RAHASIA TIGA HATI - Hari yang Indah Tujuh jam terlewati. Alan kian cemas karena bayinya belum juga lahir. "Sabar, Pak Alan. Proses persalinan normal memang menguras waktu, apalagi ini persalinan pertama. Jarak dari pembukaan pertama hingga dilatasi penuh dan melahirkan butuh waktu 8-12 jam untuk persalinan pertama kali, bahkan bisa lebih dari itu. Kondisi Bu Livia dan posisi babynya sangat baik. Jadi tidak dibutuhkan tindakan lain. Serviks perlu membuka hingga bukaan 10 cm supaya bayi bisa lahir." Sejam yang lalu Dokter memberikan pengertian pada Alan.Namun tidak mengurangi kekhawatirannnya. Terlebih Livia hanya diam saja. Kalau capek berbaring, ia minta turun dan mondar-mandir di ruangan. Jika kontraksi datang, ia akan diam sambil menyangga perutnya."Kenapa kamu diam saja, hmmm ...." Alan mencium kening istrinya yang basah berkeringat. Livia menyandarkan kepala di dada Alan sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, merasakan kontraksi yang kembali datang.Melihat kepanikan Alan,
Baru kali ini dia melihat putranya kebingungan dan cemas. Karena Alan selalu terbiasa menghadapi apapun dengan tenang. Namun sekarang terlihat rapuh dan tidak tahu harus berbuat apa. Selain memeluk, mengusap perut, dan menciumi wajah Livia yang bersimbah keringat.Dokter tadi sudah menjelaskan lagi bahwa Livia bisa menjalani persalinan normal dan tidak ada kendala yang membuatnya harus diambil tindakan Cesar."Jangan khawatir, Pak Alan. Istri Anda loh tenang dan baik-baik saja," ujar dokter ketika Alan protes. Iya, dokter bisa bilang seperti itu karena melihat Livia diam. Tapi mana tahu apa yang dirasakan Alan. Andai bisa, ia ingin memindahkan rasa sakit itu pada dirinya.Bidan yang bertugas masuk melakukan pemeriksaan setelah dipanggil oleh seorang perawat. Karena kontraksi yang dialami Livia makin rapat. Tidak lama kemudian dokter dan seorang perawat datang."Sudah bukaan sembilan, Dok." Bidan memberitahu dokter.Hitungan menit para medis sibuk mempersiapkan untuk menyambut kelahir
"Yuk, kita nemui nenek dulu di kamarnya," ajak Ferry. Leo dan Lena berlari menuju kamar Bu Rika.Wanita itu sangat bahagia jika kedua cucunya datang. Sedangkan Ferry keluar lagi saat mendengar ponselnya di ruang keluarga berdering. Agatha yang menelpon."Halo.""Mas, Mbak Irma masuk rumah sakit sejam yang lalu. Dia mengalami pendarahan." Agatha memberitahu."Kenapa memberitahuku," jawab Ferry datar. "Karena bolak-balik dia menanyakanmu. Dia bilang mau bu*nuh diri kalau Mas Ferry nggak mau datang."Ferry menghela nafas panjang. Masih ruwet saja urusannya dengan Irma dan keluarganya. Ancaman demi ancaman menjadi teror setiap hari. Hidupnya mana bisa tenang. Mereka menginginkan Ferry menikahi Irma untuk menutupi kehamilannya. Apalagi keluarga tahu kalau sekarang ini Irma tengah menderita sakit."Sudah kubilang sejak awal. Aku akan bertanggung jawab jika terbukti anak yang dikandungnya itu darah dagingku. Ingat juga, jangan sampai memanipulasi tes DNA-nya nanti." Selesai bicara, Ferry la
RAHASIA TIGA HATI - Jatuh Cinta Bre menunduk dengan kedua siku tangan bertumpu pada pahanya. Ferry yang berbaring di sebelahnya baru saja cerita kronologi dirinya dikeroyok sejumlah preman saat dalam perjalanan menemui seorang rekan bisnis."Apa kemungkinan ini suruhan orang yang sama saat Mas ditolong Alan malam itu?" tanya Bre."Iya. Sepertinya ini suruhan Pak Rian, papanya Irma. Tapi pasti ada andil dari Pak Wawan juga," jawab Ferry sambil mendesis karena menahan sakit dari rahangnya yang memar dan sudut bibirnya yang pecah. Tangan kirinya juga di gips karena sedikit retak.Bre menghela nafas panjang. Berbagai peristiwa bertubi-tubi menghantam keluarganya. Apa ini karma?"Itu ujian buat kalian, Bre. Jangan bilang tentang karma," kata Bu Ita di telepon tempo hari. Ucapan yang hanya untuk menenangkannya saja.Luka-luka dan lebam di tubuh kakaknya lumayan parah. Ferry seorang diri dan tidak bisa bela diri, jangankan melawan tiga orang, melawan satu orang saja dia tidak akan mampu.
