Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.
“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.
Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.
Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dalam keranjang. Ia memang dibiasakan menjaga kerapihan. Kaus putih bertuliskan merk mode ternama selalu jadi andalan, juga celana pendek hitam selutut serta sandal berbulu yang terasa lembut di telapak kaki. Renoir terlebih dahulu merapikan rambut agar tidak berantakan. Ia selalu ingin terlihat baik di hadapan ibunya, sebab hanya sang ibu yang kerap membanggakan dirinya. Berbeda dengan Gerrard, Renoir bahkan ragu kalau ia disebut putra kandung pria arogan itu.
Satu lagi, Renoir hampir lupa mengenai cokelat-cokelat di dalam tas. Sebaiknya segera disimpan ke dalam lemari pendingin sebelum meleleh. Renoir membawa ranselnya turut serta keluar dari lemari, ia melewati sofa di tengah ruangan tempat sang ibu yang sedang konsentrasi menyusun kepingan Lego berada, lalu menghampiri kulkas kecil di sudut ruangan. Yang dimaksud kulkas kecil adalah cuma kulkas satu pintu setinggi 180 cm. Cuma kulkas kecil bila disandingkan dengan yang ada di dapur rumah.
Lupakan soal kulkas—mari kembali ke tujuan awal. Renoir melempar tas ke sofa lalu ikut bergabung dengan Cherie di sana. Wanita itu tampak serius menggabungkan satu kepingan dengan kepingan lainnya. Renoir senang kalau akhirnya raut kalut yang tak disenanginya sudah pudar. Lebih baik ia mengerjai sang ibu dengan pekerjaan penuh konsentrasi ketimbang membiarkannya larut dalam kesedihan. Renoir benci melihat ibunya bermuram durja apalagi sampai menitikan air mata. Hanya orang bodoh yang tega melakukan hal tersebut kepada ibu kesayangannya dan orang itu adalah Gerrard—ayahnya.
“Selamanya, aku akan membenci orang itu!” benak Renoir bahkan enggan menyebut nama sang ayah.
“Bu ...” panggil Renoir pelan.
“Ya?” balas Cherie tanpa mengalihkan atensinya dari Lego.
“Apa Ibu tidak membenci ayah?”
Perhatian Cherie teralih seketika pada Renoir.
“Mengapa Ibu masih bertahan dengan pria seperti itu?”
Cherie tampak sendu untuk sesaat, namun ia segera mengubahnya dengan tersenyum hangat sambil menatap Renoir lekat-lekat. “Kenapa Ibu harus membencinya?”
“Ibu pasti lebih tahu daripada aku, seberapa buruknya sikap ayah kepadamu.”
“Ayahmu memang berwatak buruk. Tapi, bagaimana pun, dia adalah orang yang telah menghidupi aku dan dirimu selama bertahun-tahun dan dia tidak masalah menanggung semua urusan kita, Reno.”
Renoir tersenyum miring. “Itu memang sudah tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk menafkahi kita.”
“Tapi, apa Ibu puas diperlakukan dingin terus-menerus? Kalau jadi Ibu, aku pasti sudah lari. Mana mau aku hidup bersama orang yang kubenci,” oceh Renoir.
“Ibu tidak membencinya, Renoir.”
“Ayolah, Bu. Jangan terlalu baik! Kau harus pikirkan kebahagiaanmu juga!” Renoir tidak habis pikir dengan sikap Cherie yang selalu berusaha tegar di setiap situasi.
“Kau pikir Ibu tidak bahagia?” timpal Cherie. Ia meraih ujung kepala Renoir lalu mengusapnya perlahan.
“Melihatmu tumbuh dengan baik dan tersenyum kepada Ibu, sudah cukup untuk membuatku bahagia. Aku sudah merasa sangat bahagia karenamu, Renoir.”
Renoir menyaksikan sorot mata Cherie tampak berkaca-kaca.
“Kalau kau benci ayahmu, maka jangan jadi sepertinya. Aku tidak ingin kau membenci dirimu sendiri.” Cherie menatap tepat ke arah sepasang mata indah milik pemuda tampan di hadapannya. “Jadilah pria yang lembut di dalam, namun kuat di luar. Benar kata ayahmu, kau harus jadi pria kuat. Kau harus jadi kuat untuk melindungi dirimu sendiri dan juga Ibu.”
Renoir menanamkan pesan itu di dalam hatinya. Hati kecil yang tengah terbagi antara kebencian dan perasaan kasih sayang. Di rumah ini selalu punya dua sisi, api yang berkobar ketika berhadapan dengan Gerrard dan keluluhan serta kasih yang tulus bila dipersatukan dengan ibunya. Renoir sendiri berkecamuk ingin menjadi siapa nantinya. Tentu saja menjadi seperti Gerrard bukanlah pilihan, ia tidak ingin menjadi seorang tiran. Renoir selalu memilih untuk mendikte sang ibu. Kelembutan dan kehangatan itu kerap ia tanamkan dalam relung hatinya. Pencarian jati diri ini teramat sulit, Renoir hanya khawatir, di masa depan ia akan salah menentukan arah dan menjadi pribadi yang sama sekali tidak pernah ia harapkan.
---
Saat makan malam tiba, ketiga anggota keluarga duduk bersama menikmati berbagai hidangan di meja besar nan panjang, di bawah lampu kristal mewah. Renoir mencuri pandang ke arah Gerrard yang tampak tenang. Orang itu tidak bicara sepatah kata pun sejak mereka berkumpul. Ini adalah pertama kalinya Renoir melihat batang hidung ayahnya semenjak hari pertama masuk SMA. Kendati pergi berhari-hari tanpa kabar, tampaknya Gerrard tidak berniat membuat klarifikasi apa pun. Renoir amat gemas, pasalnya sang ayah bahkan tidak memberinya ucapan selamat atas pencapaian barunya menjadi murid Heaven High School yang cukup terkemuka.
