Share

Bab 3: Rentetan Masa Lalu

Aku? Akan jadi pemimpin gengster?

Setelah pertengkaran semalam dan pengungkapan yang dilakukan Gerrard, Renoir tidak merasa lebih baik. Sekarang ia mengerti, mengapa sang ayah kerap bertindak keras padanya. Renoir diharuskan untuk tidak memiliki rasa takut, tidak punya hati, persis seperti Gerrard.

Selepas membawa pulang mobil Gerrard semalam, orangtua itu malah tidak pulang ke rumah. Renoir sudah bisa tebak, “Paling-paling dia pergi ke tempat wanita sialan itu lagi,” ucapnya disertai seringai.

"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran tua bangka itu. Menikahi seorang wanita, tidak memberinya rasa cinta sedikit pun, menghabisi nyawanya tanpa ampun bahkan bisa-bisanya berkumpul dengan jalang dan anak haram itu dengan tenang."

"... dia benar-benar bukan manusia."

Deru mesin pemotong rumput memekak telinga. Renoir tengah duduk di tepian selasar rumah merenungi hidup. Entah dari mana titik mula kisah hidup ini. Orang bilang ketika kita terlahir di dunia, lembar catatan kita masih bersih belum terbubuh setitik coretan sedikit pun. Namun sekarang tinta itu telah tergores sekian banyak. Renoir merunut waktu ke belakang, memproyeksikan kenangan-kenangan yang masih diingat untuk mencari tahu dari mana asal mula seluruh kekacauan ini.

Seumur hidupnya selama 17 tahun, Gerrard kerap mendominasi setiap langkah perjalanan hidup Renoir. Sejak kecil—Renoir tidak ingat umur berapa saat itu, ia selalu dimintai hal di luar batas kemampuan. Nilai sempurna di setiap mata pelajaran, membuat instrumen alat musik yang tidak pernah ia mainkan, sampai dipaksa ikut kejuaraan berkuda yang tidak dikuasainya.

Segala hal konyol kerap Renoir laksanakan semata-mata demi menghindari amukan Gerrard si maha sempurna. Orangtua itu juga mengatur bagaimana Renoir harus bersikap, harus berbicara bahkan mengadopsi berbagai kebiasaannya. Gerrard memang tidak pernah berpikir mengenai perasaan sang anak, suka atau tidak anak itu wajib menjalankan perintah. Gerrard tipe orangtua otoriter, penuntut, keras, penuh dengan sikap arogansi yang amat tidak disenangi Renoir.

Renoir selalu menanamkan kebencian pada ayahnya, ia tidak ingin jadi pribadi seperti Gerrard saat dewasa nanti.

Masih teringat dengan jelas gambaran memori bertahun-tahun silam. Acap kali Renoir jadi bulan-bulanan di sekolah sebab sikapnya yang terlalu kaku, tidak jago bersosialisasi juga karena wajah menariknya membuat iri sebagian bocah lelaki. Berkali-kali pulang dengan wajah terluka akibat keroyokan anak-anak di sekolah. Bukan bersimpati, Gerrard justru memukulnya lebih keras.

"Dasar bocah payah! Kalau kau ingin kuanggap sebagai keturunanku, jadilah kuat!" Gerrard bicara pada pria muda yang bahkan belum lulus sekolah dasar.

Keinginan Gerrard terlampau kuat, Renoir tidak bisa melawan. Tepat sebelum ia melaksanakan ujian kelulusan, Gerrard memutuskan sesuatu secara sepihak.

"Sudah kuputuskan, kau akan masuk kursus bela diri. Kau perlu menjadi kuat, Renoir. Pukulan anak SMP lebih kuat daripada pukulan bocah SD." Gerrard berpikir realistis.

"Aku juga akan menantangmu bertarung nanti. Sebagai imbalannya, kau boleh minta sesuatu yang kau inginkan jika berhasil mengalahkanku."

Renoir hanya bisa menelan ludah tak mampu berucap. Ayahnya mengajak bertarung bukanlah hal bagus, kendati ia akan menerima hadiah setelahnya. Kemungkinannya hanya dua; menyerah atau babak belur. Tapi, menyerah bukanlah jalan pilihan, ia terbiasa berjuang walaupun menyulitkan diri sendiri. Kesulitan seolah telah jadi teman hidup paling setia.

"Bagaimana, Renoir?" Pertanyaan terakhir sebagai penentuan. Mustahil Renoir menjawab 'tidak', ia sudah hafal hanya ada kata 'iya' dalam kamus Gerrard.

"Ya ... baiklah." Intonasi Renoir terdengar lemas.

Ini hanya satu hal atas banyaknya pemaksaan yang dilayangkan kepada Renoir. Ia akhirnya mengikuti kemauan Gerrard, lagi.

Tak berlama-lama, hari terakhir ujian kelulusan, hari itu juga Renoir mulai menjalani pertemuan pertama kursus bela diri. Renoir berlatih dengan keras, jika peserta lain hanya melakukan pertemuan seminggu sekali, ia melakukannya setiap hari. Namun kekuatannya tak kunjung meningkat. Hari pertama sekolah menengah, ia kembali jadi korban perundungan senior-seniornya. Ia berhasil pulang dengan luka-luka di wajah.

"Ayah tidak boleh melihatku seperti ini. Bisa mati aku kalau ketahuan!" batin Renoir sambil berjalan di aula rumah.

