Seminggu yang lalu disaat dia berusaha bicara baik-baik dengan sang mama, supaya mau diajak ketemuan dan meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, justru mamanya mendiamkannya. "Mumpung masih ada kesempatan, Ma. Ayolah, mereka orang-orang baik. Nggak mungkin mereka ganti menghina kita. Mama, nggak usah malu nggak usah takut. Kita pergi bertiga."Sepatah katapun Bu Rika tidak mau menjawab. Lantas diam berhari-hari. Apa Bre salah mengajak sang mama untuk berbuat baik?Malam itu ia kaget saat melihat pisau di tangan sang mama. Bre berhasil merebutnya lalu membanting benda itu di atas meja. "Apa yang Mama lakukan ini? Mengakhiri hidup tidak akan menyelesaikan masalah, Ma."Semenjak saat itu Bre kembali down. Padahal dia sudah bisa mulai menata hati setelah bertemu Alan. Lega setelah bicara dengan kakaknya yang bersedia diajak pergi menemui Pak Rosyam dan Livia. Namun sikap sang mama yang membuat Bre kaget dan frustasi. Ternyata bukan Pak Rosyam yang tidak waras selama ini, tapi mamanya send
Dua pria masuk ke kendaraan masing-masing. Mereka meluncur ke rumah makan yang tadi disebutkan. Di jam makan siang, kondisi rumah makan sangat ramai. Setelah mengambil makanan dan minum, mereka duduk di bagian teras restoran. Rumah makan itu memang mengusung konsep prasmanan. Jadi mengambil nasi dan lauknya sendiri. Bayar baru duduk. "Mamaku pernah bilang kalau kamu menolak projek ini. Kenapa sekarang menerimanya?" Bre membuka pertanyaan. "Saat itu aku hanya menolak kerjasama dengan Bu Rika, bukan dengan Pak Robert. Jika sekarang pekerjaan kami masih berlanjut dan perusahaanmu terlibat, aku bisa terima. Di samping itu, karena Bu Rika mundur dan kamu yang maju, makanya aku melanjutkan kerjasama ini." "Kamu nggak takut aku bakalan curang?" "Perjanjian kita jelas bukan? Kalau pun kamu curang, bukan aku yang rugi. Nggak ada kerugian bagi orang-orang yang berusaha jujur, on the track, Bre. Apa kamu akan mempersulit diri sendiri dengan bersikap licik?" Bre tercekat mendengar jaw
RAHASIA TIGA HATI - My Sweetheart "Kamu serius mau kerjasama dengan Hutama Jaya?" Adi bertanya setelah Alan kembali ke kantor dan menceritakan pertemuannya dengan Pak Robert juga Bre."Ya.""Bre ini mantan suami Livia. Track record-nya beberapa bulan yang lalu pasti masih kamu ingat, kan? Dia pernah bawa kabur istrimu.""Tentu aku ingat.""Kamu nggak khawatir?""Kita akan bekerja secara profesional, Di. Kamu yang pegang projek ini. Setelah apa yang terjadi, tentu Bre sudah berubah. Kalau nggak juga berubah, bukan kita yang rugi, tapi perusahaannya. Semua orang menjauhinya. Dia akan rugi kalau bertindak macam-macam. Projek ini sangat menjanjikan.""Terus bagaimana dengan Livia? Kamu nggak khawatir Bre akan membuat ulah lagi? Gambling dalam bisnis biasa, Lan. Tapi tidak dengan rumah tangga." Adi berusaha untuk mengingatkan sahabatnya."Kamu benar. Tapi aku percaya sama istriku, Bro. Kamu ingat saat kita memutuskan bekerjasama dengan Pak Robert dulu. Disaat semua orang meragukan perusa
Tidak bisa mengelak saat nalurinya juga menginginkan. Kalimat bijak yang tersusun di kepala tiba-tiba luruh sebelum diungkapkan.Alan kian menggebu dan Livia pun ikut tenggelam tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.Senyum puas menghiasi bibir lelaki itu. Tidak perlu berdebat dan mengeluarkan dalil untuk menceramahi istrinya tentang dosa akhibat menolak ajakan suami berhubungan badan. Tak usah memaksa dengan kasar. Cukup perhatikan saat dia bicara, sambil bergerilya diam-diam dan akhirnya pun Livia tumbang.Selimut ditarik Alan untuk menutupi tubuh mereka. Mengusap keringat di dahi Livia, kemudian memeluknya.Livia memejam. Padahal ia sudah mempersiapkan konsep malam romantis. Tadi siang sudah pesan ling*rie s*ksi dari butik langganannya. Mungkin besok baru di antar. Ingin mengganti seprai dengan yang baru ia beli, menyalakan lilin aromaterapi di setiap sudut kamar, untuk pengharum ruangan tetap aroma mint kesukaan suaminya.Namun harapannya untuk mempersiapkan malam yang indah telah
