"Membuatmu dan Livia juga berpisah. Beberapa minggu ini aku merenung. Flashback apa yang telah kulalui. Aku bersalah telah menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Maafkan aku. Andai saja dulu aku menolak dan tidak menuruti ambisiku sendiri, mungkin kamu nggak sampai cerai dengan Livia. Kalau aku nggak setuju, mana mungkin mereka berhasil memisahkan kalian." Agatha bicara hingga suaranya terdengar parau karena isak tertahan."Semua sudah terjadi, Tha. Tanpa adanya kamu pun, mungkin aku dan Livia tetap dipisahkan." Bre bangkit dari kursi dan melangkah ke arah jendela kaca. Menatap langit yang beranjak sore."Maksudmu gimana, aku nggak paham.""Aku nggak bisa ceritakan hal ini ke kamu.""Oh ... nggak apa-apa."Untuk beberapa saat mereka saling diam. Tentu saja Bre tidak akan menceritakan pada Agatha, tentang dendam kesumat sang mama pada keluarga Livia. Pada Bu Safitria yang dibencinya. Tanpa hadirnya Agatha, sang mama pasti tetap memintanya untuk menceraikan Livia. Karena tujuannya
"Aku mengenalnya?" kejar Ferry. Dan hanya dijawab senyuman oleh Kenny. Tambah membuat pria itu penasaran. "Anak-anak bagaimana?""Semua butuh proses, Mas. Butuh penyesuaian diri, adaptasi. Karena hidup akan selalu bertemu dengan hal baru. Anak-anak pasti mengerti dan bisa menerima pada akhirnya."Diam. Dada Ferry terasa perih. Sepertinya Kenny sudah benar-benar move on darinya. Ingin memulai hidup baru dengan insan baru."Apa nggak ada kesempatan lagi untuk kita memperbaiki hubungan ini?" Ferry memberanikan diri. Ingat kata Bre, kalau masih ada kesempatan untuk berjuang. Kenny tersenyum samar. "Aku sudah memberikan kesempatan padamu dulu, Mas. Kala itu aku bilang, jika sekali lagi terulang, aku sudah nggak bisa lagi ngasih kesempatan. Apalagi hubunganmu dengan Irma sangat fatal. Demi membela perempuan itu, kamu tega menamparku.""Maafkan aku. Mungkin memang aku sudah nggak pantas lagi buatmu. Aku pernah sakit yang amat memalukan.""Sekalipun nggak bisa bersama-sama lagi, kita masih
RAHASIA TIGA HATI - Jujur Mobil berhenti di luar pagar rumah Pak Rosyam. Bre dan Ferry masih diam di dalam kendaraan."Malam ini Leo dan Lena lagi kenalan sama calon ayah mereka. Sedangkan di sini kita bertemu dengan orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf," ujar Ferry datar. Bre memandang di antara celah pagar. Ini bukan tentang bagaimana ia harus bertekuk lutut, meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, juga Alan. Baginya hal itu tidak lagi menjadi beban dan masalah. Tapi ini tentang wanita yang ada di dalam sana. Jujur saja, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dua lelaki yang tengah gundah itu masih diam. Ferry paham perasaan Bre, begitu juga sebaliknya. "Kita jadi turun, Mas?" tanya Bre akhirnya."Ayo!" Ferry membuka pintu mobil. Bre pun sama. Keduanya melangkah masuk lewat pintu pagar yang tidak terkunci. Di carport sudah ada mobil milik Alan.Bre seperti tidak menapak di bumi. Tubuhnya melayang. Perasaan dalam dadanya susah sekali dikendalikan. Entah bag
"Ya, Pak," jawab Bre. "Saya juga mengucapkan terima kasih banyak pada Pak Rosyam dan Alan. Masih sudi memberikan kesempatan perusahaan kami untuk kembali bangkit bersama AFBC," lanjut Bre sambil memandang pada Alan. Ia menghindari kontak mata dengan Livia. Alan menjawab dengan anggukan kepala. Tidak perlu bicara banyak. Apa yang sudah ia putuskan sudah sangat dipertimbangkan sebelum ini. Dia mengambil keputusan tentu saja sudah tahu apa resikonya. Dikhianati lagi misalnya. "Dan tentang kecelakaan itu ...." "Maaf, Nak Ferry," potong Pak Rosyam cepat. "Jangan membahas hal itu lagi. Terlalu berat bagi saya dan Livia. Cukuplah kita sama-sama tahu. Mengungkit kembali hanya membangkitkan luka parah dalam jiwa kami. Kami sudah memaafkan," ujar Pak Rosyam sambil menahan sebak dalam dada. Kehilangan dua wanita dalam hidupnya, merupakan pukulan paling hebat yang membuatnya menjadi pasien seorang psikiater selama berbulan-bulan. "Ya, Pak. Maafkan kami," jawab Ferry dengan suara bergetar.