"Maafmu nggak bisa mengembalikan Livia padaku, Mas," keluh Bre sambil menunduk. Ferry merasakan hatinya tertusuk penyesalan. Mereka sama-sama merasakan kehilangan wanita terbaik dalam hidupnya. Ferry merasa sangat bersalah. Tapi tidak tahu bagaimana ia menebus kesalahannya di masa lalu. Mengembalikan Livia pada Bre jelas tidak mungkin. Mustahil sekali. Apa dia mau mati di tangan Alan jika mengusik Livia."Kalau mereka macem-macem lagi, laporkan saja ke polisi, Mas. Kita nggak bisa diam saja sedangkan nyawa terancam.""Aib akan terbongkar kalau aku lapor polisi dan media akan tahu. Ini memalukan, Bre.""Syukurlah kalau sekarang Mas paham apa itu malu. Kenapa nggak dari dulu saja kamu berpikir begini, Mas."Ferry bungkam dan tidak berani menatap wajah sang adik."Dengan cara apa kalian dulu menghancurkan bisnis Pak Rosyam sampai aku pun tidak tahu dan tak menyadarinya ketika kalian bertindak?" Bre mengambil kesempatan untuk bertanya pada sang kakak. Mendengar pertanyaan serius itu Ferry
"Maaf, Ella nggak bisa ikut karena lagi demam," ujar Bu Robert saat menyalami Livia."Nggak apa-apa, Bu. Makasih banyak atas kedatangannya." Livia yang memakai gamis brokat warna putih dan jilbab warna sama, membalas pelukan Bu Robert."Mau fokus dulu pada anak atau langsung ngantor, Liv?" tanya Kenny menghampiri Livia lagi sambil membawa piring berisi kue."Aku cuti sampai nifas selesai, Mbak. Alvi sudah mau minum pakai dot. Cuman tetap minum ASI yang ku-pumping. Kalau sudah pulang ke rumah, aku nenenin langsung.""Harus rajin-rajin pumping. 3-4 jam sekali selama lima belas menitan. Lakukan pumping secara bergantian, jangan bebarengan biar ASI yang didapat lebih banyak.""Mbak Kenny, dulu juga gitu?""Iya. Agak ribet, Liv. Tapi enaknya kamu kan kerja di perusahaan sendiri. Susahnya itu kalau kerja ikut orang.""Aku tetap profesional, Mbak. Makanya aku ngambil cuti pun sama seperti cuti bersalin karyawan pada umumnya. Oh ya, kalau ada acara bahagia, jangan lupa undang kami, ya."Dahi
RAHASIA TIGA HATI - Maaf"Papa, kenapa sampai luka-luka seperti ini?" tanya Lena yang duduk tepat di samping Ferry sambil memperhatikan dan menyentuh rahang papanya yang membiru."O, papa habis jatuh, Sayang.""Jatuh di mana kok sampe seperti ini?" Lena memang sangat dekat dengan Ferry. Selalu memperhatikan, apalagi jika Ferry pulang malam pasti akan diserbu dengan banyak pertanyaan. Dan ini momen yang paling dirindukan oleh Ferry setelah mereka berpisah tempat tinggal."Di jalan.""Pasti ini sakit." Lena menyentuh tangan Ferry yang dibalut gips."Iya. Doain papa lekas sembuh, ya."Lena mengangguk. Ferry beralih memandang Leo yang sejak tadi hanya diam saja duduk di kursi sebelah Bre. Si sulung yang selama ini juga dekat dengannya, semenjak memergoki mamanya di tampar Ferry, dia jadi pendiam kalau bertemu papanya. Malah sekarang lebih akrab dengan Bre."Leo," panggil Ferry.Bocah lelaki itu turun dari kursi lantas mendekat. Ferry mengusap kepala putranya. "Doain papa lekas sembuh, ya
