembang ke tahap perkenalan. Setelah berhasil mendapatkan kontaknya, nyatanya Renoir hanya mampu memandangi kolom chat kosong terbubuh nama dan foto gadis itu di atasnya."Mengapa aku gugup? Dia sama saja seperti gadis lainnya." Renoir memegang ponselnya dengan kedua tangan di balik setir mobil mahal di halaman rumah.Gusar, ia mematikan kembali layar ponsel dan memilih menyimpannya di saku daripada mengirim sebaris pesan untuk Natalia. Mobil yang diparkir sembarangan dibiarkan menghalangi jalan masuk menuju pintu. Ada pelayan rumah yang bisa disuruh-suruh, kok. Mereka dibayar untuk hal itu, kan?Renoir masuk ke rumah megah, melewati aula lantas menuju lift di sudut kiri. Pemuda murung itu tiba di lantai dua tidak lama. Helaan napasnya terdengar sulit, entahlah, untuk pertama kalinya ia merasa kesulitan karena seorang wanita muda. Apa
"Ahh ...." Renoir mengurut kening di depan mading sekolah. Berkumpul bersama ketiga teman serta murid lainnya, berjubel mengecek nilai ujian tengah semester yang dilaksanakan dua minggu lalu."Hei, nilaimu bertinta merah. Tampaknya kau harus ikut remedial," tegas Ivan seraya merangkul Renoir."Aku tahu itu. Tidak perlu diperjelas." Intonasi Renoir tidak terdengar senang. Jelas, siapa yang senang ikut remedial? Ditambah mengingat standar Gerrard, 85 saja dianggap jelek apalagi 70, haduh.Renoir melarikan diri sambil berdecak kesal. Selama ini, nilai matematika teranjlok yang diraihnya tidak pernah kurang dari 80. Namun, kini turun drastis—70 selama 12 tahun bersekolah—jika tidak diperbaiki sudah pasti ia akan mendapat masalah di rumah.Alih-alih mempersiapkan diri untuk ujian ulang, Renoir malah pergi ke gimnasium lama. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dari kesulitan akademik. Sebatang gulungan tembakau di mulut jadi alat penenang, Renoir
"Maaf, kau jadi terlibat." Natalia berjalan berdampingan dengan Renoir menuju UKS.Eireen membawakan ransel milik pemuda itu, sementara Syeena melirik dua sejoli bergantian dari belakang."Dia suka mengganggumu, ya?" timpal Renoir."Hm, begitulah. Dia kakak kelasku, satu angkatan lebih senior. Dia suka mencari perhatianku, sejak lama."Renoir menengok, pantaslah seniornya suka mencari perhatian karena Natalia amat menarik. "Kalau begitu, dia akan punya saingan.""Apa maksudmu?" Natalia membalas lirikan Renoir sambil mengangkat alis.Syeena menyikut Eireen hingga mengeluh kesakitan. "Hei, sikumu tajam! Sakit tahu!""Aku—" Kata-kata Renoir terpotong, dua sahabat Natalia tiba-tiba merangsek ke dalam barisan mengapit Natalia dan Renoir di tengah."Omong-omong, apa kalian bertemu pertama kali di cafe akhir pekan lalu?" Eireen coba mengulik mereka."Bukan, itu yang kedua," papar Renoir, "sebelumnya kami bertemu di sekola
Untuk pertama kalinya, kursi penumpang di mobil Renoir diisi oleh seorang gadis. Akhirnya ia mengizinkan seorang lawan jenis selain Cherie mengisi kursi kosong tersebut. Natalia bisa dibilang sangat beruntung, sebab pemuda itu cukup kuat mempertahankan keyakinan untuk tidak membiarkan seorang gadis pun mengusik kehidupan pribadinya. Gadis-gadis hanya untuk bersenang-senang.Tapi kini, Renoir malah mengumbar senyum terus-terusan akibat gadis di sebelahnya. Mereka mengingat kembali pertemuan pertama yang cukup menggelikan. Keduanya terlibat insiden kecil saling bertabrakan dan mengakibatkan Natalia terpental hingga terjerembab ke belakang."Kau tidak apa-apa waktu itu?" tanya Renoir di sela tawa mereka, pandangannya lurus ke depan memperhatikan jalan."Sebenarnya agak sakit waktu itu. Aku terjatuh cukup keras. Bokongku rasanya nyeri.""Ya ampun, maafkan aku." Renoir merasa bersalah."Kau sudah minta maaf selepas kejadian. Jangan mengulangnya lagi, ak
