RAHASIA TIGA HATI - Terlambat Alan meraih ponsel di nakas. Ingat ada yang menelepon saat dirinya tengah asyik dengan Livia. Untuk apa Bre menelponnya sampai beberapa kali panggilan. Kalau urgent kenapa tidak meninggalkan pesan. Alan menoleh sejenak pada sang istri yang terlelap di bawah selimut. Perlahan ia turun dari atas tempat tidur dan duduk di sofa pojok kamar.[Ada apa menelponku?] Alan mengirimkan pesan. Jarak beberapa detik ada pesan balasan.[Bisa kutelepon sebentar?][Oke.]Alan segera menerima panggilan sebelum ponsel berdering lama. Agar tidak menggangu Livia. "Halo.""Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu. Bisa sore ini kita ketemu. Atau malam nanti. Penting, Lan. Tentang perusahaan Pak Wawan yang hendak merecoki kerjasama kita.""Siapa yang ngasih info?""Nanti kukasih tahu kalau kita bertemu.""Maaf, kalau sekarang aku nggak bisa. Besok di kantor saja biar diurusi sama Adi. Sebab aku ada janjian ketemuan dengan relasi besok jam sepuluh pagi.""Baiklah.""Biar Adi ku
Ferry memang tidak seperti Bre yang sanggup menghabiskan ber pak-pak rokok ketika sedang stres. Lelaki itu kalau sedih hanya duduk diam. Kalau dulu dilampiaskan dengan minuman keras. Namun setelah pernah sakit liver, Ferry tidak berani menyentuh benda haram itu lagi."Kamu percaya dengan apa yang diomongkan Agatha?" Ferry mengalihkan pertanyaan."Apa salahnya coba mempercayainya, Mas. Mungkin juga dia sudah berubah, seperti pengakuannya padaku waktu itu.""Yang dibongkar rahasianya itu adalah keluarganya sendiri, Bre. Apa mungkin dia ingin bisnis keluarganya hancur?"Dua kakak beradik itu saling pandang. Benar juga yang dikatakan Ferry. Agatha yang terbiasa hidup serba mewah berkecukupan, apa sanggup melihat bisnis keluarganya hancur. Apa ini hanya sekedar jebakan? Balas dendam karena wanita itu pernah diabaikan olehnya."Coba kamu cari info yang detail dulu. Aku takut kamu salah ngasih informasi ke Alan atau pun Adi. Kamu bisa menggorek keterangan dari orang lain.""Aku nggak tahu ma
Setelah ia mendengar kalau Kenny hendak menikah dengan dokter Pasha, Bu Rika sekarang sadar kalau ia menjadi orang yang paling kejam di rumah itu. Menjadikan hidup anak-anaknya berantakan. Bre patah hati tiada henti, Ferry merana setengah mati. Dia juga kehilangan teman-teman sosialitanya. Mereka masih ingin bertemu dan menyambangi. Namun Bu Rika menolak. Serasa sudah kehilangan muka di hadapan mereka yang selama ini menganggapnya sebagai wanita korporat yang sempurna.Terlebih setelah Ferry menceritakan pertemuannya dengan Pak Rosyam. Mendengar kalau dirinya sudah dimaafkan kendati tidak datang bertemu lelaki itu. Wajah Livia selalu terbayang. Anak perempuan yang ibunya disingkirkan secara tragis olehnya. Menantu yang tidak hanya di sia-siakan, tapi dipisahkan dari lelaki yang dicintai.Sekarang dia sudah bahagia dan Bre yang masih tenggelam dalam luka.Bu Rika juga kehilangan kebebasan bertemu cucu-cucunya. Bahkan malu berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Terutama pada adi
RAHASIA TIGA HATI - Di Rumah Sakit"Siapa yang sakit?" tanya Ferry."Agatha, Mas. Katanya sudah dua minggu ini dirawat di rumah sakit.""Sakit apa dia?""Asistennya memutuskan panggilan saat kutanya. Seingatku Agatha tidak punya riwayat sakit serius sejak masih sekolah dulu.""Tapi kenapa sampai dua minggu dirawat di rumah sakit.""Entahlah." Bre bangkit dari duduknya dan mengambil jas di standing hanger yang ada dipojokkan. "Kita pulang sekarang, tapi Mas Ferry pulang duluan saja. Tante Ita sudah di rumah sekarang. Aku masih ada meeting dengan Pak Robert dan Alan."Ferry berdiri. Mereka melangkah keluar ruangan. Para staf juga sedang berkemas-kemas. "Kamu nggak ingin cari tahu Gatha sakit apa?" tanya Ferry sebelum masuk ke mobilnya. "Bagaimanapun dia sudah berjasa pada kita, Bre.""Nanti kuhubungi lagi nomernya, setelah aku selesai ketemuan dengan mereka.""Hati-hati."Dua kakak beradik meninggalkan halaman kantor. Bre yang ada di depan langsung ke mengambil arah ke kantor Pak Robe