Langit berwarna tembaga saat mobil Bre berhenti di halaman sebuah apartemen. Info yang ia dapatkan, Irma masih tinggal di apartemen ditemani kakak perempuannya. Ia tidak sabar untuk segera bertemu dengan wanita yang membuat permasalahan keluarganya makin mengular.Bre turun dari mobil dan melangkah menuju lift. Kapsul besi membawanya naik ke lantai lima. Diketuknya rumah nomer 5-B2.Beberapa saat menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketika hendak pergi, pintu di buka dari dalam. Seorang wanita dewasa muncul dan kaget ketika melihatnya."Ada apa?" tanya perempuan itu dengan nada dingin."Aku ingin bertemu Irma.""Dia nggak ingin bertemu siapapun sekarang ini kecuali kakakmu. Sebaiknya kamu suruh Ferry yang datang ke sini.""Boleh aku masuk? Aku nggak akan lama." Bre tidak menggubris perkataan wanita di ambang pintu."Siapa, Mbak?" terdengar suara lemah dari dalam."Bre."Tidak lama muncul seseorang yang bertubuh kurus. Hampir saja Bre tidak mengenalinya. Sungguh jauh berbeda den
Bre menyalami Pak Rosyam dan Pak Tamin dan meminta maaf karena terlambat datang."Sekolah libur kan, Bang?" tanya Bre pada Alvian."Iya, Om. Libur seminggu setelah ulangan.""Oke, besok kita jalan-jalan ke pantai sama Kak Leo. Mau nggak?"Alvian memandang kakeknya. Saat Pak Rosyam mengangguk, Alvian senang karena diberi izin. Bocah itu memang sering bertemu Bre tiap kali ikut kakeknya ke Malang.Pak Rosyam dan Bre sambil makan membicarakan projek yang akan di mulai bulan depan. Setelah itu Bre mengajak Leo dan Alvian jalan-jalan di mall depan restoran. Pria yang masih tetap sendiri itu seperti biasa membelikan mainan dan pakaian untuk Alvian dan si kembar. Untuk Aliva dia hanya membelikan sebuah boneka. Aliva masih terlalu kecil. Bre belum pernah melihat wajah Aliva. Pasti cantik seperti ibunya. Bre terakhir kali bertemu Livia, ketika acara dinner malam itu. Kalau Alan masih sering bertemu karena mereka memang menjadi partner bisnis."Nak Bre, kapan bapak dapat undangan pernikahan? B
"Saya merintis bisnis bersama istri saya yang saat itu masih menjadi teman biasa. Juga Adi, teman kita yang malam ini tidak bisa datang. Mereka yang menemani saya benar-benar dari nol. Mulai dari mencari tempat usaha, perizinan, dan karyawan.""Dari teman langsung menikah atau pacaran dulu, Bro?" celetuk seorang teman."Suatu hari saya diam-diam menemui ayahnya dan berterus terang hendak menikahi putrinya. Tapi saya minta waktu agar saya mapan secara finansial. Beberapa bulan kemudian saya melamarnya dan kami menikah."Beberapa perempuan memandang ke arah Livia yang masih duduk di tempatnya. "Kenapa nggak ngundang kami? Kamu lupakan teman-temanmu," protes yang lain."Maaf, saya menikah di Sarangan, jadi hanya Adi saja yang datang. Kami hanya mengadakan pesta sederhana karena waktu itu saya masih dalam tahap merintis bisnis."Alan berbagi pengalaman dan motivasi yang menginspirasi. Semua pertanyaan teman dijawabnya dengan penjelasan yang gamblang. Dan pertemuan itu berakhir di jam seb
Livia berdebar-debar takut dan netranya pun berembun. Sekarang susah untuk menelan saliva, seperti ada yang menyekat tenggorokan. Livia merasa malu dan bersalah. Setiap kali ayahnya menemuinya di ruang kerja, sang ayah tidak pernah menutup pintu dengan rapat. Dari celah itulah, tentunya Alan mendengar percakapan dan tangisnya."Mas, aku nggak ada perasaan apapun selain empati dengan nasib Bre." Suara Livia bergetar. "Dia menjadi korban keegoisan mamanya, sedangkan dirinya juga tidak bisa