Sempat dekat juga dengan seorang bidan dan perawat, tapi pada akhirnya tidak bisa dilanjutkan karena masalah-masalah pribadi.Ternyata wajah tampan, karir cemerlang, masa depan gemilang, tidak menjamin selalu berhasil dalam percintaan. Selalu gagal menjalin hubungan dengan tenaga kesehatan, akhirnya dokter Pasha tidak mau lagi melakukan pendekatan dengan yang seprofesi. Kemudian berusaha mendekati Livia, ternyata telah keduluan Alan. Kemudian ingin pendekatan dengan Kenny, malah dikasih syarat harus bisa mengambil hati anak-anaknya dulu.Bukan masalah bagi dokter Pasha. Dia suka anak-anak. Beberapa keponakannya juga dekat dengannya."Kamu kasih syarat begitu, kurasa nggak berat bagi dokter Pasha, Ken. Dia sudah biasa menangani orang-orang dewasa dengan permasalahan komplek, ada yang stres, depresi, bahkan hampir mendekati gila pun ada. Kalau cuman untuk naklukin dua bocilmu, itu sih urusan kecil baginya."Akhirnya terbukti. Di pertemuan pertama tadi malam, Leo dan Lena langsung bisa
"Mungkin kamu menyesali, ternyata perpisahanmu dengan Bre hanya karena dendam masa lalu Bu Rika?""Bukan itu, Mas," jawab Livia cepat. Dia tidak ingin Alan berprasangka."Lalu ...." Alan mengejar penjelasan. Sebab sejak tadi malam Livia gelisah. Apa karena disebabkan pertemuannya dengan Bre. "Kita bisa membicarakannya jika ada yang mengganjal dalam benakmu. Kita sekarang sedang berbagi waktu bersama. Bicarakan apa saja hal yang sekiranya mengganggu dalam dada. Kamu punya keinginan? Katakan apa saja itu, mas berusaha untuk memberikan jika mampu. Hanya satu yang nggak akan mas kabulkan."Livia menatap lekat suaminya. "Apa?""Jika kamu ingin kembali pada Bre."Livia tersenyum, kemudian menjatuhkan diri dalam dekapan suaminya. Kedua lengan melingkar di pinggang Alan. "Nggak pernah ada pikiran itu di benakku. Aku sudah sangat bahagia memilikimu dan anak kita."Jujur saja kalau ia terusik dengan cara Bre memandang Livia. Namun ia tidak akan membuat hal itu menjadi permasalahan yang besar.
RAHASIA TIGA HATI - Terlambat Alan meraih ponsel di nakas. Ingat ada yang menelepon saat dirinya tengah asyik dengan Livia. Untuk apa Bre menelponnya sampai beberapa kali panggilan. Kalau urgent kenapa tidak meninggalkan pesan. Alan menoleh sejenak pada sang istri yang terlelap di bawah selimut. Perlahan ia turun dari atas tempat tidur dan duduk di sofa pojok kamar.[Ada apa menelponku?] Alan mengirimkan pesan. Jarak beberapa detik ada pesan balasan.[Bisa kutelepon sebentar?][Oke.]Alan segera menerima panggilan sebelum ponsel berdering lama. Agar tidak menggangu Livia. "Halo.""Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu. Bisa sore ini kita ketemu. Atau malam nanti. Penting, Lan. Tentang perusahaan Pak Wawan yang hendak merecoki kerjasama kita.""Siapa yang ngasih info?""Nanti kukasih tahu kalau kita bertemu.""Maaf, kalau sekarang aku nggak bisa. Besok di kantor saja biar diurusi sama Adi. Sebab aku ada janjian ketemuan dengan relasi besok jam sepuluh pagi.""Baiklah.""Biar Adi ku
Ferry memang tidak seperti Bre yang sanggup menghabiskan ber pak-pak rokok ketika sedang stres. Lelaki itu kalau sedih hanya duduk diam. Kalau dulu dilampiaskan dengan minuman keras. Namun setelah pernah sakit liver, Ferry tidak berani menyentuh benda haram itu lagi."Kamu percaya dengan apa yang diomongkan Agatha?" Ferry mengalihkan pertanyaan."Apa salahnya coba mempercayainya, Mas. Mungkin juga dia sudah berubah, seperti pengakuannya padaku waktu itu.""Yang dibongkar rahasianya itu adalah keluarganya sendiri, Bre. Apa mungkin dia ingin bisnis keluarganya hancur?"Dua kakak beradik itu saling pandang. Benar juga yang dikatakan Ferry. Agatha yang terbiasa hidup serba mewah berkecukupan, apa sanggup melihat bisnis keluarganya hancur. Apa ini hanya sekedar jebakan? Balas dendam karena wanita itu pernah diabaikan olehnya."Coba kamu cari info yang detail dulu. Aku takut kamu salah ngasih informasi ke Alan atau pun Adi. Kamu bisa menggorek keterangan dari orang lain.""Aku nggak tahu ma