Suasana begitu gelap, tidak ada penerangan dari lampu ataupun pencahayaan lain. Renoir berada di gubuk reot di tengah lahan luas, sebuah alat pemecah es digenggam tangan dominan. Meski bergidik, ia melangkah mengendap-endap melewati tangga kayu yang berdecit ketika diinjak, sendirian. Sesuatu membuat Renoir terus melangkah, naik menuju lantai dua lalu berhenti tepat di sebuah pintu terbuka. Petir menggelegar tatkala ia memandang ke dalam ruangan, cahaya kilat membuatnya bisa melihat eksistensi seseorang di sana. Seseorang yang tangan dan kakinya terikat di kursi dengan kepala tertutup kain hitam, bertelanjang dada, dia berontak-ontak, teriakannya teredam, mungkin mulutnya tersumpal sesuatu.Renoir mengernyit saat kilat menerangi ruangan sekali lagi. "Untuk apa aku di sini?" Pertanyaan ini malah membawanya melangkah kian mendekat. Namun tiba-tiba pintu tertutup keras hingga membuatnya terlonjat. Sesosok pria muncul dari balik pintu. "A-ayah ...."Gerrard muncul dengan s
Hari ini akhirnya Renoir bisa menghabiskan waktu dengan Natalia. Seperti yang dikatakan dalam pesan dini hari tadi, Renoir siap siaga di depan gerbang SMA Nirvana untuk menjemput sang permaisuri, beserta kendaraan kerennya yang membuat mata para murid sekolah itu tak bisa melepaskan pandangan darinya. Renoir merapikan tatanan rambutnya sambil bercermin menggunakan spion tengah, sedikit-sedikit menengok kalau-kalau gadis yang ditunggunya sudah keluar dari gerbang. Lima menit lewat dari pukul setengah tiga, Natalia terlihat bersama kedua temannya. Mata tuan muda Kim berkilau, bibirnya tertarik membentuk senyuman, ia segera keluar dari tempat persembunyian sejuknya menuju hawa panas bumi demi menghampiri sang putri. "Natalia!" Seruan Renoir terdengar lantang. Bukan hanya Natalia yang menengok, beberapa murid yang tengah lewat dan berdiri di sekitar pun ikut menoleh. Natalia berpamitan dahulu pada dua sahabat sebelum menghampiri pemuda yang ditunggunya. Pemuda ta
Renoir menekan tombol penyiram di toilet. Barusan buang hajat besar, perutnya terasa sedikit lapar. Dia membuka pintu beralih menuju wastafel, kebetulan ada murid yang bisa disuruh-suruh.Belum cuci tangan, Renoir merangkul bahu Fermin yang terlihat jengkel dari cermin. "Sudah selesai cuci tangan? Belikan aku soda dan cemilan, ya. Bawakan ke markas," perintah Renoir ringan kemudian menepuk-nepuk punggung siswa yang kerap jadi mainan anggota gengnya.Tidak mampu mengelak, Fermin pasrah disuruh-suruh oleh sang ketua geng. Renoir menyalakan keran, membasahi kedua tangan lalu menuang sabun cair."Tunggu apa lagi? Kau ingin aku mati kelaparan?" katanya sedikit membentak. Fermin pun pergi setelah ditegur.Nikmat betul hari-hari sang ketua seolah punya pelayan pribadi meskipun di sekolah, bukan di rumah. Bedanya, pelayan ini tidak mendapat bayaran sepeser pun. Cuma-cuma, lebih tepatnya terpaksa. Takut kalau melawan bakal dijadikan bulan-bulanan lagi oleh antek-a
Renoir membaca pesan di tengah aktivitas makan siangnya. "Renoir, kurasa aku sedang tidak baik-baik saja." Tangan kirinya memegang ponsel erat-erat, matanya menyorot lamat-lamat, sementara tangan kanan masih setia mengantar makanan, sedang mulutnya terus mengunyah. Ekspresinya selalu lucu saat makan, bibirnya mirip Donald Duck, terasa ingin menarik bibir itu saking gemasnya. Renoir berpikir, apa Natalia cemas gara-gara tiramisu semalam? Atau karena, ah ... Renoir menyeringai. Pasti karena hal ini. "Kenapa, sayang? Kurasa kau butuh tiramisu lagi agar perasaanmu membaik," balas Renoir tidak ragu menyebut Natalia dengan 'sayang'. Renoir terus tersenyum ke arah ponselnya dan itu membuat atensi Niguel di sebelah tertarik. Penasaran apa yang dilakukan sang ketua dengan gawainya sampai sumringah begitu. Niguel mengintip dan melihat layar diisi kolom chat. Na-ta-li-a, Niguel mengeja dalam hati. Hmm, siapa Natalia? "