"Mama, harus dirawat malam ini," ujar Bre pelan sambil menggenggam tangan Bu Rika."Pulang saja, Bre. Mama nggak apa-apa.""Mama, harus mendapatkan perawatan sampai lebih baik. Mama, kan nggak mau konsultasi lagi dengan dokter Pasha."Seharusnya tiga hari yang lalu jadwal Bu Rika konsultasi dengan dokter Pasha. Namun setelah mengetahui kalau dokter itu hendak menikahi Kenny, Bu Rika menolak diajak kontrol ke sana."Mungkin lusa Mama sudah bisa pulang. Sekarang Mama berobat dulu di sini," tambah Ferry.Setelah dua putranya membujuk, Bu Rika pun mengangguk pelan. Bre bangkit untuk mengurus kamar perawatan, sedangkan Ferry menemani mamanya.Setengah jam kemudian mereka sudah pindah ke paviliun yang dipesan Bre. Biar mamanya merasa nyaman untuk beristirahat. Lima menit kemudian Pak Ringgo dan istrinya juga datang."Kalian kalau mau mandi, pulang dulu nggak apa-apa. Mumpung ada om-mu sama tante di sini." Bu Ita bicara pada Ferry dan Bre."Baiklah, kami pulang dulu, Tan. Habis mandi kami ke
Seharian itu Ferry menjaga sang mama di rumah sakit bersama Bu Ita. Sedangkan Bre mesti ke kantor untuk menemui Adi juga Pak Robert, karena tadi malam tidak bisa ikut meeting. ART mereka juga pulang dan akan kembali sore nanti."Te, aku belikan makan dulu, ya. Tante, mau makan apa?""Belikan lontong balap saja, Fer. Tante udah lama nggak makan lontong balap.""Oke. Mama, mau juga?" Ferry memandang sang mama.Bu Rika menggeleng."Mama, mau apa biar kubelikan.""Nggak usah," jawab Bu Rika pelan.Pintu paviliun diketuk saat Ferry baru saja berdiri. Laki-laki itu membuka pintu dan ia terkejut, ada Kenny dan dua anak mereka berdiri di depan pintu. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Ayo, masuk!"Leo dan Lena mencium tangan papanya kemudian masuk mengikuti sang mama."Tahu mama opname dari mana?" tanya Ferry yang urung pergi."Aku telepon Bre tadi, Mas," jawab Kenny. Padahal lebih dulu dikabari oleh dokter Pasha baru Kenny menelepon Bre. Sebab tadi pagi dokter Pasha menengok Bu Rika. Han
RAHASIA TIGA HATI - Menyadari Kesalahan "Kabar ini dari mana, Pak Adi?" tanya Bre setelah Adi memberikan informasi tentang keluarga Pak Wawan. Pagi itu mereka memang sedang meeting di kantor Pak Robert."Alan yang ngasih tahu saya kemarin. Urusan mereka sudah sampai ke ranah hukum dan sedang dilakukan penyelidikan sekarang ini. Untuk detailnya permasalahan itu kami tidak tahu. Yang jelas Pak Wawan dan Pak Ryan sedang bersengketa sekarang." Adi menjelaskan. Pak Robert dan Ella mendengarkan perbicangan itu. "Kenapa tidak ada kabar di media?" Bre penasaran. Biasanya apapun yang terjadi tentang mereka, selalu menjadi santapan empuk media. "Bisa jadi mereka membungkamnya. Atau karena sidang belum digelar, jadi wartawan belum tahu," jawab Adi.Kabar yang tentunya mengagetkan bagi Bre. Padahal selama ini yang ia tahu, dua bersaudara itu cukup kompak. Tidak mengira sekarang bersengketa hingga ke pengadilan. Lantas bagaimana dengan Agatha? Dia sakit kan sekarang ini?"Semoga projek kita b
Biasa kalau terlambat datang bulan, ia minum pil atau jamu langsung tamu bulanannya datang. Tapi anak ini sungguh bandel. Tiap pagi dibawa jogging, kadang sit up, terus badminton sepulang dari kantor bersama teman-temannya, nyatanya janin itu tetap kuat bertahan.Kemudian ia sangat berharap, anak itu benihnya Ferry. Bukankah mereka sering juga bersama? Tapi kenapa sebelum tes DNA pun sudah jelas ketahuan kalau wajah mereka tidak mirip sama sekali. Justru mirip dengan Jhoni. Pacarnya sebelum ia menjalin hubungan kembali dengan Ferry."Jika kamu ninggalin aku, akan kamu terima akhibatnya," ancam Jhoni ketika Irma minta putus karena ingin kembali pada kekasih lamanya. Tidak peduli meski Ferry masih memiliki istri. Jhoni juga mengancam akan membongkar rahasia Irma pada keluarganya jika sampai ia ditinggalkan. Rahasia tentang Irma yang sering kencan dengan relasi bisnis papanya.Jhoni tetap menemuinya di apartemen seperti biasa. Begitu juga dengan Ferry. Kemudian Ferry menjauh setelah Irma
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K