Baru kali ini dia melihat putranya kebingungan dan cemas. Karena Alan selalu terbiasa menghadapi apapun dengan tenang. Namun sekarang terlihat rapuh dan tidak tahu harus berbuat apa. Selain memeluk, mengusap perut, dan menciumi wajah Livia yang bersimbah keringat.Dokter tadi sudah menjelaskan lagi bahwa Livia bisa menjalani persalinan normal dan tidak ada kendala yang membuatnya harus diambil tindakan Cesar."Jangan khawatir, Pak Alan. Istri Anda loh tenang dan baik-baik saja," ujar dokter ketika Alan protes. Iya, dokter bisa bilang seperti itu karena melihat Livia diam. Tapi mana tahu apa yang dirasakan Alan. Andai bisa, ia ingin memindahkan rasa sakit itu pada dirinya.Bidan yang bertugas masuk melakukan pemeriksaan setelah dipanggil oleh seorang perawat. Karena kontraksi yang dialami Livia makin rapat. Tidak lama kemudian dokter dan seorang perawat datang."Sudah bukaan sembilan, Dok." Bidan memberitahu dokter.Hitungan menit para medis sibuk mempersiapkan untuk menyambut kelahir
"Yuk, kita nemui nenek dulu di kamarnya," ajak Ferry. Leo dan Lena berlari menuju kamar Bu Rika.Wanita itu sangat bahagia jika kedua cucunya datang. Sedangkan Ferry keluar lagi saat mendengar ponselnya di ruang keluarga berdering. Agatha yang menelpon."Halo.""Mas, Mbak Irma masuk rumah sakit sejam yang lalu. Dia mengalami pendarahan." Agatha memberitahu."Kenapa memberitahuku," jawab Ferry datar. "Karena bolak-balik dia menanyakanmu. Dia bilang mau bu*nuh diri kalau Mas Ferry nggak mau datang."Ferry menghela nafas panjang. Masih ruwet saja urusannya dengan Irma dan keluarganya. Ancaman demi ancaman menjadi teror setiap hari. Hidupnya mana bisa tenang. Mereka menginginkan Ferry menikahi Irma untuk menutupi kehamilannya. Apalagi keluarga tahu kalau sekarang ini Irma tengah menderita sakit."Sudah kubilang sejak awal. Aku akan bertanggung jawab jika terbukti anak yang dikandungnya itu darah dagingku. Ingat juga, jangan sampai memanipulasi tes DNA-nya nanti." Selesai bicara, Ferry la
RAHASIA TIGA HATI - Jatuh Cinta Bre menunduk dengan kedua siku tangan bertumpu pada pahanya. Ferry yang berbaring di sebelahnya baru saja cerita kronologi dirinya dikeroyok sejumlah preman saat dalam perjalanan menemui seorang rekan bisnis."Apa kemungkinan ini suruhan orang yang sama saat Mas ditolong Alan malam itu?" tanya Bre."Iya. Sepertinya ini suruhan Pak Rian, papanya Irma. Tapi pasti ada andil dari Pak Wawan juga," jawab Ferry sambil mendesis karena menahan sakit dari rahangnya yang memar dan sudut bibirnya yang pecah. Tangan kirinya juga di gips karena sedikit retak.Bre menghela nafas panjang. Berbagai peristiwa bertubi-tubi menghantam keluarganya. Apa ini karma?"Itu ujian buat kalian, Bre. Jangan bilang tentang karma," kata Bu Ita di telepon tempo hari. Ucapan yang hanya untuk menenangkannya saja.Luka-luka dan lebam di tubuh kakaknya lumayan parah. Ferry seorang diri dan tidak bisa bela diri, jangankan melawan tiga orang, melawan satu orang saja dia tidak akan mampu.