mengendalikan diri makanya sakit akhibat merokok. Aku ....""Nggak perlu dijelaskan, Sayang. Mas paham perasaanmu. Kalau pun masih ada sisa rasa karena kalian pernah hidup bersama, mas juga ngerti.""Bukan seperti itu, Mas. Sekarang hidup dan matiku, jiwa dan ragaku hanya untuk mas dan anak-anak. Jangan salah pengertian.""Mas sangat mengerti, Livi. Sebaiknya kita nggak usah lagi membahas tentang hal ini. Mas percaya sama kamu. Mas dan Bre sudah bicara baik-baik, tetap membuka peluang supaya kita bisa
RAHASIA TIGA HATI - Alone"Tampaknya Mbak ini ngebet banget pengen ketemu sama Mas Alan.""Oh, bukan saya saja. Jangan salah paham, Mbak. Tapi teman-teman yang lain juga ingin bertemu. Berharap Alan bisa datang di pertemuan kami dan berbagi pengalamannya. Yang jelas berbagi ilmu. Alan sedang hangat diperbincangkan di grup alumni." Sonya tampak malu dan membuat wajahnya merona."Oh," jawab Livia pendek. Padahal di antara sekian banyak alumni, pasti bukan suaminya saja yang sukses. Tapi kalau pada akhirnya Alan jadi inspirasi dan penyemangat buat mereka, bukankah itu menjadi nilai plus. Pengalamannya menjadi sangat berguna tidak hanya untuk diri pribadi, tapi untuk orang banyak. Ah, Livia positif thinking saja."Alan jarang ikut pertemuan alumni. Mungkin karena sibuk kali, ya. Tapi kami berharap kali ini dia bisa hadir. Mumpung ada di Malang. Kalau gitu saya mau kembali ke kamar dulu, Mbak.""Ya, Mbak," jawab Livia.Wanita itu melangkah pergi. Tampaknya dia masih tahu malu juga setelah
"Besok pagi. Karena malam ini aku masih ada acara ketemuan dengan teman-teman alumni.""Apa benar AFBC mau buka cabang di Malang? Mas Ferry ngasih tahu aku sebulan yang lalu.""Insyaallah. Semoga tahun ini bisa terealisasi."Percakapan terjeda sejenak ketika makanan yang dipesan datang."Aku juga membuka peluang kerjasama dengan Hutama Jaya," ujar Alan sambil mulai menikmati makanannya."Kamu nggak khawatir denganku, Lan?"Alan tersenyum. "Apa mungkin kamu tega menikamku dari belakang? Sedangkan aku mendapatkan Livia bukan karena aku merebutnya darimu. Marilah kita menjalin hubungan kerjasama secara sportif sebagai pria sejati, tanpa ada bayang masa lalu. Profesional all out."Keduanya saling pandang. Tanpa bayang masa lalu? Jelas tawaran itu tidak mudah bagi Bre, bahkan bagi Alan sendiri. Tapi urusan dunia properti berada di tangan Pak Rosyam dan Adi. Alan tetap di pasionnya sendiri. Livia sebagai kepala staf keuangan, tetap di kantor bersamanya. Untuk projek properti ditangani oleh
Bre menggeliat sebelum turun dari kasur. Langsung ke dapur dan membuat secangkir kopi lantas membawanya ke balkon. Duduk di sana sambil menyesap white coffee. Dia lebih suka kopi hitam, tapi stok di dapurnya sudah tidak ada dan belum sempat belanja.Jam dua dini hari Bre baru bisa tidur. Pertemuannya dengan Livia membuatnya kembali merasa tersungkur. Dan itu pilihannya, karena sebenarnya dia bisa saja tidak usah datang ke acara dinner setelah tahu Alan pasti datang bersama Livia.Namun ia tetap datang juga. Dan ini akhibatnya. Luka yang seharusnya mulai sembuh, kini basah kembali. Meski demikian ia tidak lagi terpuruk seperti tahun-tahun kemarin. Bre lebih siap kendati tetap ada rasa kecewa karena penyesalan."Bre, dapat salam dari Atikah," ujar seorang teman kerjanya suatu hari.Bre hanya menjawab dengan senyuman. Dan kiriman salam itu terus berlanjut beberapa kali. Atikah ini salah satu staf di kantor tempatnya bekerja. Perempuan yang lumayan nekat karena berani mengirim salam dulua
