"Mas Sam di klinik sampai jam sembilan nanti. Dia bukan tipe lelaki yang cemburuan. Kami sama-sama tahu kalau memiliki aktivitas yang berhubungan dengan banyak orang. Klien, teman, pasien. Jadi saling memahami." "Hebat." "Sebenarnya semua pasangan bisa melakukannya." "Ya." Diva menatap Bre. Apa ini salah satu permasalahan sehingga Bre dua kali bercerai? "Kamu kerja atau full time jadi housewife?" "Sudah setahun ini aku kembali kerja di perusahaan Papa Rey, setelah suamiku ngasih izin. Anakku dijaga baby sitter." Keduanya berbincang mengilas balik zaman sekolah. Sejenak Bre terhibur oleh kenangan masa lalu. Bre tahu banyak tentang kisah hidup Diva. Ibu kandungnya meninggal setelah bercerai dari papanya. Beberapa tahun kemudian papanya juga meninggal dunia dan Diva tinggal sama istri barunya. Untung Diva memiliki ibu tiri yang baik. Pesanan Bre di antar lebih dulu. "Div, maaf aku pamit dulu, ya. Lain kali kita bisa ketemuan lagi. Pengen juga bertemu suamimu." "Oke, Br
Livia termangu. Ia sudah tahu hal itu. Namun jika diungkap lagi, hatinya masih tetap perih. Yang belum diketahui secara gamblang olehnya, adalah kisah percintaan antara orang tuanya dan orang tua Bre yang berujung dendam tak berkesudahan. "Tapi kenapa Mas Alan masih bertahan kerjasama dengan Pak Robert?" Livia menatap lekat suaminya. "Hmmm, kenapa? Kan Mas sudah bisa menduga Pak Robert seperti apa. Karena ada Mbak Ella, ya?" "Livi, bukan begitu. Kamu masih ingat kan, dia orang yang pertama kali ngajak kerjasama disaat AFBC baru berdiri. Selagi dia nggak curang dan menikam dari belakang. Mas nggak punya alasan untuk mundur. Nanti kalau ada bukti, Mas akan bertindak. Mas sama Adi tetap berhati-hati, kamu jangan khawatir. Perjanjian kami memiliki kekuatan hukum. Mengenai Ella, percayalah mas hanya mencintaimu. Nggak ada perempuan lain yang bisa gantiin kamu." Tatapan Alan meluluhkan Livia. Wajah perempuan itu menghangat saat ditenung dengan mesra. Raganya bersandar pada tubuh kokoh
RAHASIA TIGA HATI - Peluang KeduaTujuh minggu kemudian ...."Mas!" pekik lirih Livia saat Alan tiba-tiba muncul di depannya. Segera ditariknya kaus ke bawah hingga menutupi perut.Padahal dia tengah asyik mengoleskan cream di area perutnya yang agak menghitam dan masih bergelambir pasca melahirkan. Cream khusus yang sudah dipakai semenjak dia hamil untuk mencegah terjadinya stretch mark.Alan tersenyum melihat tingkah istrinya. Dulu waktu masih hamil Livia enjoy saja mengoleskan cream di perutnya. Bahkan malah senang kalau Alan membantu mengoles dan mengusap-usap perut sambil mengajak bayi mereka bicara. Sekarang jangankan di pegang, dilihat saja tidak boleh. Buru-buru ditutupinya jika kepergok Alan masuk kamar."Sayang, kenapa selalu panik gitu kalau mas masuk.""Kan aku sudah bilang kalau jangan dilihat," jawab Livia seraya berdiri dan menyiapkan baju kerja suaminya."Siapa yang ngelihat. Mas kan mau ganti baju dan berangkat ke kantor.""Aku insecure tau," sungut Livia sambil memb
Seminggu yang lalu disaat dia berusaha bicara baik-baik dengan sang mama, supaya mau diajak ketemuan dan meminta maaf pada Pak Rosyam dan Livia, justru mamanya mendiamkannya. "Mumpung masih ada kesempatan, Ma. Ayolah, mereka orang-orang baik. Nggak mungkin mereka ganti menghina kita. Mama, nggak usah malu nggak usah takut. Kita pergi bertiga."Sepatah katapun Bu Rika tidak mau menjawab. Lantas diam berhari-hari. Apa Bre salah mengajak sang mama untuk berbuat baik?Malam itu ia kaget saat melihat pisau di tangan sang mama. Bre berhasil merebutnya lalu membanting benda itu di atas meja. "Apa yang Mama lakukan ini? Mengakhiri hidup tidak akan menyelesaikan masalah, Ma."Semenjak saat itu Bre kembali down. Padahal dia sudah bisa mulai menata hati setelah bertemu Alan. Lega setelah bicara dengan kakaknya yang bersedia diajak pergi menemui Pak Rosyam dan Livia. Namun sikap sang mama yang membuat Bre kaget dan frustasi. Ternyata bukan Pak Rosyam yang tidak waras selama ini, tapi mamanya send