"Maafmu nggak bisa mengembalikan Livia padaku, Mas," keluh Bre sambil menunduk. Ferry merasakan hatinya tertusuk penyesalan. Mereka sama-sama merasakan kehilangan wanita terbaik dalam hidupnya. Ferry merasa sangat bersalah. Tapi tidak tahu bagaimana ia menebus kesalahannya di masa lalu. Mengembalikan Livia pada Bre jelas tidak mungkin. Mustahil sekali. Apa dia mau mati di tangan Alan jika mengusik Livia."Kalau mereka macem-macem lagi, laporkan saja ke polisi, Mas. Kita nggak bisa diam saja sedangkan nyawa terancam.""Aib akan terbongkar kalau aku lapor polisi dan media akan tahu. Ini memalukan, Bre.""Syukurlah kalau sekarang Mas paham apa itu malu. Kenapa nggak dari dulu saja kamu berpikir begini, Mas."Ferry bungkam dan tidak berani menatap wajah sang adik."Dengan cara apa kalian dulu menghancurkan bisnis Pak Rosyam sampai aku pun tidak tahu dan tak menyadarinya ketika kalian bertindak?" Bre mengambil kesempatan untuk bertanya pada sang kakak. Mendengar pertanyaan serius itu Ferry
"Maaf, Ella nggak bisa ikut karena lagi demam," ujar Bu Robert saat menyalami Livia."Nggak apa-apa, Bu. Makasih banyak atas kedatangannya." Livia yang memakai gamis brokat warna putih dan jilbab warna sama, membalas pelukan Bu Robert."Mau fokus dulu pada anak atau langsung ngantor, Liv?" tanya Kenny menghampiri Livia lagi sambil membawa piring berisi kue."Aku cuti sampai nifas selesai, Mbak. Alvi sudah mau minum pakai dot. Cuman tetap minum ASI yang ku-pumping. Kalau sudah pulang ke rumah, aku nenenin langsung.""Harus rajin-rajin pumping. 3-4 jam sekali selama lima belas menitan. Lakukan pumping secara bergantian, jangan bebarengan biar ASI yang didapat lebih banyak.""Mbak Kenny, dulu juga gitu?""Iya. Agak ribet, Liv. Tapi enaknya kamu kan kerja di perusahaan sendiri. Susahnya itu kalau kerja ikut orang.""Aku tetap profesional, Mbak. Makanya aku ngambil cuti pun sama seperti cuti bersalin karyawan pada umumnya. Oh ya, kalau ada acara bahagia, jangan lupa undang kami, ya."Dahi
RAHASIA TIGA HATI - Maaf"Papa, kenapa sampai luka-luka seperti ini?" tanya Lena yang duduk tepat di samping Ferry sambil memperhatikan dan menyentuh rahang papanya yang membiru."O, papa habis jatuh, Sayang.""Jatuh di mana kok sampe seperti ini?" Lena memang sangat dekat dengan Ferry. Selalu memperhatikan, apalagi jika Ferry pulang malam pasti akan diserbu dengan banyak pertanyaan. Dan ini momen yang paling dirindukan oleh Ferry setelah mereka berpisah tempat tinggal."Di jalan.""Pasti ini sakit." Lena menyentuh tangan Ferry yang dibalut gips."Iya. Doain papa lekas sembuh, ya."Lena mengangguk. Ferry beralih memandang Leo yang sejak tadi hanya diam saja duduk di kursi sebelah Bre. Si sulung yang selama ini juga dekat dengannya, semenjak memergoki mamanya di tampar Ferry, dia jadi pendiam kalau bertemu papanya. Malah sekarang lebih akrab dengan Bre."Leo," panggil Ferry.Bocah lelaki itu turun dari kursi lantas mendekat. Ferry mengusap kepala putranya. "Doain papa lekas sembuh, ya
Langit berwarna tembaga saat mobil Bre berhenti di halaman sebuah apartemen. Info yang ia dapatkan, Irma masih tinggal di apartemen ditemani kakak perempuannya. Ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan wanita yang membuat permasalahan keluarganya makin mengular.Bre turun dari mobil dan melangkah menuju lift. Kapsul besi membawanya naik ke lantai lima. Diketuknya rumah nomer 5-B2.Beberapa saat menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketika hendak pergi, pintu di buka dari dalam. Seorang wanita dewasa muncul dan kaget ketika melihatnya."Ada apa?" tanya perempuan itu dengan nada dingin."Aku ingin bertemu Irma.""Dia nggak ingin bertemu siapapun sekarang ini kecuali kakakmu. Sebaiknya kamu suruh Ferry yang datang ke sini.""Boleh aku masuk? Aku nggak akan lama." Bre tidak menggubris perkataan wanita di ambang pintu."Siapa, Mbak?" terdengar suara lemah dari dalam."Bre."Tidak lama muncul seseorang yang bertubuh kurus. Hampir saja Bre tidak mengenalinya. Sungguh jauh berbeda den
Dalam bisnis properti jelas Pak Rosyam yang berperan penting. Meski memulai lagi dari nol. Namun tidak khawatir karena ada anak dan menantu yang mendukungnya secara maksimal. Tapi tetap Alan yang berperan di depan."Pak Ryan masih memberikan kesempatan pada Pak Alan untuk kembali memikirkan penawaran kami." Lelaki itu menunjukkan pesan yang dikirim oleh bosnya."Keputusan saya sudah final, Pak Budi." Lelaki itu manggut-manggut kemudian pamitan. Meninggalkan Alan di meja makan sebuah restoran. Kecewa, harapannya naik jabatan sudah pupus.Di sudut yang lain, ternyata Bre sedang memperhatikan pertemuan mereka. Jadi mereka bekerjasama sekarang. Apa Alan tidak tahu kalau perusahaan keluarga Agatha yang menghancurkan bisnis Pak Rosyam. Bre bangkit dari duduknya dan menghampiri Alan. "Boleh aku duduk di sini!"Alan memandang Bre beberapa saat. "Silakan!""Mau minum apa?" tanya Alan. Seolah di antara mereka tidak pernah terjadi perselisihan."Aku sudah pesan makanan untuk kubawa pulang."H