"Mas belum tahu. Kemarin nggak sempet nanya karena ada tamu. Nanti ketemu di kantor kita tanya." "Aku khawatir." "Nanti kita dampingi ayah saat mereka ketemuan. Mungkin setelah banyak peristiwa mengguncang keluarga Hutama, akhirnya membuat mereka sadar. Makanya ingin minta maaf sama ayah." "Setelah kami kehilangan." Livia berubah sendu. Apa dua nyawa bisa ditebus dengan kata maaf saja. "Kenapa waktu itu Mas nggak mau langsung cerita padaku kalau mencurigai mereka sebagai pelakunya?" "Kalau mas cerita, apa yang akan kamu lakukan? Meninggalkan Bre?" Livia diam sejenak. "Mungkin saja," jawabnya kemudian. Ada nada getir terselip di sana. Pasti saat itu akan menjadi pilihan yang paling sulit. Sakit hati atas kejahatan keluarga Hutama, tapi ia juga mencintai Bre yang tidak tahu apa-apa. "Waktu itu mas nggak punya bukti apa-apa. Hanya sekedar curiga dan melakukan penyelidikan yang tidak tuntas, karena kamu dan Bre akan menikah." Hening. "Sayang, kita tidak bisa memutar wak
RAHASIA TIGA HATI - Anak siapa?"Apa Mbak Ella tiap hari ke sini?" tanya Livia lirih pada Rasty. Mereka tengah berhenti di tengah tangga."Seminggu kadang dua sampai tiga kali datang, Mbak.""Untuk apa? Di sini kan bukan kantornya.""Saya kurang tahu. Biasanya dia ada di ruang rapat untuk membahas sesuatu dengan Pak Adi, Pak Alan, dan tim yang akan mengerjakan projek bulan depan." Rasty yang merasa tak enak hati jadi serba salah hendak menjelaskan.Livia masih berdiri. Soal kerjasama tidak seharusnya setiap hari bertemu. Mereka juga memiliki asisten. Kalau hal sederhana saja dilakukan sendiri, apa fungsinya seorang asisten."Apa dia juga sering bawa makanan ke sini?""Iya. Tapi Pak Adi, Pak Alan nggak pernah mengambil. Biasanya dimakan sama para staf."Lega. Siapa tahu makanan itu ada pemikatnya, jampi-jampi, atau pelet. Ish, Livia menepis pikiran konyolnya. Tidak ada yang tidak mungkin. Hidup senantiasa berdampingan dengan yang nyata dan tidak nyata. Pikiran manusia kadang waras kad
Livia masuk ke ruangan dan mengunci pintu. Khawatir kalau ada yang nyelonong masuk. Selain pumping ASI, ia juga hendak mengoleskan cream di area perutnya.Ketika tengah mengoleskan cream sambil menunggu ASI penuh, ponselnya berdering. "Halo, Mas.""Sayang, kenapa pintunya dikunci." "Aku lagi me time. Jangan masuk dulu.""Me time apaan? Bukain pintunya, Livi!""Ish, jangan. Setelah selesai baru kubuka.""Okelah."Livia meletakkan kembali ponselnya. Sedangkan Alan kembali ke ruangan. Dia tadi khawatir kalau ada apa-apa dengan Livia setelah melihat sang istri berbincang-bincang dengan Ella.Sambil menunggu Livia mendatanginya, Alan melakukan video call dengan mamanya. Hari-hari biasa Livia yang di telepon untuk mengobati kangennya pada Alvian. Setelah Livia masuk kerja, ganti menelepon sang mama.***L***Matahari bersinar terik siang itu saat mobil Bre melaju di keramaian kota. Dari kantor Pak Robert langsung ke rumah sakit dan bertemu kakaknya di sana. Sedangkan Ferry berangkat dari k
RAHASIA TIGA HATI - Siapa pria itu?Bre memperhatikan sang kakak yang mengalihkan pandangan ke kejauhan. Wajah luka dan kecewa tampak di sana. Ia tahu kalau Ferry masih memiliki harapan untuk kembali. Seperti dirinya dulu. Namun kesempatan itu tidak ada. Sedangkan sang kakak masih punya peluang, meski pun belum tentu Kenny mau kembali."Kamu tahu siapa laki-laki itu?""Aku nggak tahu. Mbak Kenny nggak cerita."Ferry menarik napas panjang. Rasa lega tadi sudah lenyap tergantikan keresahan yang menggumpal dalam dada. Terlepas dari satu permasalahan, muncul lagi sesuatu yang membuatnya resah."Perjuangkan kalau kamu mampu, Mas. Jika Mbak Kenny enggan menerimamu lagi, Mas harus rela dengan lapang dada. Ikhlaskan. Mungkin baginya akan bahagia hidup dengan orang lain. Tetaplah jadi papa yang baik saja buat anak-anak."Mendengar perkataan Bre, Ferry hanya bisa mengangguk pelan. Sudah dua kali ia selingkuh, mungkin sukar bagi Kenny untuk menerimanya lagi. "Kita kembali ke kantor. Banyak yan