Livia mengangguk dan memperhatikan Ella mengetuk pintu dan masuk ruangan Alan. Tapi di dalam sana sudah ada Adi dan Pras.Baru kali ini Livia melihat wajah kecewa dari perempuan yang paling dicemburuinya. Kalau begitu selama ia tidak ke kantor, Ella merasa bebas mendekati Alan. Hmm ....Mendadak Livia merasa jengkel. Meski semalaman Alan telah menumpahkan segala rasanya, tapi Livia tetap terpengaruh dengan tingkah perempuan tadi. Ia percaya suaminya tidak akan tergoda, tapi bagaimana dengan Ella.Alan baginya adalah sosok yang melecutkan pijar semangat dikala Livia terpuruk. Lelaki yang menjadikannya dewi atau bahkan bidadari. Pria yang telah menyimpan rapi cintanya selama bertahun-tahun. Jadi tidak mungkin Alan akan berpaling dan mengkhianati.Livia memegangi perutnya yang mengencang. Kemudian masuk dan kembali duduk di ruangannya. Mengusap-usap lembut bayi yang bergerak di dalam sana. Mendekati hari H perutnya memang kerap kali terasa nyeri dan tegang di bagian bawah.***L***"Kondi
Sebagai seorang psikiater yang banyak berinteraksi dengan pasien-pasien bermasalah dalam kejiwaannya, Dokter Pasha masih melihat luka dalam kegelisahan Bre. "Untungnya saya nggak gila. Saya benar-benar kehilangan Livia.""Semoga saja akan terobati luka Mas Bre dengan kehadiran insan baru."Bre tersenyum samar. "Hati saya sudah mati, Dok. Pernikahan sudah tidak ada dalam pemikiran saya. Sekarang saya fokus untuk mempertahankan dan memulihkan kondisi perusahaan, juga turut membiayai dua keponakan saya dan fokus untuk kesembuhan mama.""Lakukan dengan seimbang, Mas Bre. Anda, juga butuh menata masa depan.""Entahlah, sama sekali saya tidak bisa melupakan Livia. Kalau dokter ada resep obat untuk melupakan mantan. Tolong rekomendasikan ke saya."Mendengar ucapan Bre, dokter berkemeja abu-abu itu tertawa. "Bisa saja Mas Bre ini. Kalau pun ada, saya sudah meminumnya lebih dulu.""Oh, dokter pun belum bisa move on, nih. Dari siapa? Dari mantan yang dulu atau dari Livia?" Bre bertanya dengan
RAHASIA TIGA HATI - Hari yang Indah Tujuh jam terlewati. Alan kian cemas karena bayinya belum juga lahir. "Sabar, Pak Alan. Proses persalinan normal memang menguras waktu, apalagi ini persalinan pertama. Jarak dari pembukaan pertama hingga dilatasi penuh dan melahirkan butuh waktu 8-12 jam untuk persalinan pertama kali, bahkan bisa lebih dari itu. Kondisi Bu Livia dan posisi babynya sangat baik. Jadi tidak dibutuhkan tindakan lain. Serviks perlu membuka hingga bukaan 10 cm supaya bayi bisa lahir." Sejam yang lalu Dokter memberikan pengertian pada Alan.Namun tidak mengurangi kekhawatirannnya. Terlebih Livia hanya diam saja. Kalau capek berbaring, ia minta turun dan mondar-mandir di ruangan. Jika kontraksi datang, ia akan diam sambil menyangga perutnya."Kenapa kamu diam saja, hmmm ...." Alan mencium kening istrinya yang basah berkeringat. Livia menyandarkan kepala di dada Alan sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, merasakan kontraksi yang kembali datang.Melihat kepanikan Alan,
Baru kali ini dia melihat putranya kebingungan dan cemas. Karena Alan selalu terbiasa menghadapi apapun dengan tenang. Namun sekarang terlihat rapuh dan tidak tahu harus berbuat apa. Selain memeluk, mengusap perut, dan menciumi wajah Livia yang bersimbah keringat.Dokter tadi sudah menjelaskan lagi bahwa Livia bisa menjalani persalinan normal dan tidak ada kendala yang membuatnya harus diambil tindakan Cesar."Jangan khawatir, Pak Alan. Istri Anda loh tenang dan baik-baik saja," ujar dokter ketika Alan protes. Iya, dokter bisa bilang seperti itu karena melihat Livia diam. Tapi mana tahu apa yang dirasakan Alan. Andai bisa, ia ingin memindahkan rasa sakit itu pada dirinya.Bidan yang bertugas masuk melakukan pemeriksaan setelah dipanggil oleh seorang perawat. Karena kontraksi yang dialami Livia makin rapat. Tidak lama kemudian dokter dan seorang perawat datang."Sudah bukaan sembilan, Dok." Bidan memberitahu dokter.Hitungan menit para medis sibuk mempersiapkan untuk menyambut kelahir
