Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.
Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai, Tuan Muda,” ujarnya takzim disertai senyuman lembut.Renoir segera mengangkut tas beratnya dari kursi sebelah. Merry baru tiba menyambutnya sewaktu Renoir telah keluar dari mobil.“Biar kubawakan tasnya, Tuan,” kata wanita paruh baya yang setia mengabdi pada keluarga Kim selama beberapa tahun terakhir.“Terima kasih, Merry. Tapi, biar kubawa sendiri. Tasku lumayan berat, aku tidak ingin lenganmu sakit.” Sungguh majikan yang pengertian.Merry justru merasa tidak enak. Sudah tugasnya untuk melayani putra keluarga konglomerat ini.“Kau mau cokelat?” tanya Renoir ramah.“Maaf, Tuan. Anda sudah memberiku beberapa batang cokelat kemarin. Bahkan belum ada yang berkurang satu pun, Tuan,” papar Merry sambil mengikuti majikan mudanya berjalan menuju ke dalam rumah.Renoir mendengus.“Oh iya, Ibu di mana?”“Di ruang keluarga, Tuan.”Renoir berpisah dengan si pelayan menuju ruang keluarga tempat ibunya berada. Ruangan itu terletak di sebelah kiri lorong menuju selasar di balik tangga megah di aula, berhadapan dengan ruang tamu di sisi kanan. Samar-samar, Renoir mendengar suara alunan piano yang dimainkan berirama, Moonlight Sonata menyambar telinga tatkala ia tiba di ambang pintu besar yang dibiarkan terbuka. Wanita cantik terlihat piawai menekan tuts dengan jemari lentiknya. Kendati hanya terlihat bagian belakang tubuhnya, namun Renoir bisa membayangkan gambaran ekspresi Cherie saat ini dari alunan lagu yang dimainkannya.Renoir menyusup masuk tanpa disadari perempuan tegar itu. Sang putra mendesak duduk di ruang yang tersisa di kursi kecil tempat tumpuan Cherie bermain piano. Jari-jari tangan Renoir seketika mengambil alih, mengubah nada jadi lebih bersemangat. Arrival of the Queen of Sheba memeriahkan suasana. Jemari pemuda itu lincah menekan kunci yang tepat.Senyum Cherie terulas, walau backsong-nya tiba-tiba berubah irama. Ia pun bergabung, memainkan simfoni bersama. Mereka bisa jadi kandidat pasangan duet yang hebat kalau saja Renoir tidak mengubah tempo menjadi lebih cepat. Cherie kewalahan karenanya, tidak kesal, ia justru tersenyum lebih lebar.“Yang benar saja, Renoir!” Cherie tidak bisa menahan tawa sebab sang putra kian mengubah tempo dengan jemari andalnya.Renoir semakin tergelitik dengan reaksi ibunya. Ia sengaja mengerjai Cherie untuk memperbaiki suasana. Kalau saja ia tidak bertindak, belum tentu suara tawa bisa terdengar dari mulut sosok malaikat di sampingnya.“Ibu tidak boleh mengacau! Kita harus mainkan sampai akhir,” tantang Renoir.Walau kerepotan, tapi Cherie bisa memenuhi tantangan Renoir sambil terus tertawa cekikikan sebab tidak tahan mengimbangi tempo yang diubah oleh sang putra seenaknya.Sebagai penutup—sekaligus apresiasi, Renoir mencomot mawar merah dari saku dalam almamater sekolah lantas memberikannya kepada sang ibu. Cherie tersentuh, tindakan Renoir sangat manis. Ia mengambil pemberian itu lalu menatap Renoir yang tersenyum padanya dalam-dalam.“Kau tahu, Ibu sangat iri,” kata Cherie.“Iri kenapa, Bu?”“Aku iri dengan pasanganmu nanti. Kau pasti akan memperlakukannya dengan baik.” Cherie mengusap usap rambut anaknya yang selalu berkilau.Untuk sesaat, Renoir bisa melihat perubahan raut wajah sang ibu dengan jelas kendati ia menyembunyikannya di balik sebuah senyuman. Dada Renoir terasa sesak mendengar ucapan bernada cemburu dari ibunya. Renoir malah berpikir, seberapa burukkah Gerrard memperlakukan sesosok manusia sempurna seperti Cherie?“Ibu salah. Harusnya Ibu tidak boleh iri dengan hubungan sepasang kekasih yang bisa berakhir kapan saja. Malah, kurasa pasanganku nanti yang semestinya iri dengan Ibu, karena hubungan kita tidak akan pernah berakhir, sampai kapan pun.”“Lagipula ... aku tidak mungkin berkhianat. Jika pasangan kekasih bisa berkhianat mencari pasangan lain, aku tidak akan cari Ibu baru,” tukas Renoir seraya tersenyum menampakkan gigi.Cherie ikut tertular karena pernyataan konyol dari Renoir.“Sungguh, Ibu. Aku tidak berminat mencari ibu yang lain selain ibuku, Cherie. Ibu akan selalu jadi wanita nomor satu seumur hidupku,” tambahnya.“Cukup, Reno. Ibu bisa melayang ke langit ketujuh kalau begini terus!”Akhirnya, Renoir berhasil menepis guratan muram di wajah ibunya.“Oh, iya!” Renoir melepas ransel sambil bertanya, “Ibu mau cokelat?” ujarnya seraya memperlihatkan isi tasnya.“Untuk apa beli cokelat sebanyak itu, Reno?” Cherie terperangah. “Seingatku hari ini bukan Valentine, kenapa ada bunga juga cokelat?”Setiap hari adalah hari Valentine bagi Renoir.“Ambil saja beberapa, terlalu banyak untuk dihabiskan sendiri. Aku sudah menawari Merry, tapi dia bilang tidak mau.”“Lain kali jangan seperti ini, Sayang. Tidak baik untuk gigimu.”“Jangan khawatir, lagipula aku tidak akan makan semuanya sendirian. Aku tinggal membagikan cokelat-cokelat ini pada orang lain. Siapa juga yang mau makan cokelat terus setiap hari?” gerutu Renoir.Cherie tampak bingung. “Bukan kau yang membeli semua ini?”“Bukan. Aku tidak tahu, Bu. Setiap hari mejaku selalu penuh dengan cokelat entah dari siapa. Meski sudah kubagi-bagikan cokelat-cokelat itu kepada teman-temanku, tetap saja, rasanya jumlahnya tidak pernah berkurang.” Renoir benar-benar mengeluh.