Dua pria masuk ke kendaraan masing-masing. Mereka meluncur ke rumah makan yang tadi disebutkan. Di jam makan siang, kondisi rumah makan sangat ramai. Setelah mengambil makanan dan minum, mereka duduk di bagian teras restoran. Rumah makan itu memang mengusung konsep prasmanan. Jadi mengambil nasi dan lauknya sendiri. Bayar baru duduk. "Mamaku pernah bilang kalau kamu menolak projek ini. Kenapa sekarang menerimanya?" Bre membuka pertanyaan. "Saat itu aku hanya menolak kerjasama dengan Bu Rika, bukan dengan Pak Robert. Jika sekarang pekerjaan kami masih berlanjut dan perusahaanmu terlibat, aku bisa terima. Di samping itu, karena Bu Rika mundur dan kamu yang maju, makanya aku melanjutkan kerjasama ini." "Kamu nggak takut aku bakalan curang?" "Perjanjian kita jelas bukan? Kalau pun kamu curang, bukan aku yang rugi. Nggak ada kerugian bagi orang-orang yang berusaha jujur, on the track, Bre. Apa kamu akan mempersulit diri sendiri dengan bersikap licik?" Bre tercekat mendengar jaw
RAHASIA TIGA HATI - My Sweetheart "Kamu serius mau kerjasama dengan Hutama Jaya?" Adi bertanya setelah Alan kembali ke kantor dan menceritakan pertemuannya dengan Pak Robert juga Bre."Ya.""Bre ini mantan suami Livia. Track record-nya beberapa bulan yang lalu pasti masih kamu ingat, kan? Dia pernah bawa kabur istrimu.""Tentu aku ingat.""Kamu nggak khawatir?""Kita akan bekerja secara profesional, Di. Kamu yang pegang projek ini. Setelah apa yang terjadi, tentu Bre sudah berubah. Kalau nggak juga berubah, bukan kita yang rugi, tapi perusahaannya. Semua orang menjauhinya. Dia akan rugi kalau bertindak macam-macam. Projek ini sangat menjanjikan.""Terus bagaimana dengan Livia? Kamu nggak khawatir Bre akan membuat ulah lagi? Gambling dalam bisnis biasa, Lan. Tapi tidak dengan rumah tangga." Adi berusaha untuk mengingatkan sahabatnya."Kamu benar. Tapi aku percaya sama istriku, Bro. Kamu ingat saat kita memutuskan bekerjasama dengan Pak Robert dulu. Disaat semua orang meragukan perusa
Tidak bisa mengelak saat nalurinya juga menginginkan. Kalimat bijak yang tersusun di kepala tiba-tiba luruh sebelum diungkapkan.Alan kian menggebu dan Livia pun ikut tenggelam tidak hanya sekali. Tapi berkali-kali.Senyum puas menghiasi bibir lelaki itu. Tidak perlu berdebat dan mengeluarkan dalil untuk menceramahi istrinya tentang dosa akhibat menolak ajakan suami berhubungan badan. Tak usah memaksa dengan kasar. Cukup perhatikan saat dia bicara, sambil bergerilya diam-diam dan akhirnya pun Livia tumbang.Selimut ditarik Alan untuk menutupi tubuh mereka. Mengusap keringat di dahi Livia, kemudian memeluknya.Livia memejam. Padahal ia sudah mempersiapkan konsep malam romantis. Tadi siang sudah pesan ling*rie s*ksi dari butik langganannya. Mungkin besok baru di antar. Ingin mengganti seprai dengan yang baru ia beli, menyalakan lilin aromaterapi di setiap sudut kamar, untuk pengharum ruangan tetap aroma mint kesukaan suaminya.Namun harapannya untuk mempersiapkan malam yang indah telah
"Mas belum tahu. Kemarin nggak sempet nanya karena ada tamu. Nanti ketemu di kantor kita tanya." "Aku khawatir." "Nanti kita dampingi ayah saat mereka ketemuan. Mungkin setelah banyak peristiwa mengguncang keluarga Hutama, akhirnya membuat mereka sadar. Makanya ingin minta maaf sama ayah." "Setelah kami kehilangan." Livia berubah sendu. Apa dua nyawa bisa ditebus dengan kata maaf saja. "Kenapa waktu itu Mas nggak mau langsung cerita padaku kalau mencurigai mereka sebagai pelakunya?" "Kalau mas cerita, apa yang akan kamu lakukan? Meninggalkan Bre?" Livia diam sejenak. "Mungkin saja," jawabnya kemudian. Ada nada getir terselip di sana. Pasti saat itu akan menjadi pilihan yang paling sulit. Sakit hati atas kejahatan keluarga Hutama, tapi ia juga mencintai Bre yang tidak tahu apa-apa. "Waktu itu mas nggak punya bukti apa-apa. Hanya sekedar curiga dan melakukan penyelidikan yang tidak tuntas, karena kamu dan Bre akan menikah." Hening. "Sayang, kita tidak bisa memutar wak
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K