RAHASIA TIGA HATI - Suami IdamanLivia meringkuk untuk berlindung dari dingin. Rasa cemas masih tersisa atas kejadian tadi malam. Tak terbayangkan kalau Alan bersikap arogan karena kesalahan yang istrinya lakukan. Selama ini dia sudah sangat bersabar, Livia benar-benar takut jika Alan bisa saja lepas kendali. Namun suaminya memiliki kecerdasan emosional, mampu mengekspresikan perasaan kecewa, marah, dengan cara yang bijak. Meski begitu bisa membuat Livia menangis.Saat melampiaskan hasr*tnya pun tetap semanis seperti biasanya meski diselimuti amarah dan cemburu. Tidak kasar untuk membalas rasa kecewanya. Suami seperti ini, di mana ia akan mendapatkan dalam situasi dunia seperti sekarang. Ketika perselingkuhan sudah menjadi life style, tidak hanya di kalangan kelas atas bagi orang-orang berduit, tapi kelas pinggiran pun mengalami fenomena yang sama.Kunci sebuah hubungan ada pada laki-laki. Mau sekuat apapun berdebat, kalau cinta seorang laki-laki sangat besar. Hubungan itu akan tetap
"Jadi Mas Alan nggak tahu?" Livia terkejut lagi. Alan yang biasanya banyak tahu hal-hal yang berada di luar jangkauan Livia, tapi kali ini dia tidak tahu apa-apa."Untuk apa mas berbohong sama kamu. Apa begitu pentingnya kabar tentang Bre bagimu?"Tangis Livia tumpah. "Bukan begitu. Aku takut kalian berselisih. Padahal aku sudah senang kalian bisa bekerjasama dengan baik sampai tiga tahun lamanya. Mas, jangan salah paham."Alan menarik napas panjang. Keduanya terdiam beberapa menit. Livia mengusap air mata dengan tisu yang ditarik dari atas nakas. "Maafkan aku. Aku nggak ada niatan mengkhianatimu," ujar Livia serak."Livi, kita sudah punya tiga anak. Saat mendengar percakapanmu dan ayah yang menasehatimu tadi, mas diam. Nggak akan menjadikan itu masalah yang membuat hubungan kita berubah. Mas memutuskan diam karena mas percaya dengan ayah dan kamu."Mas anggap itu hal biasa. Tapi setelah mas melihatmu berbincang dengan Bre, mas akhirnya perlu mendiskusikan hal ini denganmu.""Percayal
Livia menebarkan pandangan ke belakang. Ia tidak menemukan Bre di antara para undangan. Mungkin dia masih di sana, karena banyaknya tamu yang berjas hitam, jadi susah untuk menemukan."Apa yang kamu cari?" Alan menyentuh dan langsung menggenggam jemarinya."Mas." Livia kaget karena Alan tiba-tiba ada di belakangnya. Wajah sang suami tidak secerah tadi. Apa ada masalah antara suami dan rekan kerjanya? Livia jadi khawatir.Seseorang menyapa mereka. Alan kembali berbincang dan tidak melepaskan genggaman tangannya.Sedangkan Sonya yang kembali dari menerima telepon terkejut melihat tangan Livia digenggam oleh Alan. Laki-laki yang dibicarakan tadi sudah bersama wanita itu. Apa hubungan mereka? Bukankah Livia bilang datang bersama suaminya? Jadi dia istrinya Alan? Oh, mungkin bukan. Kenapa Livia tidak mengakui kalau dia istrinya bos AFBC ketika sang suami dibicarakan perempuan lain.Apa dia selingkuhannya Alan? Waduh, padahal Alan tidak ada tampang laki-laki red flag. Sonya tidak percaya. K