"Aku mengenalnya?" kejar Ferry. Dan hanya dijawab senyuman oleh Kenny. Tambah membuat pria itu penasaran. "Anak-anak bagaimana?""Semua butuh proses, Mas. Butuh penyesuaian diri, adaptasi. Karena hidup akan selalu bertemu dengan hal baru. Anak-anak pasti mengerti dan bisa menerima pada akhirnya."Diam. Dada Ferry terasa perih. Sepertinya Kenny sudah benar-benar move on darinya. Ingin memulai hidup baru dengan insan baru."Apa nggak ada kesempatan lagi untuk kita memperbaiki hubungan ini?" Ferry memberanikan diri. Ingat kata Bre, kalau masih ada kesempatan untuk berjuang. Kenny tersenyum samar. "Aku sudah memberikan kesempatan padamu dulu, Mas. Kala itu aku bilang, jika sekali lagi terulang, aku sudah nggak bisa lagi ngasih kesempatan. Apalagi hubunganmu dengan Irma sangat fatal. Demi membela perempuan itu, kamu tega menamparku.""Maafkan aku. Mungkin memang aku sudah nggak pantas lagi buatmu. Aku pernah sakit yang amat memalukan.""Sekalipun nggak bisa bersama-sama lagi, kita masih
RAHASIA TIGA HATI - Jujur Mobil berhenti di luar pagar rumah Pak Rosyam. Bre dan Ferry masih diam di dalam kendaraan."Malam ini Leo dan Lena lagi kenalan sama calon ayah mereka. Sedangkan di sini kita bertemu dengan orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf," ujar Ferry datar. Bre memandang di antara celah pagar. Ini bukan tentang bagaimana ia harus bertekuk lutut, meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, juga Alan. Baginya hal itu tidak lagi menjadi beban dan masalah. Tapi ini tentang wanita yang ada di dalam sana. Jujur saja, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dua lelaki yang tengah gundah itu masih diam. Ferry paham perasaan Bre, begitu juga sebaliknya. "Kita jadi turun, Mas?" tanya Bre akhirnya."Ayo!" Ferry membuka pintu mobil. Bre pun sama. Keduanya melangkah masuk lewat pintu pagar yang tidak terkunci. Di carport sudah ada mobil milik Alan.Bre seperti tidak menapak di bumi. Tubuhnya melayang. Perasaan dalam dadanya susah sekali dikendalikan. Entah bag
"Ya, Pak," jawab Bre. "Saya juga mengucapkan terima kasih banyak pada Pak Rosyam dan Alan. Masih sudi memberikan kesempatan perusahaan kami untuk kembali bangkit bersama AFBC," lanjut Bre sambil memandang pada Alan. Ia menghindari kontak mata dengan Livia. Alan menjawab dengan anggukan kepala. Tidak perlu bicara banyak. Apa yang sudah ia putuskan sudah sangat dipertimbangkan sebelum ini. Dia mengambil keputusan tentu saja sudah tahu apa resikonya. Dikhianati lagi misalnya. "Dan tentang kecelakaan itu ...." "Maaf, Nak Ferry," potong Pak Rosyam cepat. "Jangan membahas hal itu lagi. Terlalu berat bagi saya dan Livia. Cukuplah kita sama-sama tahu. Mengungkit kembali hanya membangkitkan luka parah dalam jiwa kami. Kami sudah memaafkan," ujar Pak Rosyam sambil menahan sebak dalam dada. Kehilangan dua wanita dalam hidupnya, merupakan pukulan paling hebat yang membuatnya menjadi pasien seorang psikiater selama berbulan-bulan. "Ya, Pak. Maafkan kami," jawab Ferry dengan suara bergetar.
