Langit berwarna tembaga saat mobil Bre berhenti di halaman sebuah apartemen. Info yang ia dapatkan, Irma masih tinggal di apartemen ditemani kakak perempuannya. Ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan wanita yang membuat permasalahan keluarganya makin mengular.Bre turun dari mobil dan melangkah menuju lift. Kapsul besi membawanya naik ke lantai lima. Diketuknya rumah nomer 5-B2.Beberapa saat menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketika hendak pergi, pintu di buka dari dalam. Seorang wanita dewasa muncul dan kaget ketika melihatnya."Ada apa?" tanya perempuan itu dengan nada dingin."Aku ingin bertemu Irma.""Dia nggak ingin bertemu siapapun sekarang ini kecuali kakakmu. Sebaiknya kamu suruh Ferry yang datang ke sini.""Boleh aku masuk? Aku nggak akan lama." Bre tidak menggubris perkataan wanita di ambang pintu."Siapa, Mbak?" terdengar suara lemah dari dalam."Bre."Tidak lama muncul seseorang yang bertubuh kurus. Hampir saja Bre tidak mengenalinya. Sungguh jauh berbeda den
Dalam bisnis properti jelas Pak Rosyam yang berperan penting. Meski memulai lagi dari nol. Namun tidak khawatir karena ada anak dan menantu yang mendukungnya secara maksimal. Tapi tetap Alan yang berperan di depan."Pak Ryan masih memberikan kesempatan pada Pak Alan untuk kembali memikirkan penawaran kami." Lelaki itu menunjukkan pesan yang dikirim oleh bosnya."Keputusan saya sudah final, Pak Budi." Lelaki itu manggut-manggut kemudian pamitan. Meninggalkan Alan di meja makan sebuah restoran. Kecewa, harapannya naik jabatan sudah pupus.Di sudut yang lain, ternyata Bre sedang memperhatikan pertemuan mereka. Jadi mereka bekerjasama sekarang. Apa Alan tidak tahu kalau perusahaan keluarga Agatha yang menghancurkan bisnis Pak Rosyam. Bre bangkit dari duduknya dan menghampiri Alan. "Boleh aku duduk di sini!"Alan memandang Bre beberapa saat. "Silakan!""Mau minum apa?" tanya Alan. Seolah di antara mereka tidak pernah terjadi perselisihan."Aku sudah pesan makanan untuk kubawa pulang."H
RAHASIA TIGA HATI - Penyesalan "Bre." Perempuan itu tersenyum dan menghampiri. Tidak menyangka akan bertemu Bre di sana. Entah sudah berapa tahun mereka tidak bersua semenjak lulus SMA. "Apa kabar, Div. Surprise banget ketemu kamu di sini." Bre tersenyum seraya menyalami Diva. "Kabar baik. Fatih, ayo salim sama Om Bre." Diva menyuruh bocah umur dua tahun yang digendongnya untuk bersalaman dengan Bre. "Hai, ganteng. Siapa namamu?" Bre tersenyum pada pria kecil yang menatapnya heran. "Alfatih, Om." Diva yang menjawab. "Om ini temannya mama, Fatih." Diva menjelaskan pada putranya yang belum begitu mengerti. "Kalian hanya berdua saja. Mana suamimu?" "Kalau jam segini Mas Sam masih di klinik, Bre." "Oh." "Bentar ya, aku pesen makanan dulu." Sambil menggendong anaknya Diva pergi ke kasir. Bre memperhatikan wanita itu. Wanita yang diam-diam pernah menyukainya. Namun saat itu Bre hanya menganggapnya teman biasa. Diva menjauh saat Bre dekat dengan Agatha. Padahal antar
"Mas Sam di klinik sampai jam sembilan nanti. Dia bukan tipe lelaki yang cemburuan. Kami sama-sama tahu kalau memiliki aktivitas yang berhubungan dengan banyak orang. Klien, teman, pasien. Jadi saling memahami." "Hebat." "Sebenarnya semua pasangan bisa melakukannya." "Ya." Diva menatap Bre. Apa ini salah satu permasalahan sehingga Bre dua kali bercerai? "Kamu kerja atau full time jadi housewife?" "Sudah setahun ini aku kembali kerja di perusahaan Papa Rey, setelah suamiku ngasih izin. Anakku dijaga baby sitter." Keduanya berbincang mengilas balik zaman sekolah. Sejenak Bre terhibur oleh kenangan masa lalu. Bre tahu banyak tentang kisah hidup Diva. Ibu kandungnya meninggal setelah bercerai dari papanya. Beberapa tahun kemudian papanya juga meninggal dunia dan Diva tinggal sama istri barunya. Untung Diva memiliki ibu tiri yang baik. Pesanan Bre di antar lebih dulu. "Div, maaf aku pamit dulu, ya. Lain kali kita bisa ketemuan lagi. Pengen juga bertemu suamimu." "Oke, Br
