"Maafmu nggak bisa mengembalikan Livia padaku, Mas," keluh Bre sambil menunduk. Ferry merasakan hatinya tertusuk penyesalan. Mereka sama-sama merasakan kehilangan wanita terbaik dalam hidupnya. Ferry merasa sangat bersalah. Tapi tidak tahu bagaimana ia menebus kesalahannya di masa lalu. Mengembalikan Livia pada Bre jelas tidak mungkin. Mustahil sekali. Apa dia mau mati di tangan Alan jika mengusik Livia."Kalau mereka macem-macem lagi, laporkan saja ke polisi, Mas. Kita nggak bisa diam saja sedangkan nyawa terancam.""Aib akan terbongkar kalau aku lapor polisi dan media akan tahu. Ini memalukan, Bre.""Syukurlah kalau sekarang Mas paham apa itu malu. Kenapa nggak dari dulu saja kamu berpikir begini, Mas."Ferry bungkam dan tidak berani menatap wajah sang adik."Dengan cara apa kalian dulu menghancurkan bisnis Pak Rosyam sampai aku pun tidak tahu dan tak menyadarinya ketika kalian bertindak?" Bre mengambil kesempatan untuk bertanya pada sang kakak. Mendengar pertanyaan serius itu Ferry
"Maaf, Ella nggak bisa ikut karena lagi demam," ujar Bu Robert saat menyalami Livia."Nggak apa-apa, Bu. Makasih banyak atas kedatangannya." Livia yang memakai gamis brokat warna putih dan jilbab warna sama, membalas pelukan Bu Robert."Mau fokus dulu pada anak atau langsung ngantor, Liv?" tanya Kenny menghampiri Livia lagi sambil membawa piring berisi kue."Aku cuti sampai nifas selesai, Mbak. Alvi sudah mau minum pakai dot. Cuman tetap minum ASI yang ku-pumping. Kalau sudah pulang ke rumah, aku nenenin langsung.""Harus rajin-rajin pumping. 3-4 jam sekali selama lima belas menitan. Lakukan pumping secara bergantian, jangan bebarengan biar ASI yang didapat lebih banyak.""Mbak Kenny, dulu juga gitu?""Iya. Agak ribet, Liv. Tapi enaknya kamu kan kerja di perusahaan sendiri. Susahnya itu kalau kerja ikut orang.""Aku tetap profesional, Mbak. Makanya aku ngambil cuti pun sama seperti cuti bersalin karyawan pada umumnya. Oh ya, kalau ada acara bahagia, jangan lupa undang kami, ya."Dahi
RAHASIA TIGA HATI - Maaf"Papa, kenapa sampai luka-luka seperti ini?" tanya Lena yang duduk tepat di samping Ferry sambil memperhatikan dan menyentuh rahang papanya yang membiru."O, papa habis jatuh, Sayang.""Jatuh di mana kok sampe seperti ini?" Lena memang sangat dekat dengan Ferry. Selalu memperhatikan, apalagi jika Ferry pulang malam pasti akan diserbu dengan banyak pertanyaan. Dan ini momen yang paling dirindukan oleh Ferry setelah mereka berpisah tempat tinggal."Di jalan.""Pasti ini sakit." Lena menyentuh tangan Ferry yang dibalut gips."Iya. Doain papa lekas sembuh, ya."Lena mengangguk. Ferry beralih memandang Leo yang sejak tadi hanya diam saja duduk di kursi sebelah Bre. Si sulung yang selama ini juga dekat dengannya, semenjak memergoki mamanya di tampar Ferry, dia jadi pendiam kalau bertemu papanya. Malah sekarang lebih akrab dengan Bre."Leo," panggil Ferry.Bocah lelaki itu turun dari kursi lantas mendekat. Ferry mengusap kepala putranya. "Doain papa lekas sembuh, ya
Langit berwarna tembaga saat mobil Bre berhenti di halaman sebuah apartemen. Info yang ia dapatkan, Irma masih tinggal di apartemen ditemani kakak perempuannya. Ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan wanita yang membuat permasalahan keluarganya makin mengular.Bre turun dari mobil dan melangkah menuju lift. Kapsul besi membawanya naik ke lantai lima. Diketuknya rumah nomer 5-B2.Beberapa saat menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketika hendak pergi, pintu di buka dari dalam. Seorang wanita dewasa muncul dan kaget ketika melihatnya."Ada apa?" tanya perempuan itu dengan nada dingin."Aku ingin bertemu Irma.""Dia nggak ingin bertemu siapapun sekarang ini kecuali kakakmu. Sebaiknya kamu suruh Ferry yang datang ke sini.""Boleh aku masuk? Aku nggak akan lama." Bre tidak menggubris perkataan wanita di ambang pintu."Siapa, Mbak?" terdengar suara lemah dari dalam."Bre."Tidak lama muncul seseorang yang bertubuh kurus. Hampir saja Bre tidak mengenalinya. Sungguh jauh berbeda den
