Pedataran luas di dekat ngarai selatan kerajaan peri samudera tampak gegap gempita.Bendera kebesaran berkibar. Genderang dan tetabuhan pemicu adrenalin dipukul susul menyusul. Binatang-binatang padang meringkuk ketakutan dalam sarang, sebagian memilih untuk menjauh karena mencium aroma bahaya.Di langit, matahari tampak patuh. Tak menampakan diri dengan arogan seperti biasa, takut mengalami nasib seperti rerumputan yang semula indah bak karpet tebal raksasa berwarna zambrud, namun kini tergilas habis oleh telapak jutaan peri yang berbaris rapi dan saling berhadapan.Wajah mereka garang dan penuh gairah membunuh.Samudera Biru menarik napas. Rencananya untuk menunaikan perang telah tunai.Apakah ia sedih? Karena bagaimanapun mereka adalah saudaranya sendiri.Jawabannya adalah tidak.Sejak mereka mencelakai sang ibu tanpa ragu, maka hari ini akan datang cepat atau lambat, tidak tidak peduli siapa yang memulai terlebih dahulu. Samudera Biru hanya merasa sedikit miris karena di mata me
Perang formasi telah berlangsung selama berjam-jam. Masing-masing pihak saling mengincar, saling menerobos dan saling menghancurkan secara sistematis. Setelah matahari berada di atas kepala barulah perang menjadi pecah, berkembang menjadi pertarungan tanpa aturan yang sengit dan brutal.Sierra Sion yang sejak awal menargetkan Ellaria menyerang seperti angin ribut.Perbedaan jam terbang bertarung di antara keduanya terlihat begitu jelas.Sierra Sion adalah prajurit wanita yang kaya dengan pengalaman bertempur sementara Ellaria lebih kaya secara teori tetapi minim praktek nyata. Meski begitu kecerdasan Ellaria berhasil membuatnya bertahan meladeni keagresifan Sierra Sion.“Kenapa? Kau sudah kelelahan gadis picik?” ejek Sierra Sion sambil menebas dua prajurit singa bersayap emas yang mencoba membokongnya.“Hm ... Anda terlalu memandang rendah hamba, Yang Mulia,” jawab Ellaria tetap mempertahankan etiket kelas sosial di antara mereka. Hal tersebut justru membuat Sierra Sion menjadi sema
“Ck, satu lagi peri pengkhianat,” decak Sierra Sion pada peri gagah di depannya. Ia mengenali lelaki itu sebagai salah satu komandan pasukan singa bersayap emas yang juga merupakan tangan kanan Jenderal Agung Ellard.“Hamba hanya menjalankan titah, mohon Yang Mulia memaklumi.” komandan muda itu menjura.“Entah kau bodoh atau terlalu kaku. Menurutmu apa mungkin Jenderal Agung Ellard yang sangat patriotis bisa berbalik melawan kerajaan secara tiba-tiba? Apa kau tidak berpikir jika Ellaria menipu dan memanfaatkan kalian untuk kepentingan pribadinya?”Komandan muda itu menghela napas. Kalau boleh memilih ia juga tak ingin berperang melawan saudaranya sendiri apa lagi melawan Sierra Sion yang notabene adalah putri kerajaan yang sah. Namun apa daya, ia hanya seorang prajurit yang telah bersumpah setia pada siapa pun pemilik plakat singa bersayap emas. Mengenai intrik politik, ia tak mau terlibat.“Mengenai itu, hamba ....”“Ah sudahlah, aku malas berdebat dengan peri bebal. Cepat serang aku
Seperti tersihir Pangeran Agung Harold mengabaikan Samudera Biru. Melesat, meraup jasad Pangeran Aaron yang bergelimang darah.“Putraku! Sadarlah Nak! Kau tidak boleh begini!” serunya sambil mengguncang dan menepuk-nepuk tubuh Pangeran Aaron yang berlumuran darah.Samudera Biru menatap ayah anak itu dengan tatapan rumit. Mendengar ratapan Pangeran Agung Harold hatinya merasa sedikit tercubit, teringat diri sendiri yang pernah mengeluarkan ratapan serupa di atas jasad sang ibu. Angin pedataran melintas, memberi warna sendu pada mereka yang menyaksikan. Namun, perang tetaplah perang, kematian adalah sesuatu yang lumrah tak peduli seperti apa jalannya.Memanfaatkan kesedihan Pangeran Agung Harold para prajurit serigala milik Perdana Menteri Malvis menyerang. Mereka yang pada dasarnya telah kelelahan tak sabar untuk menaklukan pemimpin musuh dan mengakhiri perang secepat mungkin.Samudera Biru mencoba menghentikan namun kalah satu langkah. Para prajurit terlanjur menerjang dengan beringa