"Yuk, kita nemui nenek dulu di kamarnya," ajak Ferry. Leo dan Lena berlari menuju kamar Bu Rika.Wanita itu sangat bahagia jika kedua cucunya datang. Sedangkan Ferry keluar lagi saat mendengar ponselnya di ruang keluarga berdering. Agatha yang menelpon."Halo.""Mas, Mbak Irma masuk rumah sakit sejam yang lalu. Dia mengalami pendarahan." Agatha memberitahu."Kenapa memberitahuku," jawab Ferry datar. "Karena bolak-balik dia menanyakanmu. Dia bilang mau bu*nuh diri kalau Mas Ferry nggak mau datang."Ferry menghela nafas panjang. Masih ruwet saja urusannya dengan Irma dan keluarganya. Ancaman demi ancaman menjadi teror setiap hari. Hidupnya mana bisa tenang. Mereka menginginkan Ferry menikahi Irma untuk menutupi kehamilannya. Apalagi keluarga tahu kalau sekarang ini Irma tengah menderita sakit."Sudah kubilang sejak awal. Aku akan bertanggung jawab jika terbukti anak yang dikandungnya itu darah dagingku. Ingat juga, jangan sampai memanipulasi tes DNA-nya nanti." Selesai bicara, Ferry la
RAHASIA TIGA HATI - Jatuh Cinta Bre menunduk dengan kedua siku tangan bertumpu pada pahanya. Ferry yang berbaring di sebelahnya baru saja cerita kronologi dirinya dikeroyok sejumlah preman saat dalam perjalanan menemui seorang rekan bisnis."Apa kemungkinan ini suruhan orang yang sama saat Mas ditolong Alan malam itu?" tanya Bre."Iya. Sepertinya ini suruhan Pak Rian, papanya Irma. Tapi pasti ada andil dari Pak Wawan juga," jawab Ferry sambil mendesis karena menahan sakit dari rahangnya yang memar dan sudut bibirnya yang pecah. Tangan kirinya juga di gips karena sedikit retak.Bre menghela nafas panjang. Berbagai peristiwa bertubi-tubi menghantam keluarganya. Apa ini karma?"Itu ujian buat kalian, Bre. Jangan bilang tentang karma," kata Bu Ita di telepon tempo hari. Ucapan yang hanya untuk menenangkannya saja.Luka-luka dan lebam di tubuh kakaknya lumayan parah. Ferry seorang diri dan tidak bisa bela diri, jangankan melawan tiga orang, melawan satu orang saja dia tidak akan mampu.
"Maafmu nggak bisa mengembalikan Livia padaku, Mas," keluh Bre sambil menunduk. Ferry merasakan hatinya tertusuk penyesalan. Mereka sama-sama merasakan kehilangan wanita terbaik dalam hidupnya. Ferry merasa sangat bersalah. Tapi tidak tahu bagaimana ia menebus kesalahannya di masa lalu. Mengembalikan Livia pada Bre jelas tidak mungkin. Mustahil sekali. Apa dia mau mati di tangan Alan jika mengusik Livia."Kalau mereka macem-macem lagi, laporkan saja ke polisi, Mas. Kita nggak bisa diam saja sedangkan nyawa terancam.""Aib akan terbongkar kalau aku lapor polisi dan media akan tahu. Ini memalukan, Bre.""Syukurlah kalau sekarang Mas paham apa itu malu. Kenapa nggak dari dulu saja kamu berpikir begini, Mas."Ferry bungkam dan tidak berani menatap wajah sang adik."Dengan cara apa kalian dulu menghancurkan bisnis Pak Rosyam sampai aku pun tidak tahu dan tak menyadarinya ketika kalian bertindak?" Bre mengambil kesempatan untuk bertanya pada sang kakak. Mendengar pertanyaan serius itu Ferry
"Maaf, Ella nggak bisa ikut karena lagi demam," ujar Bu Robert saat menyalami Livia."Nggak apa-apa, Bu. Makasih banyak atas kedatangannya." Livia yang memakai gamis brokat warna putih dan jilbab warna sama, membalas pelukan Bu Robert."Mau fokus dulu pada anak atau langsung ngantor, Liv?" tanya Kenny menghampiri Livia lagi sambil membawa piring berisi kue."Aku cuti sampai nifas selesai, Mbak. Alvi sudah mau minum pakai dot. Cuman tetap minum ASI yang ku-pumping. Kalau sudah pulang ke rumah, aku nenenin langsung.""Harus rajin-rajin pumping. 3-4 jam sekali selama lima belas menitan. Lakukan pumping secara bergantian, jangan bebarengan biar ASI yang didapat lebih banyak.""Mbak Kenny, dulu juga gitu?""Iya. Agak ribet, Liv. Tapi enaknya kamu kan kerja di perusahaan sendiri. Susahnya itu kalau kerja ikut orang.""Aku tetap profesional, Mbak. Makanya aku ngambil cuti pun sama seperti cuti bersalin karyawan pada umumnya. Oh ya, kalau ada acara bahagia, jangan lupa undang kami, ya."Dahi