Livia terdiam mendengarkan cerita ayahnya pagi itu. Sedih. Tentang kisah cinta segitiga antara ibunya, Pak Hutama, dan Bu Rika. Tadi malam ketika hendak kembali ke depan, ia mendengar pembicaraan sang ayah dan Ferry. Jadi pagi itu, saat Alan jogging Livia bertanya pada ayahnya.Sekarang ia tahu kenapa Bu Rika sangat membencinya dan tega memisahkan dirinya dari Bre. "Hari ini kita tutup rapat-rapat permasalahan ini, Liv. Fokus dengan kehidupanmu bersama Alan dan Alvian.""Ya," jawab Livia lirih."Jangan sesali apa yang sudah terlewati. Jika AFBC bekerjasama dengan Hutama Jaya, kamu harus bisa membawa diri. Alan menaruh kepercayaan besar padamu, jangan pernah mengkhianatinya.""Iya, Yah."Livia bangkit dari duduknya, ketika melihat Alan kembali dari jogging. Mengambilkan sebotol air minum dan mereka melangkah ke halaman samping. Di mana mereka berdua sering berlatih Muay Thai."Setelah nganterin mama dan Alvian pulang, kita langsung staycation," kata Alan setelah mereka duduk di bangku
RAHASIA TIGA HATI - Biarkan Dia Bahagia "Bre, tunggu!" Kenny menyusul mereka keluar pagar sambil membawakan ransel yang tertinggal."Baju gantinya anak-anak. Nanti kalau mereka renang, nggak ada baju untuk ganti." Bre menerima ransel. "Baju Leo dan Lena masih ada kok di rumah, Mbak.""Nggak apa-apa. Oh ya, hari ini, aku mau ketemuan sama orang tua dokter Pasha, Bre.""Oke. Semoga Allah melancarkan urusanmu, Mbak. Soal anak-anak nggak usah Mbak khawatirkan. Aku akan bantu jaga mereka. Mbak Kenny, berhak bahagia," ucap Bre sambil tersenyum."Nggak, Bre. Aku tetap mengutamakan anak-anak. Kalau ibunya saja yang bahagia untuk apa. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan ibu.""Tapi kalau kebahagiaan anak-anak bersama papa kandungnya, apa Mbak Kenny bisa mewujudkan hal itu?"Kenny tersenyum getir. "Dia tetap papanya anak-anak, Bre. Aku sudah pernah ngasih kesempatan saat dia selingkuh dulu. Aku takut dikhianati lagi. Walaupun orang baru belum tentu nggak berkhianat, tapi kalau untuk kembali,
Sempat dekat juga dengan seorang bidan dan perawat, tapi pada akhirnya tidak bisa dilanjutkan karena masalah-masalah pribadi.Ternyata wajah tampan, karir cemerlang, masa depan gemilang, tidak menjamin selalu berhasil dalam percintaan. Selalu gagal menjalin hubungan dengan tenaga kesehatan, akhirnya dokter Pasha tidak mau lagi melakukan pendekatan dengan yang seprofesi. Kemudian berusaha mendekati Livia, ternyata telah keduluan Alan. Kemudian ingin pendekatan dengan Kenny, malah dikasih syarat harus bisa mengambil hati anak-anaknya dulu.Bukan masalah bagi dokter Pasha. Dia suka anak-anak. Beberapa keponakannya juga dekat dengannya."Kamu kasih syarat begitu, kurasa nggak berat bagi dokter Pasha, Ken. Dia sudah biasa menangani orang-orang dewasa dengan permasalahan komplek, ada yang stres, depresi, bahkan hampir mendekati gila pun ada. Kalau cuman untuk naklukin dua bocilmu, itu sih urusan kecil baginya."Akhirnya terbukti. Di pertemuan pertama tadi malam, Leo dan Lena langsung bisa
"Mungkin kamu menyesali, ternyata perpisahanmu dengan Bre hanya karena dendam masa lalu Bu Rika?""Bukan itu, Mas," jawab Livia cepat. Dia tidak ingin Alan berprasangka."Lalu ...." Alan mengejar penjelasan. Sebab sejak tadi malam Livia gelisah. Apa karena disebabkan pertemuannya dengan Bre. "Kita bisa membicarakannya jika ada yang mengganjal dalam benakmu. Kita sekarang sedang berbagi waktu bersama. Bicarakan apa saja hal yang sekiranya mengganggu dalam dada. Kamu punya keinginan? Katakan apa saja itu, mas berusaha untuk memberikan jika mampu. Hanya satu yang nggak akan mas kabulkan."Livia menatap lekat suaminya. "Apa?""Jika kamu ingin kembali pada Bre."Livia tersenyum, kemudian menjatuhkan diri dalam dekapan suaminya. Kedua lengan melingkar di pinggang Alan. "Nggak pernah ada pikiran itu di benakku. Aku sudah sangat bahagia memilikimu dan anak kita."Jujur saja kalau ia terusik dengan cara Bre memandang Livia. Namun ia tidak akan membuat hal itu menjadi permasalahan yang besar.
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K