Natalia belum pernah terhanyut dalam sesuatu yang membuatnya sangat terbuai. Ia hampir saja lupa kalau mereka berada di depan rumah, bisa saja orangtua Natalia memergokinya bermesraan dengan seorang lelaki di dalam mobil dan itu bisa berakhir tidak menyenangkan. Namun Natalia hampir tidak peduli, ia sudah terlanjur dibawa terbang tinggi oleh Renoir dan membuatnya lupa daratan. Kalau bukan karena pemuda itu yang menghentikan momen mendebarkan tersebut, mungkin Natalia tidak akan berhenti, tidak tahu caranya. Mengapa Natalia terkesan begitu mudah bagi Renoir padahal sebelumnya ia kerap menolak keras setiap usaha lelaki yang berniat mendekatinya? Ini tidak biasa, Renoir terlalu berbeda. Entah apa yang dimiliki lelaki itu sehingga membuat Natalia tidak ragu bertindak di luar batas yang dibangunnya sendiri. Seolah Renoir memiliki daya pikat yang begitu kuat menariknya tanpa bisa terlepas. Natalia membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangan setelah menceritakan rincian
"Bagaimana kencanmu kemarin?" Syeena terdengar antusias. Ketiga gadis; Natalia, Eireen dan Syeena sedang berkumpul di bangku panjang halaman sekolah sambil berbincang. Jam istirahat baru saja dimulai, alih-alih makan mereka malah asyik mengobrol. Topik hangat yang ditunggu-tunggu Eireen dan Syeena sejak meninggalkan gerbang sekolah kemarin sore, Natalia pergi berdua dengan Renoir. Pasti ada hal seru yang harus didengar. "Kencan apa? Itu bukan kencan!" Natalia menyanggah namun wajah meronanya tidak dapat berbohong. "Hmm, coba lihat wajahmu. Bilang saja itu kencan, kenapa malu?" Eireen mendorong sahabatnya untuk blak-blakan. "Apa saja yang kalian lakukan?" Syeena teramat penasaran. "Um ...." Natalia agak ragu untuk menceritakannya, tapi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya juga kalau dua sahabatnya ini tahu. "Kemarin ...." Selepas dari perpustakaan, Natalia dan Renoir pergi ke tempat lain. Renoir bilang ingin mengajak sang gadis maka
Gerrard berdiri menghadang Renoir yang hendak keluar kamar. Ia mengisi ruang kosong di antara daun pintu dengan tubuh besarnya. Tampangnya tak terlihat senang, ia butuh penjelasan dari sang putra mengenai ucapannya di ruang makan. "Minggir, aku mau pergi sekolah," ucap Renoir. "Sudah berani macam-macam denganku, ya, jagoan?" Gerrard tersenyum miring. "Kau pikir setelah pencapaian yang kau raih selama ini bisa menjadi alasan untuk membangkang dariku?" "Kau hanya bagian dari teritoriku. Sekalipun dirimu telah berubah menjadi lebih kuat, aku tetap pengendali di tempat ini, paham?" Gerrard mengacungkan telunjuk ke depan muka Renoir. "Aku tidak peduli," balas Renoir ketus. "Hahaha, astaga ... jadi begini balasan atas tindakan baikku padamu, Renoir?" Renoir menatap jengkel. Tindakan baik apanya? Selama ini yang dilakukan Gerrard hanya menambah beban di punggungnya. "Ayolah, tunjukkan sikap baik di depan ayahmu." Gerrard sungguh berha
