Tidak bisa mengelak saat nalurinya juga menginginkan. Kalimat bijak yang tersusun di kepala tiba-tiba luruh sebelum diungkapkan.Alan kian menggebu dan Livia pun ikut tenggelam tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.Senyum puas menghiasi bibir lelaki itu. Tidak perlu berdebat dan mengeluarkan dalil untuk menceramahi istrinya tentang dosa akhibat menolak ajakan suami berhubungan badan. Tak usah memaksa dengan kasar. Cukup perhatikan saat dia bicara, sambil bergerilya diam-diam dan akhirnya pun Livia tumbang.Selimut ditarik Alan untuk menutupi tubuh mereka. Mengusap keringat di dahi Livia, kemudian memeluknya.Livia memejam. Padahal ia sudah mempersiapkan konsep malam romantis. Tadi siang sudah pesan ling*rie s*ksi dari butik langganannya. Mungkin besok baru di antar. Ingin mengganti seprai dengan yang baru ia beli, menyalakan lilin aromaterapi di setiap sudut kamar, untuk pengharum ruangan tetap aroma mint kesukaan suaminya.Namun harapannya untuk mempersiapkan malam yang indah telah
"Mas belum tahu. Kemarin nggak sempet nanya karena ada tamu. Nanti ketemu di kantor kita tanya." "Aku khawatir." "Nanti kita dampingi ayah saat mereka ketemuan. Mungkin setelah banyak peristiwa mengguncang keluarga Hutama, akhirnya membuat mereka sadar. Makanya ingin minta maaf sama ayah." "Setelah kami kehilangan." Livia berubah sendu. Apa dua nyawa bisa ditebus dengan kata maaf saja. "Kenapa waktu itu Mas nggak mau langsung cerita padaku kalau mencurigai mereka sebagai pelakunya?" "Kalau mas cerita, apa yang akan kamu lakukan? Meninggalkan Bre?" Livia diam sejenak. "Mungkin saja," jawabnya kemudian. Ada nada getir terselip di sana. Pasti saat itu akan menjadi pilihan yang paling sulit. Sakit hati atas kejahatan keluarga Hutama, tapi ia juga mencintai Bre yang tidak tahu apa-apa. "Waktu itu mas nggak punya bukti apa-apa. Hanya sekedar curiga dan melakukan penyelidikan yang tidak tuntas, karena kamu dan Bre akan menikah." Hening. "Sayang, kita tidak bisa memutar wak
RAHASIA TIGA HATI - Anak siapa?"Apa Mbak Ella tiap hari ke sini?" tanya Livia lirih pada Rasty. Mereka tengah berhenti di tengah tangga."Seminggu kadang dua sampai tiga kali datang, Mbak.""Untuk apa? Di sini kan bukan kantornya.""Saya kurang tahu. Biasanya dia ada di ruang rapat untuk membahas sesuatu dengan Pak Adi, Pak Alan, dan tim yang akan mengerjakan projek bulan depan." Rasty yang merasa tak enak hati jadi serba salah hendak menjelaskan.Livia masih berdiri. Soal kerjasama tidak seharusnya setiap hari bertemu. Mereka juga memiliki asisten. Kalau hal sederhana saja dilakukan sendiri, apa fungsinya seorang asisten."Apa dia juga sering bawa makanan ke sini?""Iya. Tapi Pak Adi, Pak Alan nggak pernah mengambil. Biasanya dimakan sama para staf."Lega. Siapa tahu makanan itu ada pemikatnya, jampi-jampi, atau pelet. Ish, Livia menepis pikiran konyolnya. Tidak ada yang tidak mungkin. Hidup senantiasa berdampingan dengan yang nyata dan tidak nyata. Pikiran manusia kadang waras kad
Livia masuk ke ruangan dan mengunci pintu. Khawatir kalau ada yang nyelonong masuk. Selain pumping ASI, ia juga hendak mengoleskan cream di area perutnya.Ketika tengah mengoleskan cream sambil menunggu ASI penuh, ponselnya berdering. "Halo, Mas.""Sayang, kenapa pintunya dikunci." "Aku lagi me time. Jangan masuk dulu.""Me time apaan? Bukain pintunya, Livi!""Ish, jangan. Setelah selesai baru kubuka.""Okelah."Livia meletakkan kembali ponselnya. Sedangkan Alan kembali ke ruangan. Dia tadi khawatir kalau ada apa-apa dengan Livia setelah melihat sang istri berbincang-bincang dengan Ella.Sambil menunggu Livia mendatanginya, Alan melakukan video call dengan mamanya. Hari-hari biasa Livia yang di telepon untuk mengobati kangennya pada Alvian. Setelah Livia masuk kerja, ganti menelepon sang mama.***L***Matahari bersinar terik siang itu saat mobil Bre melaju di keramaian kota. Dari kantor Pak Robert langsung ke rumah sakit dan bertemu kakaknya di sana. Sedangkan Ferry berangkat dari k