Livia termangu. Ia sudah tahu hal itu. Namun jika diungkap lagi, hatinya masih tetap perih. Yang belum diketahui secara gamblang olehnya, adalah kisah percintaan antara orang tuanya dan orang tua Bre yang berujung dendam tak berkesudahan. "Tapi kenapa Mas Alan masih bertahan kerjasama dengan Pak Robert?" Livia menatap lekat suaminya. "Hmmm, kenapa? Kan Mas sudah bisa menduga Pak Robert seperti apa. Karena ada Mbak Ella, ya?" "Livi, bukan begitu. Kamu masih ingat kan, dia orang yang pertama kali ngajak kerjasama disaat AFBC baru berdiri. Selagi dia nggak curang dan menikam dari belakang. Mas nggak punya alasan untuk mundur. Nanti kalau ada bukti, Mas akan bertindak. Mas sama Adi tetap berhati-hati, kamu jangan khawatir. Perjanjian kami memiliki kekuatan hukum. Mengenai Ella, percayalah mas hanya mencintaimu. Nggak ada perempuan lain yang bisa gantiin kamu." Tatapan Alan meluluhkan Livia. Wajah perempuan itu menghangat saat ditenung dengan mesra. Raganya bersandar pada tubuh kokoh
RAHASIA TIGA HATI - Peluang KeduaTujuh minggu kemudian ...."Mas!" pekik lirih Livia saat Alan tiba-tiba muncul di depannya. Segera ditariknya kaus ke bawah hingga menutupi perut.Padahal dia tengah asyik mengoleskan cream di area perutnya yang agak menghitam dan masih bergelambir pasca melahirkan. Cream khusus yang sudah dipakai semenjak dia hamil untuk mencegah terjadinya stretch mark.Alan tersenyum melihat tingkah istrinya. Dulu waktu masih hamil Livia enjoy saja mengoleskan cream di perutnya. Bahkan malah senang kalau Alan membantu mengoles dan mengusap-usap perut sambil mengajak bayi mereka bicara. Sekarang jangankan di pegang, dilihat saja tidak boleh. Buru-buru ditutupinya jika kepergok Alan masuk kamar."Sayang, kenapa selalu panik gitu kalau mas masuk.""Kan aku sudah bilang kalau jangan dilihat," jawab Livia seraya berdiri dan menyiapkan baju kerja suaminya."Siapa yang ngelihat. Mas kan mau ganti baju dan berangkat ke kantor.""Aku insecure tau," sungut Livia sambil memb
Seminggu yang lalu disaat dia berusaha bicara baik-baik dengan sang mama, supaya mau diajak ketemuan dan meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, justru mamanya mendiamkannya. "Mumpung masih ada kesempatan, Ma. Ayolah, mereka orang-orang baik. Nggak mungkin mereka ganti menghina kita. Mama, nggak usah malu nggak usah takut. Kita pergi bertiga."Sepatah katapun Bu Rika tidak mau menjawab. Lantas diam berhari-hari. Apa Bre salah mengajak sang mama untuk berbuat baik?Malam itu ia kaget saat melihat pisau di tangan sang mama. Bre berhasil merebutnya lalu membanting benda itu di atas meja. "Apa yang Mama lakukan ini? Mengakhiri hidup tidak akan menyelesaikan masalah, Ma."Semenjak saat itu Bre kembali down. Padahal dia sudah bisa mulai menata hati setelah bertemu Alan. Lega setelah bicara dengan kakaknya yang bersedia diajak pergi menemui Pak Rosyam dan Livia. Namun sikap sang mama yang membuat Bre kaget dan frustasi. Ternyata bukan Pak Rosyam yang tidak waras selama ini, tapi mamanya send
Dua pria masuk ke kendaraan masing-masing. Mereka meluncur ke rumah makan yang tadi disebutkan. Di jam makan siang, kondisi rumah makan sangat ramai. Setelah mengambil makanan dan minum, mereka duduk di bagian teras restoran. Rumah makan itu memang mengusung konsep prasmanan. Jadi mengambil nasi dan lauknya sendiri. Bayar baru duduk. "Mamaku pernah bilang kalau kamu menolak projek ini. Kenapa sekarang menerimanya?" Bre membuka pertanyaan. "Saat itu aku hanya menolak kerjasama dengan Bu Rika, bukan dengan Pak Robert. Jika sekarang pekerjaan kami masih berlanjut dan perusahaanmu terlibat, aku bisa terima. Di samping itu, karena Bu Rika mundur dan kamu yang maju, makanya aku melanjutkan kerjasama ini." "Kamu nggak takut aku bakalan curang?" "Perjanjian kita jelas bukan? Kalau pun kamu curang, bukan aku yang rugi. Nggak ada kerugian bagi orang-orang yang berusaha jujur, on the track, Bre. Apa kamu akan mempersulit diri sendiri dengan bersikap licik?" Bre tercekat mendengar jaw