Dalam bisnis properti jelas Pak Rosyam yang berperan penting. Meski memulai lagi dari nol. Namun tidak khawatir karena ada anak dan menantu yang mendukungnya secara maksimal. Tapi tetap Alan yang berperan di depan."Pak Ryan masih memberikan kesempatan pada Pak Alan untuk kembali memikirkan penawaran kami." Lelaki itu menunjukkan pesan yang dikirim oleh bosnya."Keputusan saya sudah final, Pak Budi." Lelaki itu manggut-manggut kemudian pamitan. Meninggalkan Alan di meja makan sebuah restoran. Kecewa, harapannya naik jabatan sudah pupus.Di sudut yang lain, ternyata Bre sedang memperhatikan pertemuan mereka. Jadi mereka bekerjasama sekarang. Apa Alan tidak tahu kalau perusahaan keluarga Agatha yang menghancurkan bisnis Pak Rosyam. Bre bangkit dari duduknya dan menghampiri Alan. "Boleh aku duduk di sini!"Alan memandang Bre beberapa saat. "Silakan!""Mau minum apa?" tanya Alan. Seolah di antara mereka tidak pernah terjadi perselisihan."Aku sudah pesan makanan untuk kubawa pulang."H
RAHASIA TIGA HATI - Penyesalan "Bre." Perempuan itu tersenyum dan menghampiri. Tidak menyangka akan bertemu Bre di sana. Entah sudah berapa tahun mereka tidak bersua semenjak lulus SMA. "Apa kabar, Div. Surprise banget ketemu kamu di sini." Bre tersenyum seraya menyalami Diva. "Kabar baik. Fatih, ayo salim sama Om Bre." Diva menyuruh bocah umur dua tahun yang digendongnya untuk bersalaman dengan Bre. "Hai, ganteng. Siapa namamu?" Bre tersenyum pada pria kecil yang menatapnya heran. "Alfatih, Om." Diva yang menjawab. "Om ini temannya mama, Fatih." Diva menjelaskan pada putranya yang belum begitu mengerti. "Kalian hanya berdua saja. Mana suamimu?" "Kalau jam segini Mas Sam masih di klinik, Bre." "Oh." "Bentar ya, aku pesen makanan dulu." Sambil menggendong anaknya Diva pergi ke kasir. Bre memperhatikan wanita itu. Wanita yang diam-diam pernah menyukainya. Namun saat itu Bre hanya menganggapnya teman biasa. Diva menjauh saat Bre dekat dengan Agatha. Padahal antar
"Mas Sam di klinik sampai jam sembilan nanti. Dia bukan tipe lelaki yang cemburuan. Kami sama-sama tahu kalau memiliki aktivitas yang berhubungan dengan banyak orang. Klien, teman, pasien. Jadi saling memahami." "Hebat." "Sebenarnya semua pasangan bisa melakukannya." "Ya." Diva menatap Bre. Apa ini salah satu permasalahan sehingga Bre dua kali bercerai? "Kamu kerja atau full time jadi housewife?" "Sudah setahun ini aku kembali kerja di perusahaan Papa Rey, setelah suamiku ngasih izin. Anakku dijaga baby sitter." Keduanya berbincang mengilas balik zaman sekolah. Sejenak Bre terhibur oleh kenangan masa lalu. Bre tahu banyak tentang kisah hidup Diva. Ibu kandungnya meninggal setelah bercerai dari papanya. Beberapa tahun kemudian papanya juga meninggal dunia dan Diva tinggal sama istri barunya. Untung Diva memiliki ibu tiri yang baik. Pesanan Bre di antar lebih dulu. "Div, maaf aku pamit dulu, ya. Lain kali kita bisa ketemuan lagi. Pengen juga bertemu suamimu." "Oke, Br
Livia termangu. Ia sudah tahu hal itu. Namun jika diungkap lagi, hatinya masih tetap perih. Yang belum diketahui secara gamblang olehnya, adalah kisah percintaan antara orang tuanya dan orang tua Bre yang berujung dendam tak berkesudahan. "Tapi kenapa Mas Alan masih bertahan kerjasama dengan Pak Robert?" Livia menatap lekat suaminya. "Hmmm, kenapa? Kan Mas sudah bisa menduga Pak Robert seperti apa. Karena ada Mbak Ella, ya?" "Livi, bukan begitu. Kamu masih ingat kan, dia orang yang pertama kali ngajak kerjasama disaat AFBC baru berdiri. Selagi dia nggak curang dan menikam dari belakang. Mas nggak punya alasan untuk mundur. Nanti kalau ada bukti, Mas akan bertindak. Mas sama Adi tetap berhati-hati, kamu jangan khawatir. Perjanjian kami memiliki kekuatan hukum. Mengenai Ella, percayalah mas hanya mencintaimu. Nggak ada perempuan lain yang bisa gantiin kamu." Tatapan Alan meluluhkan Livia. Wajah perempuan itu menghangat saat ditenung dengan mesra. Raganya bersandar pada tubuh kokoh