“Aku? Akan jadi pemimpin gengster?”
Setelah pertengkaran semalam dan pengungkapan yang dilakukan Gerrard, Renoir tidak merasa lebih baik. Sekarang ia mengerti, mengapa sang ayah kerap bertindak keras padanya. Renoir diharuskan untuk tidak memiliki rasa takut, tidak punya hati, persis seperti Gerrard.
Selepas membawa pulang mobil Gerrard semalam, orangtua itu malah tidak pulang ke rumah. Renoir sudah bisa tebak, “Paling-paling dia pergi ke tempat wanita sialan itu lagi,” ucapnya disertai seringai.
"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran tua bangka itu. Menikahi seorang wanita, tidak memberinya rasa cinta sedikit pun, menghabisi nyawanya tanpa ampun bahkan bisa-bisanya berkumpul dengan jalang dan anak haram itu dengan tenang."
"... dia benar-benar bukan manusia."
Deru mesin pemotong rumput memekak telinga. Renoir tengah duduk di tepian selasar rumah merenungi hidup. Entah dari mana titik mula kisah hidup ini. Orang bilang ketika kita terlahir di dunia, lembar catatan kita masih bersih belum terbubuh setitik coretan sedikit pun. Namun sekarang tinta itu telah tergores sekian banyak. Renoir merunut waktu ke belakang, memproyeksikan kenangan-kenangan yang masih diingat untuk mencari tahu dari mana asal mula seluruh kekacauan ini.
Seumur hidupnya selama 17 tahun, Gerrard kerap mendominasi setiap langkah perjalanan hidup Renoir. Sejak kecil—Renoir tidak ingat umur berapa saat itu, ia selalu dimintai hal di luar batas kemampuan. Nilai sempurna di setiap mata pelajaran, membuat instrumen alat musik yang tidak pernah ia mainkan, sampai dipaksa ikut kejuaraan berkuda yang tidak dikuasainya.
Segala hal konyol kerap Renoir laksanakan semata-mata demi menghindari amukan Gerrard si maha sempurna. Orangtua itu juga mengatur bagaimana Renoir harus bersikap, harus berbicara bahkan mengadopsi berbagai kebiasaannya. Gerrard memang tidak pernah berpikir mengenai perasaan sang anak, suka atau tidak anak itu wajib menjalankan perintah. Gerrard tipe orangtua otoriter, penuntut, keras, penuh dengan sikap arogansi yang amat tidak disenangi Renoir.Renoir selalu menanamkan kebencian pada ayahnya, ia tidak ingin jadi pribadi seperti Gerrard saat dewasa nanti.Masih teringat dengan jelas gambaran memori bertahun-tahun silam. Acap kali Renoir jadi bulan-bulanan di sekolah sebab sikapnya yang terlalu kaku, tidak jago bersosialisasi juga karena wajah menariknya membuat iri sebagian bocah lelaki. Berkali-kali pulang dengan wajah terluka akibat keroyokan anak-anak di sekolah. Bukan bersimpati, Gerrard justru memukulnya lebih keras."Dasar bocah payah! Kalau kau ingin kuanggap sebagai keturunanku, jadilah kuat!" Gerrard bicara pada pria muda yang bahkan belum lulus sekolah dasar.Keinginan Gerrard terlampau kuat, Renoir tidak bisa melawan. Tepat sebelum ia melaksanakan ujian kelulusan, Gerrard memutuskan sesuatu secara sepihak."Sudah kuputuskan, kau akan masuk kursus bela diri. Kau perlu menjadi kuat, Renoir. Pukulan anak SMP lebih kuat daripada pukulan bocah SD." Gerrard berpikir realistis."Aku juga akan menantangmu bertarung nanti. Sebagai imbalannya, kau boleh minta sesuatu yang kau inginkan jika berhasil mengalahkanku."Renoir hanya bisa menelan ludah tak mampu berucap. Ayahnya mengajak bertarung bukanlah hal bagus, kendati ia akan menerima hadiah setelahnya. Kemungkinannya hanya dua; menyerah atau babak belur. Tapi, menyerah bukanlah jalan pilihan, ia terbiasa berjuang walaupun menyulitkan diri sendiri. Kesulitan seolah telah jadi teman hidup paling setia."Bagaimana, Renoir?" Pertanyaan terakhir sebagai penentuan. Mustahil Renoir menjawab 'tidak', ia sudah hafal hanya ada kata 'iya' dalam kamus Gerrard."Ya ... baiklah." Intonasi Renoir terdengar lemas.Ini hanya satu hal atas banyaknya pemaksaan yang dilayangkan kepada Renoir. Ia akhirnya mengikuti kemauan Gerrard, lagi.Tak berlama-lama, hari terakhir ujian kelulusan, hari itu juga Renoir mulai menjalani pertemuan pertama kursus bela diri. Renoir berlatih dengan keras, jika peserta lain hanya melakukan pertemuan seminggu sekali, ia melakukannya setiap hari. Namun kekuatannya tak kunjung meningkat. Hari pertama sekolah menengah, ia kembali jadi korban perundungan senior-seniornya. Ia berhasil pulang dengan luka-luka di wajah."Ayah tidak boleh melihatku seperti ini. Bisa mati aku kalau ketahuan!" batin Renoir sambil berjalan di aula rumah."Reno, kau sudah pulang, Nak?" sapa