“Kau habis mandi minyak wangi?” Renoir sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.
“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.
“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi memikat itu.
Sebastian telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Renoir belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Renoir sebelum si empunya mampu menghentikan.
“Astaga! Kenapa aku?!” Renoir menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.
“Ayo, pergi! Ivan dan Sebastian sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.
Renoir masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menutup hidung!
Renoir berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.
Beberapa kilometer d
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Renoir tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung pelayan yang menyambut Renoir, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana Ayahku?”“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Renoir bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Gerrard tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Tapi—belum selesai menyelesaikan langkah, begitu berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Cherie mengomel dengan tatapan murka.Renoir teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—&ldq
Sudah berhari-hari Renoir tidak pulang, semakin mirip Gerrard. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.“Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,” dalih Renoir dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Cherie.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu namun belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Renoir, “mungkin dia sedang membuat kue.”Tak mau ambil pusing, Renoir melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Renoir berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan da
Cherie siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbintang. Kendati penglihatannya masih kabur tapi ia sudah hafal dengan ruangan ini, kamar Presidential Suite di salah satu rumah sakit elite langganan keluarganya. Langit terlihat gelap dari jendela. Ia belum mampu menggerakkan tubuh dengan baik, hanya kepala yang bisa digerakkan. Cherie menoleh ke kiri, seseorang sedang membaringkan kepalanya di sisi kasur yang kosong sambil menyelimuti tangan dingin Cherie dengan telapak hangatnya. Perlahan penglihatan Cherie semakin jelas, senyumnya terulas tatkala sang putra tampak jelas tertidur pulas. Kelelahan sangat tampak di wajah pemuda itu. Cherie melepas belenggu tangan Renoir, ia mengusap pelan rambut berantakan anak itu dengan segala tenaga yang ia punya.Renoir merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala. Matanya perlahan terbuka, terlihat sang ibu telah membuka mata.“Ibu! Ibu sudah siuman?” sontak Renoir.Cherie h
“Renoir!” Cherie mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Cherie beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Cherie menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Renoir!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Cherie tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ...” Renoir menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Cherie hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Cherie terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan
Embusan napas Renoir terdengar berat dan kasar mengingat-ingat pembunuhan pertama yang ia lakukan. Tangannya masih terasa gemetar bila mengingat hal barusan, meskipun telah terjadi berbulan-bulan ke belakang. Sebatang rokok di tangan tinggal tersisa satu-dua hisap lagi, Renoir melemparnya ke bawah sandal lantas menginjak hingga baranya padam.Lagi-lagi ia mengembuskan napas berat dari mulut. Setelah perbuatan kejinya malam itu—menusuk-nusuk orang dengan alat pemecah es—dirinya tidak bisa tenang. Mentalnya terganggu seperti kejadian yang menimpanya semasa kecil, waktu menyaksikan perbuatan keji Gerrard di basement rumah, hanya saja perbedaannya sangat besar. Pelaku perbuatan keji itu adalah dirinya.Gerrard mengantar Renoir pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering.Gerrard menepikan m
Renoir membuka mata di bawah pohon magnolia di tengah hamparan padang lily yang luas. Langit telah menguning dan ia hanya sendirian, entah di mana Cherie. Renoir berdiri tegak, pandangan matanya merasa ada yang aneh. Seingatnya sebelum terlelap bunga-bunga yang ada di sekeliling berwarna putih terang namun sekarang berubah menjadi merah darah. Entah karena rona langit atau matanya tertipu ilusi, yang jelas saat ini Renoir lebih mempedulikan soal ibunya ketimbang perubahan warna bunga-bunga itu.Dengan kaki telanjang, ia kembali menerobos padang bunga lily mencari keberadaan Cherie. Harusnya wanita itu mudah terlihat karena tinggi badannya jelas melebihi tinggi tanaman bunga. Tapi, sejauh mata memandang hanya ada tanaman bunga yang terlihat."Ibu!" Renoir mulai berteriak mencari keberadaan ibunda. Ia mulai cemas dan menyalahkan diri, "Harusnya tadi aku tidak tertidur!""Ibu?!"Beratus-ratus langkah telah dilalui, tidak tahu telah seberapa jauh dari titik a
Natalia, wanita kedua yang terlihat manis bagi Renoir setelah ibunya. Berkat pertemuan mainstream, berkembang ke tahap perkenalan. Setelah berhasil mendapatkan kontaknya, nyatanya Renoir hanya mampu memandangi kolom chat kosong terbubuh nama dan foto gadis itu di atasnya."Mengapa aku gugup? Dia sama saja seperti gadis lainnya." Renoir memegang ponselnya dengan kedua tangan di balik setir mobil mahal di halaman rumah.Gusar, ia mematikan kembali layar ponsel dan memilih menyimpannya di saku daripada mengirim sebaris pesan untuk Natalia. Mobil yang diparkir sembarangan dibiarkan menghalangi jalan masuk menuju pintu. Ada pelayan rumah yang bisa disuruh-suruh, kok. Mereka dibayar untuk hal itu, kan?Renoir masuk ke rumah megah, melewati aula lantas menuju lift di sudut kiri. Pemuda murung itu tiba di lantai dua tidak lama. Helaan napasnya terdengar sulit, entahlah, untuk pertama kalinya ia merasa kesulitan karena seorang wanita muda. Apa
"Ahh ...." Renoir mengurut kening di depan mading sekolah. Berkumpul bersama ketiga teman serta murid lainnya, berjubel mengecek nilai ujian tengah semester yang dilaksanakan dua minggu lalu."Hei, nilaimu bertinta merah. Tampaknya kau harus ikut remedial," tegas Ivan seraya merangkul Renoir."Aku tahu itu. Tidak perlu diperjelas." Intonasi Renoir tidak terdengar senang. Jelas, siapa yang senang ikut remedial? Ditambah mengingat standar Gerrard, 85 saja dianggap jelek apalagi 70, haduh.Renoir melarikan diri sambil berdecak kesal. Selama ini, nilai matematika teranjlok yang diraihnya tidak pernah kurang dari 80. Namun, kini turun drastis—70 selama 12 tahun bersekolah—jika tidak diperbaiki sudah pasti ia akan mendapat masalah di rumah.Alih-alih mempersiapkan diri untuk ujian ulang, Renoir malah pergi ke gimnasium lama. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dari kesulitan akademik. Sebatang gulungan tembakau di mulut jadi alat penenang, Renoir