Kenzio tercekat saat ular putih peliharaan Lintang Timoer membawanya ke sebuah hutan yang ditutupi oleh kabut. Mata Kenzio menyipit, mengamati keadaan sekitarnya yang tampak begitu hening. Bahkan suara gesekan dedauanan tertiup angin pun sama sekali tak terdengar, seolah tempat itu adalah ruang hampa.“Inikah hutan bangkai?” batin Kenzio sangsi. Pasalnya ia tak mencium aroma bangkai sedikit pun, justru hidungnya samar-samar mencium aroma anggrek yang menyegarkan.Ular putih di samping Kenzio mendesis lalu membuka mulut lebar-lebar.Sebutir pil berwarna merah muda beraroma amis keluar dan melayang di depan Kenzio. “Adik Tuanku, makanlah pil kesadaran ini.”Kenzio mengernyit, menatap ular putih dan pil dengan sedikit jijik.“Kenapa aku harus memakannya?” Ular putih menjulurkan lidah dua kali. Desisannya terdengar tak sabar.“Tidakkah Adik Tuanku merasa ada yang aneh dengan aroma anggrek ini?”Kenzio menarik napas dan menggeleng polos.“Hanya ada aroma segar dan menyenangkan seolah se
Kenzio menghela napas. Ular putih langsung mengirimnya ke dalam ilusi Singgih Wirayudha begitu saja tanpa memberinya kesempatan untuk kembali ke tubuhnya barang sejenak.Tapi Kenzio tak bisa mengeluh. Ia mengerti mereka tak memiliki banyak waktu. “Paman Singgih!” Singgih Wirayudha yang tengah menginjak kepala Singgih Wirayudha yang lain mendongak.“Nak, kau di sini,” ucapnya terkejut.“Iya, aku datang untuk membawa Paman keluar.”Kenzio melirik Singgih Wirayudha yang tergeletak tanpa daya, matanya yang bengkak mengerjap-ngerjap meminta bantuan. “Ah, dia hanya ilusi. Aku hanya bisa membuatnya babak belur, tak bisa melenyapkannya seberapa keras aku berusaha. ” Singgih Wirayudha yang segar bugar buru-buru memberi penjelasan sambil memperkuat injakan kakinya sehingga Singgih Wirayudha yang naas itu mengerang.Kenzio hanya mengangguk-angguk lantas mengalihkan pandang ke keadaan sekitar yang dipenuhi bebatuan dan ilalang, sekilas terlihat mirip dengan gerbang lotus utara.“Nak, bagaimana
Ratusan iblis penjaga gua menatap rombongan Hyang Sagara dengan ganas. Pemimpin mereka yang berwujud manusia berkepala kerbau beranting bulat besar mengacungkan golok, memberi komando untuk menyerbu.“Tuan Singgih, serahkan mereka pada kami, Anda carilah Renata,” ucap Hyang Sagara pada Singgih Wirayudha tanpa mengalihkan fokus dari ratusan iblis yang menerjang ke arah mereka.“Baik, kalian berhati-hatilah.”Singgih Wirayudha menjejak tanah, melenting terbang seperti alap-alap.Ular neraka yang tak tertarik untuk ikut bertarung menyusul. Ia mendesis lalu melata dengan kecepatan luar biasa. Iblis yang mencoba menghentikannya terlempar tanpa ampun, seolah menabrak dinding atos.Hyang Sagara hanya bisa melirik kepergian sang ular dengan pasrah. Apa lagi yang bisa diharapkan dari ular sombong tersebut? Pada dasarnya mereka tidak memiliki hubungan apa-apa.Melihat Singgih Wirayudha hampir mencapai mulut gua, iblis berkepala kerbau sontak berbalik dan mengejar. Hyang Sagara tak tinggal diam,
Pedataran luas di dekat ngarai selatan kerajaan peri samudera tampak gegap gempita.Bendera kebesaran berkibar. Genderang dan tetabuhan pemicu adrenalin dipukul susul menyusul. Binatang-binatang padang meringkuk ketakutan dalam sarang, sebagian memilih untuk menjauh karena mencium aroma bahaya.Di langit, matahari tampak patuh. Tak menampakan diri dengan arogan seperti biasa, takut mengalami nasib seperti rerumputan yang semula indah bak karpet tebal raksasa berwarna zambrud, namun kini tergilas habis oleh telapak jutaan peri yang berbaris rapi dan saling berhadapan.Wajah mereka garang dan penuh gairah membunuh.Samudera Biru menarik napas. Rencananya untuk menunaikan perang telah tunai.Apakah ia sedih? Karena bagaimanapun mereka adalah saudaranya sendiri.Jawabannya adalah tidak.Sejak mereka mencelakai sang ibu tanpa ragu, maka hari ini akan datang cepat atau lambat, tidak tidak peduli siapa yang memulai terlebih dahulu. Samudera Biru hanya merasa sedikit miris karena di mata me