Pasukan besar Raja Sion tanpa banyak bicara menyebar dengan sistematis, menyerang pasukan pembelot yang tengah membantai dengan brutal.Kekuatan mereka tampak sebanding sehingga sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang pada ahirnya.“Ayahanda,” Samudera Biru mengangguk kecil pada Raja Sion yang telah berdiri di sampingnya.Samudera Biru tak menyangka jika Raja Sion akan turun ke medan perang. Sebelumnya ia menduga sang ayah tidak akan pernah mau berhadapan langsung dengan Pangeran Agung Harold mengingat hubungan saudara seayah di antara mereka.Raja Sion menepuk bahu Samudera Biru.“Kau sudah bekerja keras, putraku. Sekarang pergilah, selamatkan Renata. Jangan mengulang kesalahanku pada ibumu.”Samudera Biru tertegun, menatap sedikit tak percaya ke dalam mata Raja Sion. Bukan karena Raja Sion mengetahui masalah Renata tetapi karena dukungan tanpa ragu dalam kata-katanya. Raja Sion mengangguk tipis. “Ya, aku merestui kalian. Sekarang pergilah, bawalah pasukan rahasiamu. Serahkan
Padang Bulan Nirwana, sesuai namanya merupakan sebuah padang luas indah yang terletak di atas bukit berbentuk bundar seperti purnama empat belas hari. Gugusan rumput, bunga serta batu alam warna-warni tersusun begitu rapi dan presisi seolah sengaja dirawat oleh tangan-tangan tak terlihat.Tujuh pilar tinggi terbuat dari giok merah sejernih kaca berdiri melingkari sebuah altar dengan meja giok besar berwarna transparan, berbentuk bundar, dengan cahaya samar-samar di bagian dalamnya.Dari tempat ini bulan di atas langit entah bagaimana terlihat lebih dekat dan jelas, seolah bisa dijangkau hanya dengan memakai tangan kosong. Secara keseluruhan Padang Bulan Nirwana seperti taman tempat bermain dewa dewi.Puluhan sosok berjubah putih tampak berdiri khidmat mengitari altar. Wajah mereka menawan dengan sentuhan pucat yang terlihat misterius. Sekilas terlihat seperti pendeta-pendeta kuno yang tengah melakukan ritual suci. Sayangnya bukan, mereka tak lain para iblis bangsawan berposisi ting
Kelima sosok di luar dinding pelindung menyerbu. Melesatkan pukulan jarak jauh secara acak dengan tujuan mengacaukan ritual.Namun usaha mereka dihentikan oleh Jenderal Maracas, Jenderal Banyusetra, Panglima Kuning serta ribuan pasukan pembelot yang muncul entah dari mana.Yang lebih mengejutkan Shiny dan Leon yang tak berhasil ditemukan di goa hutan bangkai kini berdiri di antara mereka. Wajah keduanya tampak kaku dengan tatapan kosong.Jelas sekali berada di bawah jurus pengendali.Singgih Wirayudha yang sejak awal kehilangan kesabaran maju selangkah. Meruarkan aura intimidasi disertai tatapan menggidikkan.“Menyingkirlah kalian semua!!!” bentaknya menggelegar.Padang Bulan Nirwana bergetar sesaat. Terguncang oleh energi internal yang dilepas Singgih Wirayudha.Prajurit musuh mengerang tertahan, gendang telinga mereka terasa seperti ditusuk-tusuk oleh jarum tak terlihat.“Emosimu masih sama seperti dulu, temanku.” Panglima Kuning membuka suara, menyertakan energi internal serupa un
Irama perkelahian berpadu dengan rapalan para bangsawan iblis mengubah suasana Padang Bulan Nirwana menjadi semarak sekaligus mengerikan.Singgih Wirayudha telah bergerak layaknya induk harimau terluka. Ia menyerang Panglima Kuning yang terus berusaha menghalanginya mendekati Renata. Liar dan berbahaya, jauh dari kesan tenang yang selalu melekat erat pada dirinya.“Menyingkirlah Kuning! Aku tak punya waktu untuk bermain denganmu!” bentak Singgih Wirayudha dengan lengan dipenuhi sinar biru berelemen listrik.“Sayangnya aku sedang punya banyak waktu!” jawab Panglima Kuning yang juga telah menyiapkan pukulan berwarna kuning pekat dengan hawa panas membakar. Singgih Wirayudha menggeram. Ia melesat, menyerang dengan sangat cepat. Tekanan energi dari kemarahannya membuat para bangsawan iblis nyaris kehilangan konsentrasi. Mengakibatkan cahaya di ketujuh pilar berfluktuasi untuk sesaat.Mata cantik Cyrila mengamati hal tersebut dengan cermat. Sebagai manusia yang pernah menjadi bagian dari