Bersamaan dengan ketujuh cahaya pilar yang menghilang pemindahan energi jiwa lotus juga terhenti total. Tubuh Renata jatuh seperti daun gugur.Beberapa sosok melesat secara bersamaan, mencoba menyelamatkan sang gadis dari membentur bebatuan.Singgih Wirayudha yang melesat paling cepat berhasil meraih tubuh Renata dan membawanya turun dengan selamat. Di belakangnya Panglima Kuning menggertakkan gigi karena kalah cepat. Dengan geram ia menyerang Singgih Wirayudha, berusaha merebut Renata tetapi empat pemimpin bangsawan penjaga gerbang lotus menghadangnya.Panglima Kuning mendengus, kini ia dikepung dari empat sisi. Meski kesaktian Panglima Kuning lebih unggul tetap saja tak bisa menyingkirkan mereka semua dengan mudah.Singgih Wirayudha menatap Renata yang terbaring lemah. Wajah gadis itu sepucat mayat, suhu tubuhnya sedingin es.Dengan cemas Singgih Wirayudha memeriksa tanda-tanda vital Renata. Sedikit lega saat menemukan detak jantung yang teramat lemah dan lambat. “Renata, bertahan
Lintang Timoer menengadah, menatap Ramangga Kala yang telah menyelesaikan isapan.Hati Lintang Timoer tercabik menyaksikan bagaimana kepala Renata terkulai dengan wajah menghadap ke arahnya.Pandangan keduanya terkunci.Air mata bergulir dari kedua mata Renata. Lintang Timoer menggeleng. Mengisyaratkan agar gadis itu tidak menangis. Bibir Renata bergerak, berusaha menyampaikan sesuatu namun pada akhirnya gelap lebih dulu menjemput.Semua terjadi terlalu cepat hingga Lintang Timoer hanya bisa terdiam putus asa, menertawakan nasib yang seolah membencinya.“Srettt!” Ramangga Kala menarik kuku.Tubuh Lintang Timoer jatuh ke atas tanah berbatu.Darah memancar, mengalir seperti sungai kecil.“Tidakkk!!! Kenzio meraung. Merangkak, menyeret tubuh sekuat tenaga, mendekati Lintang Timoer yang sekarat.“Ka ... Kakak, tidak, kau tidak boleh mati tanpa seizinku,” Kenzio meratap dengan terbata. Pemuda polos itu terus bergerak sampai berhasil meraup Lintang Timoer ke dalam pelukan dengan susah pay
Ratusan ribu pegasus memenuhi langit Padang Bulan Nirwana. Penunggangnya tak lain pasukan rahasia Samudera Biru yang dipimpin oleh Rama dan Ratansa.Mereka berbaris rapi dengan aura mengagumkan dan sarat dominasi.Di bawah komando Rama selapis pasukan paling depan tiba-tiba menukik rendah, menyerang pasukan iblis berwajah burung gagak yang tengah mengepung Para Bangsawan Penjaga Gerbang Lotus.Gerakan mereka sangat cepat dan efisien membuat lawan terkesiap dan tak memiliki kesempatan untuk mengantisipasi.Dalam waktu singkat pasukan iblis berwajah gagak telah dibuat hancur, tercerai berai kehilangan kendali.Para Bangsawan Penjaga Gerbang Lotus yang sebelumnya pasrah pada garis nasib seketika bersorak sorai. Merasa senang sekaligus lega. Senang karena kembali memiliki harapan, lega karena ternyata mereka tak berjuang sendiri. Di lain sisi, berkompi-kompi pasukan iblis dasar kegelapan yang berbaris rapi di belakang menggeram. Di bawah komando jenderal masing-masing mereka melesat, te
Ramangga Kala menatap wujud baru Samudera Biru. Ia menyeringai, merasa antusias, anak itu melebihi ekspektasinya.“Cukup mengagumkan, Nak. Sayang sekali kau bukan keturunanku,” ucap Ramangga Kala ketika mereka bersitatap.Samudera Biru balas menyeringai, sedikit memiringkan kepala, anting panjangnya bergoyang, terlihat nakal dan malas. "Sudah puas basa-basi? Kalau sudah, bersiaplah."Samudera Biru tiba-tiba menghilang, sedetik kemudian telah berada ke belakang Ramangga Kala dengan pedang menempel ketat di lehernya.Gerakan Samudera Biru yang terlalu cepat membuat Ramangga Kala terkesiap, sedikit terlambat untuk menghindar.“Srettt!!”Sayatan benda tajam pada kulit dan daging terdengar.Darah menetes dari leher yang terkoyak lebar.Ramangga Kala tertegun. Alih-alih mengkhawatirkan lehernya ia malah menyentuh jubah yang ternoda darah dengan jijik.“Kau mulai membuatku kesal,” desis Ramangga Kala sambil beralih menyentuh leher yang rusak. Ia menyapu ringan dan luka mengerikan itu segera