Cherie dari arah dapur. Renoir sedang menaiki anak tangga dan tidak menghiraukan sapaan ibunya."Renoir?" panggil Cherie.Renoir menghentikan langkah. Ia tidak bisa mengabaikan Cherie dan membuat perasaannya sakit. Tapi, ia sangat tidak ingin ditemui kali ini."Ibu buatkan cheesecake kesukaanmu. Sebentar lagi matang," jelas Cherie tanpa berusaha menyusul Renoir."Iya, Bu. Bawakan saja ke kamar nanti," timpal Renoir sambil sedikit menoleh.Ia memilih untuk kabur dan menyembunyikan wajahnya."Ahh!" keluh Renoir merasa sakit menyentuh luka di ujung bibir dan hidungnya. Renoir memandangi wajah babak belur di depan cermin di kamar mandi."Bagaimana ini?" desahnya."Renoir!" seruan itu terdengar. Cherie pasti membawakan cheesecake buatannya.Renoir hanya bisa pasrah keluar dari kamar mandi dengan keadaan seperti itu. Ia hanya perlu berkilah saat ditanya, tidak perlu bilang yang sebenarnya."Reno, Ibu— Ya ampun, Renoir!" Cherie segera menaruh kue di atas nakas dekat ranjang. Setelahnya ia tergesa-gesa menghampiri sang putra."Kau kenapa?" tanya Cherie sambil menyentuh wajah Renoir."Tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil di sekolah.""Kau dipukuli?" Tatapan Cherie penuh kecemasan."Tidak, kok. Aku kan sudah jago berkelahi," ucapnya sambil mengulas senyum, "aku cuma jatuh dan terbentur saat main bola di sekolah. Ibu jangan cemas, sebentar lagi juga sembuh."Cherie menghela napas berat. Rasanya masa hidup yang ia miliki berkurang banyak setiap melihat kondisi anaknya seperti ini."Ya sudah, makan kuenya, ya. Nanti Ibu kembali lagi untuk memeriksa luka-lukamu."Cherie bergegas pergi. Renoir bisa lega untuk sementara, setidaknya selama sang ayah tidak mengetahui kondisinya.Makan malam tiba. Setahu Renoir, ayahnya belum pulang. Orangtua itu pasti makan malam di luar, jadi Renoir tidak khawatir. Tanpa ragu, ia pergi ke ruang makan di lantai dasar menyusul sang ibu. Renoir melewati tangga dengan girang, kali ini akan makan malam berdua saja dengan ibunya. Ia melangkah ke ruangan dengan sepasang daun pintu besar yang atasnya melengkung, namun kegirangan itu berakhir tatkala melihat seorang berwajah tegang duduk di ujung meja.Tebakan Renoir salah, kedua orangtuanya lengkap berada di meja makan. Seketika Renoir menunduk, ingin kabur tapi terlambat. Mau tidak mau, Renoir harus melanjutkan langkah menuju kursi di ujung. Tempatnya selalu di sisi kiri Gerrard, sementara Cherie berada di sisi kanan. Jadi, Renoir dan ibunya selalu berhadapan setiap kali makan. Renoir terus mengalihkan perhatian, menghindari kontak mata dengan Gerrard. Kalau Gerrard sadar dengan kondisi Renoir, pasti akan jadi buruk. Tetap saja, sepintar apapun Renoir menyembunyikan wajah, tidak mungkin tak akan disadari jika ia duduk bersebelahan dengan sang ayah. Gerrard menengok, memperhatikan gelagat aneh Renoir."Renoir!" panggilnya.Leher Renoir terlihat bergerak."Ya, Ayah," sahutnya tanpa menoleh. Ia tetap buang muka, sedikit menunduk untuk menyembunyikan aib itu."Tatap aku setiap kali bicara. Kau lupa aturan itu?"Renoir menggigit bibir menahan kesal. Terpaksa ia menegakkan kepala dan menengok menghadap Gerrard."Ya, Ayah!" jawabnya yakin.Gerrard menatap sinis, hanya hening setelahnya. Pelayan-pelayan berdatangan membawakan menu makan malam. Jemari Gerrard mulai dimainkan di atas taplak bersih yang menutupi meja, ia menatap Renoir lekat-lekat tak sedetik pun perhatiannya teralih. Sementara Renoir merasa tegang melihat tatapan Gerrard kepadanya, seperti singa yang akan menghabisi mangsa.Renoir berusaha mengalihkan perhatian, namun perintah Gerrard sudah jelas, "Kau tidak dengar perintahku? Tatap aku!"Setelah semua pelayan pergi, suasana semakin tegang. Makanan di atas meja belum tersentuh sedikit pun. Para tuan rumah tengah bersitegang. Sama halnya dengan Cherie, adrenalinnya berdesir kencang menunggu hal yang akan terjadi. Semoga tidak terjadi hal buruk lagi, hanya itu yang bisa ia harapkan."Apa yang terjadi padamu?" Gerrard bisa saja bertanya dengan tenang, tapi Renoir tidak bisa tenang. Sudah bisa ditebak, merujuk pengalamannya selama ini, apa yang akan dilakukan Gerrard jika tahu Renoir kalah berkelahi lagi."Aku akan habis kali ini."