"Reno, kau sudah pulang, Nak?" sapa Cherie dari arah dapur. Renoir sedang menaiki anak tangga dan tidak menghiraukan sapaan ibunya.

"Renoir?" panggil Cherie.

Renoir menghentikan langkah. Ia tidak bisa mengabaikan Cherie dan membuat perasaannya sakit. Tapi, ia sangat tidak ingin ditemui kali ini.

"Ibu buatkan cheesecake kesukaanmu. Sebentar lagi matang," jelas Cherie tanpa berusaha menyusul Renoir.

"Iya, Bu. Bawakan saja ke kamar nanti," timpal Renoir sambil sedikit menoleh.

Ia memilih untuk kabur dan menyembunyikan wajahnya.

"Ahh!" keluh Renoir merasa sakit menyentuh luka di ujung bibir dan hidungnya. Renoir memandangi wajah babak belur di depan cermin di kamar mandi.

"Bagaimana ini?" desahnya.

"Renoir!" seruan itu terdengar. Cherie pasti membawakan cheesecake buatannya.

Renoir hanya bisa pasrah keluar dari kamar mandi dengan keadaan seperti itu. Ia hanya perlu berkilah saat ditanya, tidak perlu bilang yang sebenarnya.

"Reno, Ibu— Ya ampun, Renoir!" Cherie segera menaruh kue di atas nakas dekat ranjang. Setelahnya ia tergesa-gesa menghampiri sang putra.

"Kau kenapa?" tanya Cherie sambil menyentuh wajah Renoir.

"Tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil di sekolah."

"Kau dipukuli?" Tatapan Cherie penuh kecemasan.

"Tidak, kok. Aku kan sudah jago berkelahi," ucapnya sambil mengulas senyum, "aku cuma jatuh dan terbentur saat main bola di sekolah. Ibu jangan cemas, sebentar lagi juga sembuh."

Cherie menghela napas berat. Rasanya masa hidup yang ia miliki berkurang banyak setiap melihat kondisi anaknya seperti ini.

"Ya sudah, makan kuenya, ya. Nanti Ibu kembali lagi untuk memeriksa luka-lukamu."

Cherie bergegas pergi. Renoir bisa lega untuk sementara, setidaknya selama sang ayah tidak mengetahui kondisinya.

Makan malam tiba. Setahu Renoir, ayahnya belum pulang. Orangtua itu pasti makan malam di luar, jadi Renoir tidak khawatir. Tanpa ragu, ia pergi ke ruang makan di lantai dasar menyusul sang ibu. Renoir melewati tangga dengan girang, kali ini akan makan malam berdua saja dengan ibunya. Ia melangkah ke ruangan dengan sepasang daun pintu besar yang atasnya melengkung, namun kegirangan itu berakhir tatkala melihat seorang berwajah tegang duduk di ujung meja.

Tebakan Renoir salah, kedua orangtuanya lengkap berada di meja makan. Seketika Renoir menunduk, ingin kabur tapi terlambat. Mau tidak mau, Renoir harus melanjutkan langkah menuju kursi di ujung. Tempatnya selalu di sisi kiri Gerrard, sementara Cherie berada di sisi kanan. Jadi, Renoir dan ibunya selalu berhadapan setiap kali makan. 

Renoir terus mengalihkan perhatian, menghindari kontak mata dengan Gerrard. Kalau Gerrard sadar dengan kondisi Renoir, pasti akan jadi buruk. Tetap saja, sepintar apapun Renoir menyembunyikan wajah, tidak mungkin tak akan disadari jika ia duduk bersebelahan dengan sang ayah. Gerrard menengok, memperhatikan gelagat aneh Renoir.

"Renoir!" panggilnya.

Leher Renoir terlihat bergerak.

"Ya, Ayah," sahutnya tanpa menoleh. Ia tetap buang muka, sedikit menunduk untuk menyembunyikan aib itu.

"Tatap aku setiap kali bicara. Kau lupa aturan itu?"

Renoir menggigit bibir menahan kesal. Terpaksa ia menegakkan kepala dan menengok menghadap Gerrard.

"Ya, Ayah!" jawabnya yakin.

Gerrard menatap sinis, hanya hening setelahnya. Pelayan-pelayan berdatangan membawakan menu makan malam. Jemari Gerrard mulai dimainkan di atas taplak bersih yang menutupi meja, ia menatap Renoir lekat-lekat tak sedetik pun perhatiannya teralih. Sementara Renoir merasa tegang melihat tatapan Gerrard kepadanya, seperti singa yang akan menghabisi mangsa.

Renoir berusaha mengalihkan perhatian, namun perintah Gerrard sudah jelas, "Kau tidak dengar perintahku? Tatap aku!"

Setelah semua pelayan pergi, suasana semakin tegang. Makanan di atas meja belum tersentuh sedikit pun. Para tuan rumah tengah bersitegang. Sama halnya dengan Cherie, adrenalinnya berdesir kencang menunggu hal yang akan terjadi. Semoga tidak terjadi hal buruk lagi, hanya itu yang bisa ia harapkan.

"Apa yang terjadi padamu?" 

Gerrard bisa saja bertanya dengan tenang, tapi Renoir tidak bisa tenang. Sudah bisa ditebak, merujuk pengalamannya selama ini, apa yang akan dilakukan Gerrard jika tahu Renoir kalah berkelahi lagi.

"Aku akan habis kali ini."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status