“Kemarilah sayang, biarkan aku memelukmu,” Jenderal Maracas tersenyum pada Hyang Sagara yang hampir tiba. Lidahnya membasahi bibir berulang kali.Jemari Hyang Sagara menyambut jemari Jenderal Maracas. Senyum kerinduan rekah di wajah tampannya yang patuh, membuat sang jenderal semakin terbakar oleh keinginan. “Kau sangat tampan, sayangku,” puji Jenderal Maracas sambil menarik lembut Hyang Sagara ke dalam pelukan.Aroma maskulin dan harum yang khas seketika memenuhi indera penciuman Jenderal Maracas, membuat mabuk kepayang. Ia harus mengakui di antara budaknya, aroma Hyang Sagara adalah yang terbaik. Karenanya ia menenggelamkan kepala lebih dalam, menghirup dengan rakus.“Sayang, kau sangat harum.” Jenderal Maracas membelai otot dada Hyang Sagara.Sudut bibir Hyang Sagara terangkat.“Benarkah? Kalau begitu, nikmatilah selagi kau bisa, Jenderal.” Jenderal Maracas awalnya senang mendengar ucapan Hyang Sagara. Tetapi setelah menyadari ada yang berbeda dengan dengan intonasinya ia pun m
Waktu terus bergulir. Padang Bulan Nirwana telah berubah menjadi padang darah dengan aroma kematian menyengat. Kekuatan kedua belah pihak seimbang. Belum terlihat siapa yang akan menjadi pemenang.Samudera Biru dan Ramangga Kala yang menempati rantai puncak peperangan masih terus berjibaku. Tak hanya sekedar mengadu kekuatan tetapi juga mengadu strategi dan kecerdikan.Duplikat mereka telah lama menghilang, menyisakan tubuh asli masing-masing yang cerah dan menakjubkan.“Aku meremehkanmu, Nak.” Ramangga Kala menyeka sudut bibirnya yang berdarah akibat bentrokan hebat yang kesekian kali.Samudera Biru hanya menyeringai malas lantas menembak Ramangga Kala dengan selusin pedang cahaya yang keluar dari jari-jarinya.Ramangga Kala mengangkat tongkat, satu gelombang hitam keluar, menyapu seluruh pedang. Tak sampai di sana, ia juga menyisipkan pedang-pedang hitam legam sebagai balasan.Samudera Biru tak bergerak, menatap penuh cemooh pada pedang-pedang hitam yang datang seperti hujan. De
“Renata ... Renata ... Renata.”Alis Renata mengernyit. Panggilan itu seperti magnet yang menyentak kesadaran.Kelopak mata Renata terangkat perlahan. Temaram menyapanya bersama rasa sakit yang tajam.“Nghh ...” Renata merintih kecil. Sensasi hampa saat jiwanya diseret ke dalam kegelapan tak berujung masih tersisa. Sangat menakutkan. Seperti mimpi buruk yang teramat panjang dan melelahkan. Renata menyangga tubuh dengan susah payah, duduk dan menatap ke sekeliling. Alisnya kembali berkerut. Dengan jarak pandang terbatas, tempat itu tampak seperti lautan kabut tanpa tepi. Sangat misterius, dingin dan senyap.“Apa ini alam baka?” Renata menerka skeptis. Jarinya meraba batu pipih di mana dia berada. Terasa halus dan sangat hangat. Pantas saja ia tak menggigil dalam tekanan suhu yang begitu rendah.Renata Kembali menatap berkeliling. Mencoba melihat lebih jauh tetapi tak menemukan apa-apa selain hamparan kabut.Renata menghela napas. Menyusun ingatan terakhirnya di Padang Bulan Nirwana y
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan