RAHASIA TIGA HATI - Anak siapa?"Apa Mbak Ella tiap hari ke sini?" tanya Livia lirih pada Rasty. Mereka tengah berhenti di tengah tangga."Seminggu kadang dua sampai tiga kali datang, Mbak.""Untuk apa? Di sini kan bukan kantornya.""Saya kurang tahu. Biasanya dia ada di ruang rapat untuk membahas sesuatu dengan Pak Adi, Pak Alan, dan tim yang akan mengerjakan projek bulan depan." Rasty yang merasa tak enak hati jadi serba salah hendak menjelaskan.Livia masih berdiri. Soal kerjasama tidak seharusnya setiap hari bertemu. Mereka juga memiliki asisten. Kalau hal sederhana saja dilakukan sendiri, apa fungsinya seorang asisten."Apa dia juga sering bawa makanan ke sini?""Iya. Tapi Pak Adi, Pak Alan nggak pernah mengambil. Biasanya dimakan sama para staf."Lega. Siapa tahu makanan itu ada pemikatnya, jampi-jampi, atau pelet. Ish, Livia menepis pikiran konyolnya. Tidak ada yang tidak mungkin. Hidup senantiasa berdampingan dengan yang nyata dan tidak nyata. Pikiran manusia kadang waras kad
Livia masuk ke ruangan dan mengunci pintu. Khawatir kalau ada yang nyelonong masuk. Selain pumping ASI, ia juga hendak mengoleskan cream di area perutnya.Ketika tengah mengoleskan cream sambil menunggu ASI penuh, ponselnya berdering. "Halo, Mas.""Sayang, kenapa pintunya dikunci." "Aku lagi me time. Jangan masuk dulu.""Me time apaan? Bukain pintunya, Livi!""Ish, jangan. Setelah selesai baru kubuka.""Okelah."Livia meletakkan kembali ponselnya. Sedangkan Alan kembali ke ruangan. Dia tadi khawatir kalau ada apa-apa dengan Livia setelah melihat sang istri berbincang-bincang dengan Ella.Sambil menunggu Livia mendatanginya, Alan melakukan video call dengan mamanya. Hari-hari biasa Livia yang di telepon untuk mengobati kangennya pada Alvian. Setelah Livia masuk kerja, ganti menelepon sang mama.***L***Matahari bersinar terik siang itu saat mobil Bre melaju di keramaian kota. Dari kantor Pak Robert langsung ke rumah sakit dan bertemu kakaknya di sana. Sedangkan Ferry berangkat dari k
RAHASIA TIGA HATI - Siapa pria itu?Bre memperhatikan sang kakak yang mengalihkan pandangan ke kejauhan. Wajah luka dan kecewa tampak di sana. Ia tahu kalau Ferry masih memiliki harapan untuk kembali. Seperti dirinya dulu. Namun kesempatan itu tidak ada. Sedangkan sang kakak masih punya peluang, meski pun belum tentu Kenny mau kembali."Kamu tahu siapa laki-laki itu?""Aku nggak tahu. Mbak Kenny nggak cerita."Ferry menarik napas panjang. Rasa lega tadi sudah lenyap tergantikan keresahan yang menggumpal dalam dada. Terlepas dari satu permasalahan, muncul lagi sesuatu yang membuatnya resah."Perjuangkan kalau kamu mampu, Mas. Jika Mbak Kenny enggan menerimamu lagi, Mas harus rela dengan lapang dada. Ikhlaskan. Mungkin baginya akan bahagia hidup dengan orang lain. Tetaplah jadi papa yang baik saja buat anak-anak."Mendengar perkataan Bre, Ferry hanya bisa mengangguk pelan. Sudah dua kali ia selingkuh, mungkin sukar bagi Kenny untuk menerimanya lagi. "Kita kembali ke kantor. Banyak yan
"Membuatmu dan Livia juga berpisah. Beberapa minggu ini aku merenung. Flashback apa yang telah kulalui. Aku bersalah telah menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Maafkan aku. Andai saja dulu aku menolak dan tidak menuruti ambisiku sendiri, mungkin kamu nggak sampai cerai dengan Livia. Kalau aku nggak setuju, mana mungkin mereka berhasil memisahkan kalian." Agatha bicara hingga suaranya terdengar parau karena isak tertahan."Semua sudah terjadi, Tha. Tanpa adanya kamu pun, mungkin aku dan Livia tetap dipisahkan." Bre bangkit dari kursi dan melangkah ke arah jendela kaca. Menatap langit yang beranjak sore."Maksudmu gimana, aku nggak paham.""Aku nggak bisa ceritakan hal ini ke kamu.""Oh ... nggak apa-apa."Untuk beberapa saat mereka saling diam. Tentu saja Bre tidak akan menceritakan pada Agatha, tentang dendam kesumat sang mama pada keluarga Livia. Pada Bu Safitria yang dibencinya. Tanpa hadirnya Agatha, sang mama pasti tetap memintanya untuk menceraikan Livia. Karena tujuannya