Setelah ia mendengar kalau Kenny hendak menikah dengan dokter Pasha, Bu Rika sekarang sadar kalau ia menjadi orang yang paling kejam di rumah itu. Menjadikan hidup anak-anaknya berantakan. Bre patah hati tiada henti, Ferry merana setengah mati. Dia juga kehilangan teman-teman sosialitanya. Mereka masih ingin bertemu dan menyambangi. Namun Bu Rika menolak. Serasa sudah kehilangan muka di hadapan mereka yang selama ini menganggapnya sebagai wanita korporat yang sempurna.Terlebih setelah Ferry menceritakan pertemuannya dengan Pak Rosyam. Mendengar kalau dirinya sudah dimaafkan kendati tidak datang bertemu lelaki itu. Wajah Livia selalu terbayang. Anak perempuan yang ibunya disingkirkan secara tragis olehnya. Menantu yang tidak hanya di sia-siakan, tapi dipisahkan dari lelaki yang dicintai.Sekarang dia sudah bahagia dan Bre yang masih tenggelam dalam luka.Bu Rika juga kehilangan kebebasan bertemu cucu-cucunya. Bahkan malu berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Terutama pada adi
RAHASIA TIGA HATI - Di Rumah Sakit"Siapa yang sakit?" tanya Ferry."Agatha, Mas. Katanya sudah dua minggu ini dirawat di rumah sakit.""Sakit apa dia?""Asistennya memutuskan panggilan saat kutanya. Seingatku Agatha tidak punya riwayat sakit serius sejak masih sekolah dulu.""Tapi kenapa sampai dua minggu dirawat di rumah sakit.""Entahlah." Bre bangkit dari duduknya dan mengambil jas di standing hanger yang ada dipojokkan. "Kita pulang sekarang, tapi Mas Ferry pulang duluan saja. Tante Ita sudah di rumah sekarang. Aku masih ada meeting dengan Pak Robert dan Alan."Ferry berdiri. Mereka melangkah keluar ruangan. Para staf juga sedang berkemas-kemas. "Kamu nggak ingin cari tahu Gatha sakit apa?" tanya Ferry sebelum masuk ke mobilnya. "Bagaimanapun dia sudah berjasa pada kita, Bre.""Nanti kuhubungi lagi nomernya, setelah aku selesai ketemuan dengan mereka.""Hati-hati."Dua kakak beradik meninggalkan halaman kantor. Bre yang ada di depan langsung ke mengambil arah ke kantor Pak Robe
"Mama, harus dirawat malam ini," ujar Bre pelan sambil menggenggam tangan Bu Rika."Pulang saja, Bre. Mama nggak apa-apa.""Mama, harus mendapatkan perawatan sampai lebih baik. Mama, kan nggak mau konsultasi lagi dengan dokter Pasha."Seharusnya tiga hari yang lalu jadwal Bu Rika konsultasi dengan dokter Pasha. Namun setelah mengetahui kalau dokter itu hendak menikahi Kenny, Bu Rika menolak diajak kontrol ke sana."Mungkin lusa Mama sudah bisa pulang. Sekarang Mama berobat dulu di sini," tambah Ferry.Setelah dua putranya membujuk, Bu Rika pun mengangguk pelan. Bre bangkit untuk mengurus kamar perawatan, sedangkan Ferry menemani mamanya.Setengah jam kemudian mereka sudah pindah ke paviliun yang dipesan Bre. Biar mamanya merasa nyaman untuk beristirahat. Lima menit kemudian Pak Ringgo dan istrinya juga datang."Kalian kalau mau mandi, pulang dulu nggak apa-apa. Mumpung ada om-mu sama tante di sini." Bu Ita bicara pada Ferry dan Bre."Baiklah, kami pulang dulu, Tan. Habis mandi kami ke
Seharian itu Ferry menjaga sang mama di rumah sakit bersama Bu Ita. Sedangkan Bre mesti ke kantor untuk menemui Adi juga Pak Robert, karena tadi malam tidak bisa ikut meeting. ART mereka juga pulang dan akan kembali sore nanti."Te, aku belikan makan dulu, ya. Tante, mau makan apa?""Belikan lontong balap saja, Fer. Tante udah lama nggak makan lontong balap.""Oke. Mama, mau juga?" Ferry memandang sang mama.Bu Rika menggeleng."Mama, mau apa biar kubelikan.""Nggak usah," jawab Bu Rika pelan.Pintu paviliun diketuk saat Ferry baru saja berdiri. Laki-laki itu membuka pintu dan ia terkejut, ada Kenny dan dua anak mereka berdiri di depan pintu. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ayo, masuk!"Leo dan Lena mencium tangan papanya kemudian masuk mengikuti sang mama."Tahu mama opname dari mana?" tanya Ferry yang urung pergi."Aku telepon Bre tadi, Mas," jawab Kenny. Padahal lebih dulu dikabari oleh dokter Pasha baru Kenny menelepon Bre. Sebab tadi pagi dokter Pasha menengok Bu Rika. Han