Satu tahun sembilan bulan kemudian, Renoir lagi-lagi bertanding di halaman belakang. Sudah hampir dua tahun dan belum sekali pun ia menjatuhkan Gerrard. Bukan lawan yang setimpal. Keyakinan Renoir akan kemampuan bela dirinya kini meningkat hingga akhirnya untuk pertama kali, Gerrard berhasil dibanting di atas rumput empuk yang selalu tertata rapi.
Gerrard terperangah di pembaringan seolah tak percaya bahwa inilah harinya. Hari di mana Renoir telah berubah menjadi sosok yang diinginkannya."Ayah bisa bangun?" Renoir mengulurkan tangan.Gerrard menggenggamnya tanpa ragu. Untuk pertama kalinya ia tersentuh dengan sang putra."Renoir ..." Sampai-sampai Gerrard menyentuh bahu Renoir dan mengulas senyum tipis, "kau harus mengikuti ujian sabuk hitam!"Dan Renoir pun mengikutinya beberapa hari kemudian. Ia masuk ke arena pertandingan memakai seragam bela diri lengkap dengan sabuk merah melingkar di pinggang, juga kehadiran kedua orangtua di kursi penonton.Berkat seluruh usaha yang diupayakannya, Renoir berhasil mencapai tujuan. Permintaan dengan eksekusi terlama selama ini. Orangtua Renoir sangat bangga atas pencapaian yang telah ia raih. Mendapat gelar sabuk hitam kurang dari dua tahun, di mana idealnya butuh lima hingga delapan tahun untuk meraih gelar tersebut.Bukan hanya mendapatkan senyum cerah dari Cherie, Renoir juga melihat Gerrard merekahkan senyuman untuknya. Pada saat itu, ia pikir ayahnya telah berubah. Tak ada yang lebih bangga selain Renoir pada saat ini, bukan sebab hasil pencapaian cemerlang melainkan berkat sebuah senyuman yang tidak pernah ia duga. Apresiasi terbesar dalam hidup, yaitu ekspresi cerah Gerrard.Setelah itupun Renoir mendapat imbalan seperti yang dijanjikan. Keinginannya adalah mengoleksi Lego. Seluruh koleksi eksklusif yang dikeluarkan perusahaan mainan itu telah sampai di halaman rumah. Renoir berdiri di depan pintu besar, senyumnya tidak putus-putus melihat para pekerja di rumah menggotong satu per satu kotak yang jumlahnya—entahlah. Renoir sudah kehabisan jari untuk menghitung.---Itu hanya sepenggal kisah yang Renoir ingat dengan jelas. Bibirnya membentuk seringai lebar, waktu itu ia masih jadi pemuda polos yang belum mengenal dunia. Sekarang?Renoir lantas menyalakan pemantik berlogo harimau dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya melindungi api dari terpaan angin. Sebatang racikan tembakau berhasil disulut. Merokok di selasar rumah bukan halangan lagi. Ayolah, siapa yang melarang kalau ibunya sudah pergi?Rumah megah ini sudah tidak berarti apa-apa lagi baginya. Terasa dingin dan hampa. Macam-macam tanaman bunga di halaman belakang jadi saksi bagaimana indahnya rumah sewaktu Cherie masih hidup. Bunga-bunga kesayangan ibunda itu sekarang berpindah penanganan, tidak lagi ada tangan halus yang merawat. Tukang kebun di halaman masih sibuk memangkas rumput dengan rapi."Pak, jangan lupa sirami bunga-bunga ibuku!" pekik Renoir mengingatkan tukang kebun dan ditanggapi anggukan ringan dari si pekerja.Asap mengepul di udara, angin-angin menguraikannya. Renoir kembali mengingat-ingat sejak kapan ia mulai merokok dan diam-diam jadi pemuda bandel di belakang ibunya. Ia malah tersenyum konyol tatkala mengingat masa itu.Saat itu, Renoir telah resmi menyandang status sebagai siswa SMA terkemuka—Heaven High School. Tempat mengenyam pendidikan para keturunan bibit unggul. Anak-anak para pesohor negeri, pejabat, pengusaha, advokat, hanya sekedar orang kaya entah apa asal usulnya dan masih banyak lagi. Kasta tertinggi diduduki para siswa dengan latar belakang paling diperhitungkan; orangtua yang berprofesi dengan jabatan paling tinggi dan Renoir termasuk dalam golongan.Pada awalnya, ia hanya pemuda biasa—kendati datang dari keluarga istimewa—remaja yang murni sekolah untuk belajar tanpa mencari tampang. Ia langsung mendapat teman di hari pertama, Ivan, Niguel dan Sebastian dari latar belakang berbeda-beda. Sungguh pencapaian terbaik dalam upaya bersosialisasi sepanjang pengalaman. Renoir bisa diterima dengan baik, mungkin sebab anak-anak itu tahu siapa dirinya. Tentu saja, anak-anak sekolah menengah atas kenal siapa Gerrard Kim. Kebanyakan orangtua mereka tidak jauh-jauh dari circle orang-orang hebat dan nama Gerrard bukanlah sebuah nama asing bagi mereka.Alih-alih bangga sebab dielu-elukan berkat pamor sang ayah, Renoir justru tidak senang jika dikait-kaitkan dengannya. Pria yang kerap mengintimidasi itu bukanlah sosok yang pantas dipuja kalau melihat kelakuannya di rumah. Omong-omong, orangtua itu belum pulang sejak dua hari sebelum hari pertama Renoir masuk SMA. Benar-benar bukan sosok ayah idaman.Satu per satu teman-teman baru saling menceritakan