Share

Bab 7: Keluhan—Terabaikan

Beban ransel hitam mahal  milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.

Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.

“Tuan,” tegur sang sopir.

Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.

“Sudah sampai, Tuan Muda,” ujarnya takzim disertai senyuman lembut.

Renoir segera mengangkut tas beratnya dari kursi sebelah. Merry baru tiba menyambutnya sewaktu Renoir telah keluar dari mobil.

“Biar kubawakan tasnya, Tuan,” kata wanita paruh baya yang setia mengabdi pada keluarga Kim selama beberapa tahun terakhir.

“Terima kasih, Merry. Tapi, biar kubawa sendiri. Tasku lumayan berat, aku tidak ingin lenganmu sakit.” Sungguh majikan yang pengertian.

Merry justru merasa tidak enak. Sudah tugasnya untuk melayani putra keluarga konglomerat ini.

“Kau mau cokelat?” tanya Renoir ramah.

“Maaf, Tuan. Anda sudah memberiku beberapa batang cokelat kemarin. Bahkan belum ada yang berkurang satu pun, Tuan,” papar Merry sambil mengikuti majikan mudanya berjalan menuju ke dalam rumah.

Renoir mendengus.

“Oh iya, Ibu di mana?”

“Di ruang keluarga, Tuan.”

Renoir berpisah dengan si pelayan menuju ruang keluarga tempat ibunya berada. Ruangan itu terletak di sebelah kiri lorong menuju selasar di balik tangga megah di aula, berhadapan dengan ruang tamu di sisi kanan. Samar-samar, Renoir mendengar suara alunan piano yang dimainkan berirama, Moonlight Sonata menyambar telinga tatkala ia tiba di ambang pintu besar yang dibiarkan terbuka. Wanita cantik terlihat piawai menekan tuts dengan jemari lentiknya. Kendati hanya terlihat bagian belakang tubuhnya, namun Renoir bisa membayangkan gambaran ekspresi Cherie saat ini dari alunan lagu yang dimainkannya.

Renoir menyusup masuk tanpa disadari perempuan tegar itu. Sang putra mendesak duduk di ruang yang tersisa di kursi kecil tempat tumpuan Cherie bermain piano. Jari-jari tangan Renoir seketika mengambil alih, mengubah nada jadi lebih bersemangat. Arrival of the Queen of Sheba memeriahkan suasana. Jemari pemuda itu lincah menekan kunci yang tepat.

Senyum Cherie terulas, walau backsong-nya tiba-tiba berubah irama. Ia pun bergabung, memainkan simfoni bersama. Mereka bisa jadi kandidat pasangan duet yang hebat kalau saja Renoir tidak mengubah tempo menjadi lebih cepat. Cherie kewalahan karenanya, tidak kesal, ia justru tersenyum lebih lebar.

“Yang benar saja, Renoir!” Cherie tidak bisa menahan tawa sebab sang putra kian mengubah tempo dengan jemari andalnya.

Renoir semakin tergelitik dengan reaksi ibunya. Ia sengaja mengerjai Cherie untuk memperbaiki suasana. Kalau saja ia tidak bertindak, belum tentu suara tawa bisa terdengar dari mulut sosok malaikat di sampingnya.

“Ibu tidak boleh mengacau! Kita harus mainkan sampai akhir,” tantang Renoir.

Walau kerepotan, tapi Cherie bisa memenuhi tantangan Renoir sambil terus tertawa cekikikan sebab tidak tahan mengimbangi tempo yang diubah oleh sang putra seenaknya.

Sebagai penutup—sekaligus apresiasi, Renoir mencomot mawar merah dari saku dalam almamater sekolah lantas memberikannya kepada sang ibu. Cherie tersentuh, tindakan Renoir sangat manis. Ia mengambil pemberian itu lalu menatap Renoir yang tersenyum padanya dalam-dalam.

“Kau tahu, Ibu sangat iri,” kata Cherie.

“Iri kenapa, Bu?”

“Aku iri dengan pasanganmu nanti. Kau pasti akan memperlakukannya dengan baik.” Cherie mengusap usap rambut anaknya yang selalu berkilau.

Untuk sesaat, Renoir bisa melihat perubahan raut wajah sang ibu dengan jelas kendati ia menyembunyikannya di balik sebuah senyuman. Dada Renoir terasa sesak mendengar ucapan bernada cemburu dari ibunya. Renoir malah berpikir, seberapa burukkah Gerrard memperlakukan sesosok manusia sempurna seperti Cherie?