"Aku mengenalnya?" kejar Ferry. Dan hanya dijawab senyuman oleh Kenny. Tambah membuat pria itu penasaran. "Anak-anak bagaimana?""Semua butuh proses, Mas. Butuh penyesuaian diri, adaptasi. Karena hidup akan selalu bertemu dengan hal baru. Anak-anak pasti mengerti dan bisa menerima pada akhirnya."Diam. Dada Ferry terasa perih. Sepertinya Kenny sudah benar-benar move on darinya. Ingin memulai hidup baru dengan insan baru."Apa nggak ada kesempatan lagi untuk kita memperbaiki hubungan ini?" Ferry memberanikan diri. Ingat kata Bre, kalau masih ada kesempatan untuk berjuang. Kenny tersenyum samar. "Aku sudah memberikan kesempatan padamu dulu, Mas. Kala itu aku bilang, jika sekali lagi terulang, aku sudah nggak bisa lagi ngasih kesempatan. Apalagi hubunganmu dengan Irma sangat fatal. Demi membela perempuan itu, kamu tega menamparku.""Maafkan aku. Mungkin memang aku sudah nggak pantas lagi buatmu. Aku pernah sakit yang amat memalukan.""Sekalipun nggak bisa bersama-sama lagi, kita masih
RAHASIA TIGA HATI - Jujur Mobil berhenti di luar pagar rumah Pak Rosyam. Bre dan Ferry masih diam di dalam kendaraan."Malam ini Leo dan Lena lagi kenalan sama calon ayah mereka. Sedangkan di sini kita bertemu dengan orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf," ujar Ferry datar. Bre memandang di antara celah pagar. Ini bukan tentang bagaimana ia harus bertekuk lutut, meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, juga Alan. Baginya hal itu tidak lagi menjadi beban dan masalah. Tapi ini tentang wanita yang ada di dalam sana. Jujur saja, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dua lelaki yang tengah gundah itu masih diam. Ferry paham perasaan Bre, begitu juga sebaliknya. "Kita jadi turun, Mas?" tanya Bre akhirnya."Ayo!" Ferry membuka pintu mobil. Bre pun sama. Keduanya melangkah masuk lewat pintu pagar yang tidak terkunci. Di carport sudah ada mobil milik Alan.Bre seperti tidak menapak di bumi. Tubuhnya melayang. Perasaan dalam dadanya susah sekali dikendalikan. Entah bag
"Ya, Pak," jawab Bre. "Saya juga mengucapkan terima kasih banyak pada Pak Rosyam dan Alan. Masih sudi memberikan kesempatan perusahaan kami untuk kembali bangkit bersama AFBC," lanjut Bre sambil memandang pada Alan. Ia menghindari kontak mata dengan Livia. Alan menjawab dengan anggukan kepala. Tidak perlu bicara banyak. Apa yang sudah ia putuskan sudah sangat dipertimbangkan sebelum ini. Dia mengambil keputusan tentu saja sudah tahu apa resikonya. Dikhianati lagi misalnya. "Dan tentang kecelakaan itu ...." "Maaf, Nak Ferry," potong Pak Rosyam cepat. "Jangan membahas hal itu lagi. Terlalu berat bagi saya dan Livia. Cukuplah kita sama-sama tahu. Mengungkit kembali hanya membangkitkan luka parah dalam jiwa kami. Kami sudah memaafkan," ujar Pak Rosyam sambil menahan sebak dalam dada. Kehilangan dua wanita dalam hidupnya, merupakan pukulan paling hebat yang membuatnya menjadi pasien seorang psikiater selama berbulan-bulan. "Ya, Pak. Maafkan kami," jawab Ferry dengan suara bergetar.
Livia terdiam mendengarkan cerita ayahnya pagi itu. Sedih. Tentang kisah cinta segitiga antara ibunya, Pak Hutama, dan Bu Rika. Tadi malam ketika hendak kembali ke depan, ia mendengar pembicaraan sang ayah dan Ferry. Jadi pagi itu, saat Alan jogging Livia bertanya pada ayahnya.Sekarang ia tahu kenapa Bu Rika sangat membencinya dan tega memisahkan dirinya dari Bre. "Hari ini kita tutup rapat-rapat permasalahan ini, Liv. Fokus dengan kehidupanmu bersama Alan dan Alvian.""Ya," jawab Livia lirih."Jangan sesali apa yang sudah terlewati. Jika AFBC bekerjasama dengan Hutama Jaya, kamu harus bisa membawa diri. Alan menaruh kepercayaan besar padamu, jangan pernah mengkhianatinya.""Iya, Yah."Livia bangkit dari duduknya, ketika melihat Alan kembali dari jogging. Mengambilkan sebotol air minum dan mereka melangkah ke halaman samping. Di mana mereka berdua sering berlatih Muay Thai."Setelah nganterin mama dan Alvian pulang, kita langsung staycation," kata Alan setelah mereka duduk di bangku