Livia terdiam mendengarkan cerita ayahnya pagi itu. Sedih. Tentang kisah cinta segitiga antara ibunya, Pak Hutama, dan Bu Rika. Tadi malam ketika hendak kembali ke depan, ia mendengar pembicaraan sang ayah dan Ferry. Jadi pagi itu, saat Alan jogging Livia bertanya pada ayahnya.Sekarang ia tahu kenapa Bu Rika sangat membencinya dan tega memisahkan dirinya dari Bre. "Hari ini kita tutup rapat-rapat permasalahan ini, Liv. Fokus dengan kehidupanmu bersama Alan dan Alvian.""Ya," jawab Livia lirih."Jangan sesali apa yang sudah terlewati. Jika AFBC bekerjasama dengan Hutama Jaya, kamu harus bisa membawa diri. Alan menaruh kepercayaan besar padamu, jangan pernah mengkhianatinya.""Iya, Yah."Livia bangkit dari duduknya, ketika melihat Alan kembali dari jogging. Mengambilkan sebotol air minum dan mereka melangkah ke halaman samping. Di mana mereka berdua sering berlatih Muay Thai."Setelah nganterin mama dan Alvian pulang, kita langsung staycation," kata Alan setelah mereka duduk di bangku
RAHASIA TIGA HATI - Biarkan Dia Bahagia "Bre, tunggu!" Kenny menyusul mereka keluar pagar sambil membawakan ransel yang tertinggal."Baju gantinya anak-anak. Nanti kalau mereka renang, nggak ada baju untuk ganti." Bre menerima ransel. "Baju Leo dan Lena masih ada kok di rumah, Mbak.""Nggak apa-apa. Oh ya, hari ini, aku mau ketemuan sama orang tua dokter Pasha, Bre.""Oke. Semoga Allah melancarkan urusanmu, Mbak. Soal anak-anak nggak usah Mbak khawatirkan. Aku akan bantu jaga mereka. Mbak Kenny, berhak bahagia," ucap Bre sambil tersenyum."Nggak, Bre. Aku tetap mengutamakan anak-anak. Kalau ibunya saja yang bahagia untuk apa. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan ibu.""Tapi kalau kebahagiaan anak-anak bersama papa kandungnya, apa Mbak Kenny bisa mewujudkan hal itu?"Kenny tersenyum getir. "Dia tetap papanya anak-anak, Bre. Aku sudah pernah ngasih kesempatan saat dia selingkuh dulu. Aku takut dikhianati lagi. Walaupun orang baru belum tentu nggak berkhianat, tapi kalau untuk kembali,
Sempat dekat juga dengan seorang bidan dan perawat, tapi pada akhirnya tidak bisa dilanjutkan karena masalah-masalah pribadi.Ternyata wajah tampan, karir cemerlang, masa depan gemilang, tidak menjamin selalu berhasil dalam percintaan. Selalu gagal menjalin hubungan dengan tenaga kesehatan, akhirnya dokter Pasha tidak mau lagi melakukan pendekatan dengan yang seprofesi. Kemudian berusaha mendekati Livia, ternyata telah keduluan Alan. Kemudian ingin pendekatan dengan Kenny, malah dikasih syarat harus bisa mengambil hati anak-anaknya dulu.Bukan masalah bagi dokter Pasha. Dia suka anak-anak. Beberapa keponakannya juga dekat dengannya."Kamu kasih syarat begitu, kurasa nggak berat bagi dokter Pasha, Ken. Dia sudah biasa menangani orang-orang dewasa dengan permasalahan komplek, ada yang stres, depresi, bahkan hampir mendekati gila pun ada. Kalau cuman untuk naklukin dua bocilmu, itu sih urusan kecil baginya."Akhirnya terbukti. Di pertemuan pertama tadi malam, Leo dan Lena langsung bisa
"Mungkin kamu menyesali, ternyata perpisahanmu dengan Bre hanya karena dendam masa lalu Bu Rika?""Bukan itu, Mas," jawab Livia cepat. Dia tidak ingin Alan berprasangka."Lalu ...." Alan mengejar penjelasan. Sebab sejak tadi malam Livia gelisah. Apa karena disebabkan pertemuannya dengan Bre. "Kita bisa membicarakannya jika ada yang mengganjal dalam benakmu. Kita sekarang sedang berbagi waktu bersama. Bicarakan apa saja hal yang sekiranya mengganggu dalam dada. Kamu punya keinginan? Katakan apa saja itu, mas berusaha untuk memberikan jika mampu. Hanya satu yang nggak akan mas kabulkan."Livia menatap lekat suaminya. "Apa?""Jika kamu ingin kembali pada Bre."Livia tersenyum, kemudian menjatuhkan diri dalam dekapan suaminya. Kedua lengan melingkar di pinggang Alan. "Nggak pernah ada pikiran itu di benakku. Aku sudah sangat bahagia memilikimu dan anak kita."Jujur saja kalau ia terusik dengan cara Bre memandang Livia. Namun ia tidak akan membuat hal itu menjadi permasalahan yang besar.
RAHASIA TIGA HATI - Terlambat Alan meraih ponsel di nakas. Ingat ada yang menelepon saat dirinya tengah asyik dengan Livia. Untuk apa Bre menelponnya sampai beberapa kali panggilan. Kalau urgent kenapa tidak meninggalkan pesan. Alan menoleh sejenak pada sang istri yang terlelap di bawah selimut. Perlahan ia turun dari atas tempat tidur dan duduk di sofa pojok kamar.[Ada apa menelponku?] Alan mengirimkan pesan. Jarak beberapa detik ada pesan balasan.[Bisa kutelepon sebentar?][Oke.]Alan segera menerima panggilan sebelum ponsel berdering lama. Agar tidak menggangu Livia. "Halo.""Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu. Bisa sore ini kita ketemu. Atau malam nanti. Penting, Lan. Tentang perusahaan Pak Wawan yang hendak merecoki kerjasama kita.""Siapa yang ngasih info?""Nanti kukasih tahu kalau kita bertemu.""Maaf, kalau sekarang aku nggak bisa. Besok di kantor saja biar diurusi sama Adi. Sebab aku ada janjian ketemuan dengan relasi besok jam sepuluh pagi.""Baiklah.""Biar Adi ku