tentang orangtua mereka."Ayahku manajer keuangan di perusahaan swasta—" kata Ivan. Pemuda yang berpostur tinggi semampai, kulitnya tidak kalah bersih dari Renoir, tatapannya tegas namun terkesan ramah."Orangtuaku pengusaha klub malam. Sekarang juga sedang coba-coba bisnis kuliner." Kalimat Ivan disela Niguel, pria muda berkulit eksotis dan punya lesung di kedua pipinya. Jujur saja, Renoir iri dengan ceruk manis yang menghiasi pipi Niguel."Ayahku pemilik perusahaan spareparts otomotif. Mungkin salah satu merk mobil mewah di rumahmu adalah klien ayahku," ungkap Sebastian paling akhir. Anak itu memang agak pendiam dan selalu membuka suara belakangan."Mungkin suatu hari kita bisa kerja sama membangun pabrik mobil?" seloroh Renoir."Ide cemerlang!" Lensa abu-abu Sebastian tampak bercahaya mendengar gagasan anak sang pengusaha hebat.Sementara itu, ketiga kawan baru tengah masing-masing bergumam di dalam hati mereka."Mimpi apa aku semalam?" pikir Ivan."Ternyata ini jawaban atas penemuan semanggi berdaun empat minggu lalu!" benak Niguel."Aku tidak akan khawatir lagi mengenai perkembangan bisnis di masa depan!" Sebastian tengah berandai-andai sambil berpejam.Sejak hari itu, keempat pemuda saling mengakrabkan diri satu sama lain. Berbagi cerita, tawa, juga pesona kepada para gadis-gadis di sekolah. Mereka bagai F4-nya SMA Heaven. Empat pria muda seindah bunga yang jadi idola. Pusat utama berada pada satu nama, Renoir. Tidak ada yang mampu menandingi pesona pemuda rupawan ini. Segala euforia lebih tertuju padanya, ketiga teman dekat pun akhirnya ikut terciprat citra itu—jadi incaran para gadis muda.Kendati baru menjalani tahun pertama, Renoir telah memiliki segalanya, seluruh sekolah seakan tunduk pada dirinya. Teman-teman, pusat perhatian, keseganan bahkan dari para senior, ia sangat populer berkat pamor yang disandangnya. Setiap hari adalah hari Valentine bagi Renoir. Berjibun cokelat selalu mendarat di meja kelas tanpa tahu siapa pemberinya.Berkat kepopuleran itu, akhirnya Renoir dan kawan-kawan berinisiatif membuat geng besutan mereka untuk semakin mengokohkan kredibilitas mereka sebagai penguasa sekolah.***Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka."Heaven's Crew?" saran Ivan."Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju."Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem."Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya."Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian."Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju.""Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat
Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai,
Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dala
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda kalau disandingkan dengan hunian tempat tinggal Renoir. Mungkin ini jadi salah satu alasan mengapa Cherie sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Renoir serta tortelini di atas piring Cherie begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Renoir terisi mocktail—bebas alkohol.Renoir senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Renoir justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Renoir meng
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Renoir mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Renoir dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Renoir tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Renoir telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Renoir melawan udara
“Kau habis mandi minyak wangi?” Renoir sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi memikat itu.Sebastian telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Renoir belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Renoir sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Renoir menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Sebastian sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Renoir masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menutup hidung!Renoir berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer d
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Renoir tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung pelayan yang menyambut Renoir, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana Ayahku?”“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Renoir bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Gerrard tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Tapi—belum selesai menyelesaikan langkah, begitu berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Cherie mengomel dengan tatapan murka.Renoir teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—&ldq