“Ibu salah. Harusnya Ibu tidak boleh iri dengan hubungan sepasang kekasih yang bisa berakhir kapan saja. Malah, kurasa pasanganku nanti yang semestinya iri dengan Ibu, karena hubungan kita tidak akan pernah berakhir, sampai kapan pun.”

“Lagipula ... aku tidak mungkin berkhianat. Jika pasangan kekasih bisa berkhianat mencari pasangan lain, aku tidak akan cari Ibu baru,” tukas Renoir seraya tersenyum menampakkan gigi.

Cherie ikut tertular karena pernyataan konyol dari Renoir.

“Sungguh, Ibu. Aku tidak berminat mencari ibu yang lain selain ibuku, Cherie. Ibu akan selalu jadi wanita nomor satu seumur hidupku,” tambahnya.

“Cukup, Reno. Ibu bisa melayang ke langit ketujuh kalau begini terus!”

Akhirnya, Renoir berhasil menepis guratan muram di wajah ibunya.

“Oh, iya!” Renoir melepas ransel sambil bertanya, “Ibu mau cokelat?” ujarnya seraya memperlihatkan isi tasnya.

“Untuk apa beli cokelat sebanyak itu, Reno?” Cherie terperangah. “Seingatku hari ini bukan Valentine, kenapa ada bunga juga cokelat?”

Setiap hari adalah hari Valentine bagi Renoir.

“Ambil saja beberapa, terlalu banyak untuk dihabiskan sendiri. Aku sudah menawari Merry, tapi dia bilang tidak mau.”

“Lain kali jangan seperti ini, Sayang. Tidak baik untuk gigimu.”

“Jangan khawatir, lagipula aku tidak akan makan semuanya sendirian. Aku tinggal membagikan cokelat-cokelat ini pada orang lain. Siapa juga yang mau makan cokelat terus setiap hari?” gerutu Renoir.

Cherie tampak bingung. “Bukan kau yang membeli semua ini?”

“Bukan. Aku tidak tahu, Bu. Setiap hari mejaku selalu penuh dengan cokelat entah dari siapa. Meski sudah kubagi-bagikan cokelat-cokelat itu kepada teman-temanku, tetap saja, rasanya jumlahnya tidak pernah berkurang.” Renoir benar-benar mengeluh.

“Uh, astaga. Tidak kusangka kau lebih populer dari yang Ibu duga.”

“Aku kesulitan, Bu. Jangan memujiku terus.” Renoir butuh penyelesaian dari masalah yang belum ditemukan ujungnya itu.

Di sela perbincangan sepasang ibu dan anak di ruang keluarga yang terasa hangat, terdengar pintu besar baru saja dibuka. Deru langkah kaki dan sapaan takzim menggema di aula. Renoir dan Cherie sama-sama menduga, yang datang pastilah orang yang ada di pikiran mereka.

“Itu pasti ayahmu!” Cherie beranjak dari kursi.

Renoir menutup ransel terlebih dahulu, kemudian menyusul langkah ibunya namun tidak mendekat ke sumber atensi. Renoir hanya keluar dari ruang keluarga, berjalan sedikit menuju dinding perbatasan area aula dan lorong menuju selasar. Dari sini pemandangannya terlihat jelas, jadi tidak perlu mendekati sosok yang baru kembali setelah satu pekan menghilang entah ke mana.

“Kau sudah pulang, Gerrard.” Cherie tersenyum hangat seraya menghampiri sang suami.

“Aku ingin istirahat. Jangan ganggu aku sampai waktu makan malam tiba,” balasnya dingin tanpa membalas satu kebaikan pun kepada istri baik hatinya yang lelah membatin selama seminggu.

Gerrard berlalu masuk ke lift menuju lantai dua tanpa mempedulikan Cherie sama sekali. Sedang, Cherie tampak seperti mannequin, mematung—membisu di tengah aula. Renoir mengeraskan rahang, ia tidak tahan melihat perlakuan Gerrard kepada ibunya barusan.

“Ibu ...” panggil Renoir hangat seraya mengubah Cherie kembali menjadi manusia.

“Ya, Sayang?” Lagi-lagi ia memasang senyum palsu.

“Sebaiknya Ibu ikut aku. Aku butuh bantuan untuk menyusun Lego.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status