RAHASIA TIGA HATI - Siapa pria itu?Bre memperhatikan sang kakak yang mengalihkan pandangan ke kejauhan. Wajah luka dan kecewa tampak di sana. Ia tahu kalau Ferry masih memiliki harapan untuk kembali. Seperti dirinya dulu. Namun kesempatan itu tidak ada. Sedangkan sang kakak masih punya peluang, meski pun belum tentu Kenny mau kembali."Kamu tahu siapa laki-laki itu?""Aku nggak tahu. Mbak Kenny nggak cerita."Ferry menarik napas panjang. Rasa lega tadi sudah lenyap tergantikan keresahan yang menggumpal dalam dada. Terlepas dari satu permasalahan, muncul lagi sesuatu yang membuatnya resah."Perjuangkan kalau kamu mampu, Mas. Jika Mbak Kenny enggan menerimamu lagi, Mas harus rela dengan lapang dada. Ikhlaskan. Mungkin baginya akan bahagia hidup dengan orang lain. Tetaplah jadi papa yang baik saja buat anak-anak."Mendengar perkataan Bre, Ferry hanya bisa mengangguk pelan. Sudah dua kali ia selingkuh, mungkin sukar bagi Kenny untuk menerimanya lagi. "Kita kembali ke kantor. Banyak yan
"Membuatmu dan Livia juga berpisah. Beberapa minggu ini aku merenung. Flashback apa yang telah kulalui. Aku bersalah telah menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian. Maafkan aku. Andai saja dulu aku menolak dan tidak menuruti ambisiku sendiri, mungkin kamu nggak sampai cerai dengan Livia. Kalau aku nggak setuju, mana mungkin mereka berhasil memisahkan kalian." Agatha bicara hingga suaranya terdengar parau karena isak tertahan."Semua sudah terjadi, Tha. Tanpa adanya kamu pun, mungkin aku dan Livia tetap dipisahkan." Bre bangkit dari kursi dan melangkah ke arah jendela kaca. Menatap langit yang beranjak sore."Maksudmu gimana, aku nggak paham.""Aku nggak bisa ceritakan hal ini ke kamu.""Oh ... nggak apa-apa."Untuk beberapa saat mereka saling diam. Tentu saja Bre tidak akan menceritakan pada Agatha, tentang dendam kesumat sang mama pada keluarga Livia. Pada Bu Safitria yang dibencinya. Tanpa hadirnya Agatha, sang mama pasti tetap memintanya untuk menceraikan Livia. Karena tujuannya
"Aku mengenalnya?" kejar Ferry. Dan hanya dijawab senyuman oleh Kenny. Tambah membuat pria itu penasaran. "Anak-anak bagaimana?""Semua butuh proses, Mas. Butuh penyesuaian diri, adaptasi. Karena hidup akan selalu bertemu dengan hal baru. Anak-anak pasti mengerti dan bisa menerima pada akhirnya."Diam. Dada Ferry terasa perih. Sepertinya Kenny sudah benar-benar move on darinya. Ingin memulai hidup baru dengan insan baru."Apa nggak ada kesempatan lagi untuk kita memperbaiki hubungan ini?" Ferry memberanikan diri. Ingat kata Bre, kalau masih ada kesempatan untuk berjuang. Kenny tersenyum samar. "Aku sudah memberikan kesempatan padamu dulu, Mas. Kala itu aku bilang, jika sekali lagi terulang, aku sudah nggak bisa lagi ngasih kesempatan. Apalagi hubunganmu dengan Irma sangat fatal. Demi membela perempuan itu, kamu tega menamparku.""Maafkan aku. Mungkin memang aku sudah nggak pantas lagi buatmu. Aku pernah sakit yang amat memalukan.""Sekalipun nggak bisa bersama-sama lagi, kita masih
RAHASIA TIGA HATI - Jujur Mobil berhenti di luar pagar rumah Pak Rosyam. Bre dan Ferry masih diam di dalam kendaraan."Malam ini Leo dan Lena lagi kenalan sama calon ayah mereka. Sedangkan di sini kita bertemu dengan orang-orang yang pernah kita sakiti untuk meminta maaf," ujar Ferry datar. Bre memandang di antara celah pagar. Ini bukan tentang bagaimana ia harus bertekuk lutut, meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, juga Alan. Baginya hal itu tidak lagi menjadi beban dan masalah. Tapi ini tentang wanita yang ada di dalam sana. Jujur saja, dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dua lelaki yang tengah gundah itu masih diam. Ferry paham perasaan Bre, begitu juga sebaliknya. "Kita jadi turun, Mas?" tanya Bre akhirnya."Ayo!" Ferry membuka pintu mobil. Bre pun sama. Keduanya melangkah masuk lewat pintu pagar yang tidak terkunci. Di carport sudah ada mobil milik Alan.Bre seperti tidak menapak di bumi. Tubuhnya melayang. Perasaan dalam dadanya susah sekali dikendalikan. Entah bag