Pagi di rumah keluarga Kim tampak normal. Para pelayan menyiapkan hidangan untuk sarapan, ada yang bersih-bersih dan tugas lainnya. Sedang, para tuan rumah dengan rutinitas pagi mereka; Gerrard berendam setelah berolahraga sebentar, Renoir buang air besar dan nyonya rumah membantu menyiapkan hidangan untuk anak dan suaminya. Cherie mendirikan cangkir dengan sempurna di atas piring kecil cantik lalu menuangkan teh hangat dari teko. Teh hangat untuk Gerrard, dituangnya perlahan disertai senyuman juga lamunan. Teringat suatu hal yang terjadi semalam, kejutan dari Gerrard hadiah perayaan ulang tahun pernikahan mereka. Bibir Cherie merekah menampakkan gigi. Ah, dia terkesan seperti pasangan baru menikah atau gadis yang baru pertama kali disentuh oleh lelaki. Cherie tidak bisa melupakan pengalaman melelahkan semalam, sudah terlalu lama ia tidak dimanjakan oleh Gerrard. Saking lamanya, bahkan lupa kapan terakhir kali mereka melakukannya. Gerrard hanya peduli soal pekerjaan dan ambi
Lampu gantung kristal menggantung di langit, meja-kursi tersusun rapi, para pengunjung berkelas sudah biasa dilihat Cherie di restoran yang ia sambangi. Namun kali ini berbeda, hiasan lilin dan mawar merah di meja serta alunan biola terkesan sangat romantis. Hatinya merasa teramat bahagia berkat ini semua. Menu makan malam dan wine sudah sangat biasa, tapi terasa istimewa berkat Gerrard di hadapannya juga makan malam yang telah disiapkan untuk merayakan hari jadi mereka. Sebuah hal istimewa yang jarang didapat. Cherie mencoba menelaah isi kepala Gerrard, apa yang dipikirkan suaminya itu hingga melakukan sesuatu yang sama sekali bukan kebiasaannya? Barangkali ini yang dinamakan keajaiban. Sesuatu di dalam dada Cherie terasa ingin meledak saking merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Alunan biola terus menghiasi malam mereka. Satu-dua pasang mata kadang melirik ke arah keduanya. Gerrard tidak menyewa seluruh restoran u
Hari ini akhirnya Renoir bisa menghabiskan waktu dengan Natalia. Seperti yang dikatakan dalam pesan dini hari tadi, Renoir siap siaga di depan gerbang SMA Nirvana untuk menjemput sang permaisuri, beserta kendaraan kerennya yang membuat mata para murid sekolah itu tak bisa melepaskan pandangan darinya. Renoir merapikan tatanan rambutnya sambil bercermin menggunakan spion tengah, sedikit-sedikit menengok kalau-kalau gadis yang ditunggunya sudah keluar dari gerbang. Lima menit lewat dari pukul setengah tiga, Natalia terlihat bersama kedua temannya. Mata tuan muda Kim berkilau, bibirnya tertarik membentuk senyuman, ia segera keluar dari tempat persembunyian sejuknya menuju hawa panas bumi demi menghampiri sang putri. "Natalia!" Seruan Renoir terdengar lantang. Bukan hanya Natalia yang menengok, beberapa murid yang tengah lewat dan berdiri di sekitar pun ikut menoleh. Natalia berpamitan dahulu pada dua sahabat sebelum menghampiri pemuda yang ditunggunya. Pemuda ta
Suasana begitu gelap, tidak ada penerangan dari lampu ataupun pencahayaan lain. Renoir berada di gubuk reot di tengah lahan luas, sebuah alat pemecah es digenggam tangan dominan. Meski bergidik, ia melangkah mengendap-endap melewati tangga kayu yang berdecit ketika diinjak, sendirian. Sesuatu membuat Renoir terus melangkah, naik menuju lantai dua lalu berhenti tepat di sebuah pintu terbuka. Petir menggelegar tatkala ia memandang ke dalam ruangan, cahaya kilat membuatnya bisa melihat eksistensi seseorang di sana. Seseorang yang tangan dan kakinya terikat di kursi dengan kepala tertutup kain hitam, bertelanjang dada, dia berontak-ontak, teriakannya teredam, mungkin mulutnya tersumpal sesuatu.Renoir mengernyit saat kilat menerangi ruangan sekali lagi. "Untuk apa aku di sini?" Pertanyaan ini malah membawanya melangkah kian mendekat. Namun tiba-tiba pintu tertutup keras hingga membuatnya terlonjat. Sesosok pria muncul dari balik pintu. "A-ayah ...."Gerrard muncul dengan s