***Tatapan Renoir bergetar memandang ayahnya yang berwajah tenang. Meski tenang, keberadaannya tetap mengancam. Atmosfer di ruangan menjadi kelam. Renoir masih bungkam dengan pertanyaan Gerrard. Apa yang terjadi padanya, sebaiknya tidak perlu diungkap."Siapa yang mengajarimu mengabaikan pertanyaan orangtua?" sambung Gerrard sebab Renoir tak kunjung menjawab."Aku terjatuh waktu main sepak bola di sekolah," jawab Renoir spontan.Gerrard mengangkat sebelah alis. "Kau terjatuh? Katuh dari lantai berapa? Jangan coba-coba membodohiku. Kecuali kau mendapat luka-luka itu dari bola yang dihantamkan ke wajahmu berkali-kali, aku akan percaya.""Ehh ..." Renoir kehabisan kata-kata untuk membalas pernyataan sang ayah."Katakan yang jujur, kenapa wajahmu bisa seperti itu?"Renoir meremas ujung celana pendeknya."Kau berani membohongi Ayahmu, Renoir?" Tatapan Gerrard semakin tajam.Renoir tidak sanggup men
Satu tahun sembilan bulan kemudian, Renoir lagi-lagi bertanding di halaman belakang. Sudah hampir dua tahun dan belum sekali pun ia menjatuhkan Gerrard. Bukan lawan yang setimpal. Keyakinan Renoir akan kemampuan bela dirinya kini meningkat hingga akhirnya untuk pertama kali, Gerrard berhasil dibanting di atas rumput empuk yang selalu tertata rapi.Gerrard terperangah di pembaringan seolah tak percaya bahwa inilah harinya. Hari di mana Renoir telah berubah menjadi sosok yang diinginkannya."Ayah bisa bangun?" Renoir mengulurkan tangan.Gerrard menggenggamnya tanpa ragu. Untuk pertama kalinya ia tersentuh dengan sang putra."Renoir ..." Sampai-sampai Gerrard menyentuh bahu Renoir dan mengulas senyum tipis, "kau harus mengikuti ujian sabuk hitam!"Dan Renoir pun mengikutinya beberapa hari kemudian. Ia masuk ke arena pertandingan memakai seragam bela diri lengkap dengan sabuk merah melingkar di pinggang, juga kehadiran kedua orangtu
Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka."Heaven's Crew?" saran Ivan."Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju."Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem."Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya."Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian."Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju.""Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat
Beban ransel hitam mahal milik Renoir terasa bertambah berkat 17 bungkus cokelat yang diterimanya hari ini. Padahal seingatnya, ia sudah mendonasikan berbatang-batang cokelat kepada teman-temannya, tapi ternyata yang tersisa masih sekian banyak. Plus setangkai mawar merah digenggamannya. Renoir berencana untuk memberikan bunga itu kepada ibunya.Mobil mewah produksi negeri The Black Country melewati gerbang tinggi yang terbuka otomatis, membelah halaman istana megah hunian Tuan Muda yang tengah melamun di kursi belakang. Sang sopir menghentikan mobil dengan mulus di tepian tangga akses menuju pintu utama rumah besar itu. Kendati telah menepi, Tuan Muda masih belum beranjak. Sang sopir menengok ke belakang, entah mengapa pemuda rupawan itu hanya diam, sepertinya sedang banyak pikiran.“Tuan,” tegur sang sopir.Renoir mengerjap beberapa kali tatkala seruan sopirnya menyadarkan ia dari lamunan.“Sudah sampai,
Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dala
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Sebastian mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, namun begitu dibakar menimbulkan aroma khas.Indera penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Sebastian menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau membawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Sebastian santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Sebastian ributkan, namun ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Renoir.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentu
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda kalau disandingkan dengan hunian tempat tinggal Renoir. Mungkin ini jadi salah satu alasan mengapa Cherie sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Renoir serta tortelini di atas piring Cherie begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Renoir terisi mocktail—bebas alkohol.Renoir senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Renoir justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Renoir meng
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Renoir mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Renoir dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Renoir tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Renoir telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Renoir melawan udara