Perang formasi telah berlangsung selama berjam-jam. Masing-masing pihak saling mengincar, saling menerobos dan saling menghancurkan secara sistematis. Setelah matahari berada di atas kepala barulah perang menjadi pecah, berkembang menjadi pertarungan tanpa aturan yang sengit dan brutal.Sierra Sion yang sejak awal menargetkan Ellaria menyerang seperti angin ribut.Perbedaan jam terbang bertarung di antara keduanya terlihat begitu jelas.Sierra Sion adalah prajurit wanita yang kaya dengan pengalaman bertempur sementara Ellaria lebih kaya secara teori tetapi minim praktek nyata. Meski begitu kecerdasan Ellaria berhasil membuatnya bertahan meladeni keagresifan Sierra Sion.“Kenapa? Kau sudah kelelahan gadis picik?” ejek Sierra Sion sambil menebas dua prajurit singa bersayap emas yang mencoba membokongnya.“Hm ... Anda terlalu memandang rendah hamba, Yang Mulia,” jawab Ellaria tetap mempertahankan etiket kelas sosial di antara mereka. Hal tersebut justru membuat Sierra Sion menjadi sema
“Ck, satu lagi peri pengkhianat,” decak Sierra Sion pada peri gagah di depannya. Ia mengenali lelaki itu sebagai salah satu komandan pasukan singa bersayap emas yang juga merupakan tangan kanan Jenderal Agung Ellard.“Hamba hanya menjalankan titah, mohon Yang Mulia memaklumi.” komandan muda itu menjura.“Entah kau bodoh atau terlalu kaku. Menurutmu apa mungkin Jenderal Agung Ellard yang sangat patriotis bisa berbalik melawan kerajaan secara tiba-tiba? Apa kau tidak berpikir jika Ellaria menipu dan memanfaatkan kalian untuk kepentingan pribadinya?”Komandan muda itu menghela napas. Kalau boleh memilih ia juga tak ingin berperang melawan saudaranya sendiri apa lagi melawan Sierra Sion yang notabene adalah putri kerajaan yang sah. Namun apa daya, ia hanya seorang prajurit yang telah bersumpah setia pada siapa pun pemilik plakat singa bersayap emas. Mengenai intrik politik, ia tak mau terlibat.“Mengenai itu, hamba ....”“Ah sudahlah, aku malas berdebat dengan peri bebal. Cepat serang aku
Seperti tersihir Pangeran Agung Harold mengabaikan Samudera Biru. Melesat, meraup jasad Pangeran Aaron yang bergelimang darah.“Putraku! Sadarlah Nak! Kau tidak boleh begini!” serunya sambil mengguncang dan menepuk-nepuk tubuh Pangeran Aaron yang berlumuran darah.Samudera Biru menatap ayah anak itu dengan tatapan rumit. Mendengar ratapan Pangeran Agung Harold hatinya merasa sedikit tercubit, teringat diri sendiri yang pernah mengeluarkan ratapan serupa di atas jasad sang ibu. Angin pedataran melintas, memberi warna sendu pada mereka yang menyaksikan. Namun, perang tetaplah perang, kematian adalah sesuatu yang lumrah tak peduli seperti apa jalannya.Memanfaatkan kesedihan Pangeran Agung Harold para prajurit serigala milik Perdana Menteri Malvis menyerang. Mereka yang pada dasarnya telah kelelahan tak sabar untuk menaklukan pemimpin musuh dan mengakhiri perang secepat mungkin.Samudera Biru mencoba menghentikan namun kalah satu langkah. Para prajurit terlanjur menerjang dengan beringa
Pasukan besar Raja Sion tanpa banyak bicara menyebar dengan sistematis, menyerang pasukan pembelot yang tengah membantai dengan brutal.Kekuatan mereka tampak sebanding sehingga sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang pada ahirnya.“Ayahanda,” Samudera Biru mengangguk kecil pada Raja Sion yang telah berdiri di sampingnya.Samudera Biru tak menyangka jika Raja Sion akan turun ke medan perang. Sebelumnya ia menduga sang ayah tidak akan pernah mau berhadapan langsung dengan Pangeran Agung Harold mengingat hubungan saudara seayah di antara mereka.Raja Sion menepuk bahu Samudera Biru.“Kau sudah bekerja keras, putraku. Sekarang pergilah, selamatkan Renata. Jangan mengulang kesalahanku pada ibumu.”Samudera Biru tertegun, menatap sedikit tak percaya ke dalam mata Raja Sion. Bukan karena Raja Sion mengetahui masalah Renata tetapi karena dukungan tanpa ragu dalam kata-katanya. Raja Sion mengangguk tipis. “Ya, aku merestui kalian. Sekarang pergilah, bawalah pasukan rahasiamu. Serahkan