“Uh, astaga. Tidak kusangka kau lebih populer dari yang Ibu duga.”“Aku kesulitan, Bu. Jangan memujiku terus.” Renoir butuh penyelesaian dari masalah yang belum ditemukan ujungnya itu.Di sela perbincangan sepasang ibu dan anak di ruang keluarga yang terasa hangat, terdengar pintu besar baru saja dibuka. Deru langkah kaki dan sapaan takzim menggema di aula. Renoir dan Cherie sama-sama menduga, yang datang pastilah orang yang ada di pikiran mereka.“Itu pasti ayahmu!” Cherie beranjak dari kursi.Renoir menutup ransel terlebih dahulu, kemudian menyusul langkah ibunya namun tidak mendekat ke sumber atensi. Renoir hanya keluar dari ruang keluarga, berjalan sedikit menuju dinding perbatasan area aula dan lorong menuju selasar. Dari sini pemandangannya terlihat jelas, jadi tidak perlu mendekati sosok yang baru kembali setelah satu pekan menghilang entah ke mana.“Kau sudah pulang, Gerrard.” Cherie tersenyum hangat seraya menghampiri sang suami.“Aku ingin istirahat. Jangan ganggu aku sampai waktu makan malam tiba,” balasnya dingin tanpa membalas satu kebaikan pun kepada istri baik hatinya yang lelah membatin selama seminggu.Gerrard berlalu masuk ke lift menuju lantai dua tanpa mempedulikan Cherie sama sekali. Sedang, Cherie tampak seperti mannequin, mematung—membisu di tengah aula. Renoir mengeraskan rahang, ia tidak tahan melihat perlakuan Gerrard kepada ibunya barusan.“Ibu ...” panggil Renoir hangat seraya mengubah Cherie kembali menjadi manusia.“Ya, Sayang?” Lagi-lagi ia memasang senyum palsu.“Sebaiknya Ibu ikut aku. Aku butuh bantuan untuk menyusun Lego.”***Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dala
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda kalau disandingkan dengan hunian tempat tinggal Renoir. Mungkin ini jadi salah satu alasan mengapa Cherie sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Renoir serta tortelini di atas piring Cherie begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Renoir terisi mocktail—bebas alkohol.Renoir senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Renoir justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Renoir meng
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Renoir mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Renoir dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Renoir tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Renoir telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Renoir melawan udara
“Kau habis mandi minyak wangi?” Renoir sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi memikat itu.Sebastian telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Renoir belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Renoir sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Renoir menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Sebastian sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Renoir masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menutup hidung!Renoir berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer d
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Renoir tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung pelayan yang menyambut Renoir, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana Ayahku?”“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Renoir bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Gerrard tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Tapi—belum selesai menyelesaikan langkah, begitu berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Cherie mengomel dengan tatapan murka.Renoir teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—&ldq
Sudah berhari-hari Renoir tidak pulang, semakin mirip Gerrard. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.“Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,” dalih Renoir dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Cherie.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu namun belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Renoir, “mungkin dia sedang membuat kue.”Tak mau ambil pusing, Renoir melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Renoir berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan da
Cherie siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbintang. Kendati penglihatannya masih kabur tapi ia sudah hafal dengan ruangan ini, kamar Presidential Suite di salah satu rumah sakit elite langganan keluarganya. Langit terlihat gelap dari jendela. Ia belum mampu menggerakkan tubuh dengan baik, hanya kepala yang bisa digerakkan. Cherie menoleh ke kiri, seseorang sedang membaringkan kepalanya di sisi kasur yang kosong sambil menyelimuti tangan dingin Cherie dengan telapak hangatnya. Perlahan penglihatan Cherie semakin jelas, senyumnya terulas tatkala sang putra tampak jelas tertidur pulas. Kelelahan sangat tampak di wajah pemuda itu. Cherie melepas belenggu tangan Renoir, ia mengusap pelan rambut berantakan anak itu dengan segala tenaga yang ia punya.Renoir merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala. Matanya perlahan terbuka, terlihat sang ibu telah membuka mata.“Ibu! Ibu sudah siuman?” sontak Renoir.Cherie h