“Hah ... sepertinya aku salah perkiraan. Aku menaruh harapan terlalu tinggi agar dia bisa menganggapku setelah aku berhasil meraih gelar sabuk hitam. Ternyata tidak.” Renoir menggerutu dalam hati.
Tatapannya terlihat tidak sedap dan tepat dipergoki oleh Cherie di seberang. Renoir sontak mengubah wajahnya, sebuah senyuman menghiasi wajah tegasnya.
Sampai makan malam selesai pun Gerrard tetap mengunci mulut. Ia pergi seusai makan, meninggalkan meja seolah tidak ada orang lain di sana.
Cherie mengikuti langkah Gerrard melalui tatapan. Pria itu sangat dingin sedari pulang tadi sore. Sebelumnya Gerrard memang bersikap dingin—sejak lama, namun kepulangannya hari ini mengubah sikapnya makin drastis. Raut Cherie kembali murung. Ia hanya mampu menghela napas berat seolah tidak berdaya untuk mengubah perlakuan suaminya agar menjadi lebih baik kepada dirinya juga putra mereka.
Renoir berubah posisi, ia duduk tepat di sebelah ibunya. Makan malam kali ini pasti jadi salah satu momen terburuk dalam hidup Cherie. Renoir berencana untuk menebus makan malam menyebalkan ini dengan makan malam terbaik unuk merek berdua.
“Bu, bagaimana kalau kita dinner berdua Jumat malam nanti?” Renoir menunggu persetujuan sang ibu.
“Hanya kita?”
“Benar, hanya kita berdua. Tidak perlu ajak orang lain.
Cherie mengerti betul maksud ‘orang lain’ yang dikatakan Renoir.
“Hmm ... biar Ibu pikirkan dulu.” Cherie sengaja mengulur waktu untuk menggoda putranya yang tidak sabaran.
“Ayolah, pikirnya jangan lama-lama. Ibu kan tidak pernah ke mana- mana, untuk apa pakai pikir-pikir segala!” Cherie berhasil memancing Renoir.
“Kira-kira menurutmu, Ibu harus jawab apa?”
“Katakan saja, “Tentu saja Ibu mau, Reno-ku sayang. Private dinner itu ide bagus!” Seperti itu.”
“Mmh, baiklah ... Tentu saja aku mau, Reno-ku sayang. Private dinner itu ide yang saaangat cemerlang!” Cherie melebih-lebihkan cara bicaranya.
“Ya ampun, Bu. Tidak usah berlebihan juga jawabnya.” Renoir agak terganggu dengan respons ibunya.
Cherie tertawa pelan. “Rencananya mau makan malam di mana?”
“Hm, belum tahu. Mungkin Ibu punya ide?”
“Sebenarnya ada satu tempat yang selalu ingin aku kunjungi. Dulu, Ibu pernah dibawa ke sebuah restoran Italia bersama ayah, sekali. Kuharap aku bisa pergi ke sana lagi, tapi ayahmu tidak kunjung mengajak Ibu lagi setelah sekian lama.”
“Baiklah, sudah diputuskan! Kita akan pergi ke tempat yang Ibu inginkan.”
***
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda kalau disandingkan dengan hunian tempat tinggal Renoir. Mungkin ini jadi salah satu alasan mengapa Cherie sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Renoir serta tortelini di atas piring Cherie begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Renoir terisi mocktail—bebas alkohol.Renoir senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Renoir justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Renoir meng
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Renoir mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Renoir dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Renoir tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Renoir telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Renoir melawan udara
“Kau habis mandi minyak wangi?” Renoir sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi memikat itu.Sebastian telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Renoir belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Renoir sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Renoir menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Sebastian sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Renoir masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menutup hidung!Renoir berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer d
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Renoir tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung pelayan yang menyambut Renoir, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana Ayahku?”“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Renoir bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Gerrard tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Tapi—belum selesai menyelesaikan langkah, begitu berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Cherie mengomel dengan tatapan murka.Renoir teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—&ldq
Sudah berhari-hari Renoir tidak pulang, semakin mirip Gerrard. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.“Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,” dalih Renoir dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Cherie.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu namun belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Renoir, “mungkin dia sedang membuat kue.”Tak mau ambil pusing, Renoir melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Renoir berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan da
Cherie siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbintang. Kendati penglihatannya masih kabur tapi ia sudah hafal dengan ruangan ini, kamar Presidential Suite di salah satu rumah sakit elite langganan keluarganya. Langit terlihat gelap dari jendela. Ia belum mampu menggerakkan tubuh dengan baik, hanya kepala yang bisa digerakkan. Cherie menoleh ke kiri, seseorang sedang membaringkan kepalanya di sisi kasur yang kosong sambil menyelimuti tangan dingin Cherie dengan telapak hangatnya. Perlahan penglihatan Cherie semakin jelas, senyumnya terulas tatkala sang putra tampak jelas tertidur pulas. Kelelahan sangat tampak di wajah pemuda itu. Cherie melepas belenggu tangan Renoir, ia mengusap pelan rambut berantakan anak itu dengan segala tenaga yang ia punya.Renoir merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala. Matanya perlahan terbuka, terlihat sang ibu telah membuka mata.“Ibu! Ibu sudah siuman?” sontak Renoir.Cherie h
“Renoir!” Cherie mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Cherie beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Cherie menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Renoir!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Cherie tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ...” Renoir menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Cherie hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Cherie terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan