Happy Reading
Clara melipat kedua kakinya di dada seraya menangkupkan tangan, tubuhnya bergetar hebat Ia sekarang sudah di rumah sakit setelah sebelumnya Clara menghubungi psikiater yang biasa menangani dirinya. Rehan melepaskan Clara setelah lima jam menyiksa wanita ini. Jika bukan Alex yang melepaskan kesetanan yang ada di Rehan mungkin laki-laki itu sudah membunuh Clara. "Argh...Argh...Argh." pekik Clara berteriak padahal baru satu jam wanita ini diberi obat penenang tapi seperti Ia mengalami kecemasan yang terlalu berlebihan. Sampai seorang dokter pun tidak sanggup lagi menanganinya Ia pun segera menghubungi dokter jiwa yang sedang melakukan penelitian di sini. "Hallo Dok, I'm so sorry tapi ini sangat urgent." Suara dokter ini sangat bergetar membuat Nara pun langsung panik. "Ada apa Dok?" "Pasien Kami mengalami anxiety, Saya harap anda bisa menanganinya." "Baik Saya akan ke sana." Nara langsung mengganti baju dan juga mengambil jas putihnya kemudian turun diikuti dengan seorang dokter lainnya. Mereka langsung menaiki mobil kemudian menuju ke rumah sakit yang terletak tidak jauh dari hotel. "Argh...argh...argh lepaskan Saya lepaskan," teriak Clara sedari tadi meronta, Nara yang baru masuk itupun langsung terkejut. Gadis ini mendekati Clara dengan pelan masih dengan meronta-ronta Nara berani memeluknya. "Okay...i'ts okay tenang...tenang," ujar Nara menepuk pelan punggung Clara seirama wanita itu lantas menangis dengan keras. "Hiks...hiks...takut dok takut," isaknya membuat Nara meminta seluruh dokter yang ada di sana untuk keluar. Mereka berdua butuh privasi sehingga dengan begitu Clara dengan bebas menceritakan permasalahannya. Mendengar cerita Clara tentu wanita ini tidak akan mudah lepas dari seseorang tersebut. Saat Nara berniat untuk bertanya pada Clara siapa laki-laki itu seseorang pun berdiri di depan ruangan yang ditempati mereka terlihat beberapa orang di sana dengan pakaian serba hitam. "Sebentar ya, sekarang Kamu minum obat dulu ya," pinta Nara lalu memberikan sebuah capsul beserta air mineral. Usai memastikan Clara tenang dan tertidur, Nara pun lantas keluar dari ruangan yang di depannya Ia bertemu dengan manik mata yang selama ini Ia jauhi. "Dok panggilkan perawat untuk menemani pasien di dalam." Nara sedikit berteriak pada dokter jiwa yang berdiri di depan resepsionis sengaja menunggu jikalau Nara meminta bantuan. "Tidak ada yang diperbolehkan menjenguk pasien!" perintah Nara semua mata pun tertuju padanya termasuk laki-laki yang selama ini Ia hindari. Saat ingin pergi tangan Nara ditahan oleh laki-laki itu, tatapan Nara tak kalah dingin dengan Rehan. Rehan menarik paksa Nara ke arah lorong rumah sakit. "Mau apa Kamu?" tanya Nara dengan suara tinggi menepis tangan Rehan saat Rehan menghentikan langkah mereka. "Dokter Nara Freshxenia Dilbora." rasanya jijik sekali namanya yang terhormat disebut oleh lelaki brengsek yang ada di depannya ini. Tapi Nara masih bersikap biasa saja agar Rehan tidak merasa meninggi. "Sudah lama sekali Kita tidak bertemu sayang," ujar Rehan tersenyum sarkas menandakan intimidasi akan datang. "Berhenti bermain-main Rehan, Saya tidak ada waktu untuk anda," jelas Nara melipatkan kedua tangannya. "Saya sangat merindukanmu baby," usap Rehan yang tiba-tiba mencium leher Nara seketika gadis itu langsung menamparnya. "Plak" "Dasar kurang ajar brengsek," umpat Nara yang wajahnya sekarang sudah memerah melihat itupun Rehan semakin tertantang Ia pun tertawa. "Hahaha Kamu memang tidak pernah berubah Nara," ujar Rehan melihat laki-laki itu yang sepertinya tidak ada yang ingin dijelaskan Nara pun langsung berbalik. "Saya yang membuat Clara seperti itu." kalimat barusan membuat Nara berhenti dari langkahnya sudah Ia tebak karena hanya Rehan yang mengunjungi Clara belum ada yang lain. "Kamu memang gila," cibir Nara menggeleng. "Saya akan melepaskannya jika Kamu ingin bernegosiasi dengan Saya." Rehan mengembangkan senyuman mematikannya. "Negosiasi? seperti apa?" tanya Nara penasaran apa yang diinginkan laki-laki ini darinya. "Sebagai gantinya Kita berhubungan kembali." tawar Rehan negosiasi macam apa ini yang ada Nara kembali menjadi orang yang gila sungguh Ia tidak habis pikir dengan jalan otak laki-laki brengsek satu ini. "Maaf Saya tidak sudi," balas Nara mencibir pada Rehan. "Tidak cuma-cuma Kamu akan Saya bayar," ujar Rehan tidak putus asa dengan penawarannya. "Kamu pikir Saya butuh uang Kamu?" Nara mendelik ke arah Rehan dengan wajah jijik. "Uang Saya bisa menggaji Kamu berkali-kali lipat Nara." "Saya tidak butuh." gadis itupun kembali melangkahkan kakinya menjauh dari Rehan. "Ingat Saya tidak akan melepaskan Clara, pikirkan kembali Nara." Rehan setengah berteriak sedangkan Nara hanya menaikan tangannya memperlihatkan jari tengahnya 'Fuck'. "Dia pasti akan kembali padaku." Rehan memasukkan tangannya ke dalam saku. **** "Argh....argh... Argh..." mendengar teriakan Clara dari dalam sana membuat Nara langsung berlari. "Kenapa Clara?" dengan panik Nara membuka pintu. "Tolong Dok tolong, pasien tidak berhenti berteriak." perawat yang tadinya menemani Clara pun ikut cemas. Nara pun langsung mengambil alih suntikan yang ada di atas nakas kemudian memasukkan cairan ke dalamnya lalu menyuntikkan kepada Clara. Saat sudah tenang Clara kembali menangis dan meminta tolong pada Nara. "Dok tolong Saya dok...Saya takut dok...Saya tidak mau di bawa mereka lagi dok." Clara menunjuk keluar sambil terus menangis terlihat di luar sana bodyguard Rehan masih stand bye. "Kamu jangan takut ya ada Saya di sini Kamu tidak sendiri Clara," jelas Nara mengelus punggung wanita ini tapi tetap saja Ia menggeleng. "Tidak dok...tidak...mereka akan membunuh Saya." Clara sudah sangat ketakutan dan di dalam pikirannya selalu saja bayangan kekerasan. Setelah melihat diagnosa sebelumnya Clara mengalami bipolar disorder dan diagnosa saat ini yaitu anxiety disorder. "Bagaimana ini Dok?" tanya dokter yang sebelumnya menangani Clara. "Tolong bantu Saya dok, jauhkan mereka dari Saya," mohon Clara sambil tidak berhenti menangis jika seperti ini Clara akan sulit untuk sembuh terlebih Rehan tidak akan pernah main-main dengan ucapannya. "Saya akan membantu Kamu Clara." Nara mengelus punggung wanita ini kemudian berujar pada dokter. "Tolong ditemani dulu ya dok." "Baik Dokter." setelahnya Nara langsung keluar dari ruangan. "Rehan bawak semua bodyguard Kamu untuk pergi dari sini!" perintah Nara yang membuat Rehan menaikan sebelah alisnya. "Negosiasi?" "Saya akan menghubungi Kamu besok," jelas Nara kembali sambil menghela napas pasrah. "Berikan kontakmu baby," bisik Rehan mengendus aroma story yang ada di rambut Nara. Dengan cepat Nara mengetikkan angka nomor ponselnya, agar Rehan segera pergi dari sini. Ia tidak ingin ada keributan dan mengganggu pasien lainnya. *** TBC Thanks guysHappy ReadingRehan sedari tadi mengecek ponselnya menunggu notif dari seseorang yang sedang Ia tunggu. Tapi setelah mengirimkan pesan satu jam yang lalu Ia tidak kunjung mendapatkan balasan. "Apakah Ia mempermainkanku?" pertanyaan itu membuat Rehan mengepalkan tangannya. "Siapkan mobil kita akan ke rumah sakit." sesaat setelah Rehan memerintahkan pada Alex pesannya pun dibalas oleh Nara. "Maaf, Jam 20.00 di Circolo Popolare kita bertemu. Aku masih ada pekerjaan" Rehan tidak sadar jika bibirnya membentuk bulan sabit. Ia pun segera kembali dengan pekerjaannya, menyelesaikan beberapa berkas yang perlu ditandatangani juga memeriksa laporan keuangan. Rehan tidak bisa melepaskan begitu saja pekerjaan kepada staffnya jangan sampai kejadian tahun lalu kembali terulang. Jika Ia bisa mendekati Nara kembali Rehan rela melepaskan para wanita-wanitanya. Bahkan saat malam tadi Ia yang sudah ada janji dengan mucikari yang biasa memberikan wanita polos itu pun tidak jadi ditemuinya. Rehan hany
Happy Reading"Argh...," teriak Nara sontak semua orang pun melihat ke arah mereka membuat Rehan langsung membekap mulut Nara. Gadis itu tidak mampu menahan keterkejutannya saat tangan Rehan mulai bergerak di atas pahanya dan semakin naik. Jujur Nara sungguh khawatir sampai-sampai jantungnya memompa lebih cepat. Mendengar teriakan itu Alex langsung menyelesaikan bill dan menghampiri keduanya. Selain karena terkejut Nara juga sepertinya dibawah pengaruh alkohol, semua yang melihat tadi pun kembali ke aktivitas masing-masing ketika Rehan dengan cepat membawa Nara keluar. "Aku nggak setuju dengan perjanjian yang terakhir," pekik Nara setelah masuk ke dalam mobil Rehan. "Ehh kenapa Aku masuk ke mobil Kamu, Aku mau pulang sendiri." Nara memekik sambil memukul-mukul tangan Rehan yang menahan tubuhnya agar tetap duduk di mobil ini. "Kamu nggak liat diri Kamu itu mabuk," cerca Rehan yang dikesalkan oleh Nara Ia pun hanya bisa pasrah. Rehan memeluk pinggang Nara dari samping gadis yang su
Happy ReadingNara terdiam sejenak, otaknya masih memproses ucapan Rehan barusan. Pria itu akan tetap tinggal di Indonesia? Kenapa? Untuk apa? Apa ada hubungannya dengannya? Atau hanya permainan lain yang direncanakannya?"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" suara Nara akhirnya keluar, meski sedikit bergetar.Rehan menatapnya dalam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai khasnya. "Karena aku menemukan alasan untuk tetap tinggal."Nara menelan ludah, matanya menatap keluar jendela mencoba menghindari tatapan tajam laki-laki itu. Jantungnya berdegup kencang, entah karena kesal atau... sesuatu yang lebih dari itu."Kalau itu cuma alasan untuk main-main, lebih baik kau pergi," Nara mencoba terdengar tegas meski suaranya sedikit bergetar.Rehan tertawa pelan, mengulurkan tangannya untuk menyentuh dagu Nara, memaksanya untuk kembali menatapnya. "Aku tidak pernah main-main, sayang. Kalau aku mau sesuatu, aku akan mendapatkannya. Dan sekarang, aku mau kamu."Pernyataan itu membuat Nara sema
Nara menatap Rehan dengan tatapan penuh keraguan. Pria itu selalu seperti ini—datang dan pergi sesuka hati, seolah dunia berputar di sekelilingnya. Dan sekarang, dia mengajaknya makan malam seakan kejadian di rumah sakit tadi tak pernah terjadi."Aku nggak lapar," Nara mencoba menolak dengan suara setenang mungkin, meskipun dadanya masih berdebar akibat kedekatan Rehan.Rehan mengangkat alisnya, lalu terkekeh pelan. "Bohong. Aku tahu kamu belum makan sejak siang. Aku juga tahu kamu nggak akan tidur dengan perut kosong. Jadi, lebih baik ikut denganku sekarang daripada nanti tengah malam kamu kelaparan dan memesan makanan instan."Nara mendengus kesal. Bagaimana bisa dia tahu kebiasaannya? Apa Rehan benar-benar memperhatikannya selama ini?"Aku bisa makan sendiri," balasnya cepat.Rehan tersenyum miring, lalu dengan santai membuka pintu mobilnya. "Ayo, Nara. Aku janji nggak akan melakukan sesuatu yang nggak kamu suka. Kita hanya makan, berbicara, dan setelah itu aku akan mengantarmu pul
Happy Reading Beberapa hari setelah makan malam itu, Nara masih terus memikirkan ucapan Rehan. Pria itu memang tidak melakukan gerakan agresif setelahnya, tapi keberadaannya terasa semakin nyata dalam hidupnya. Dari pesan singkat menanyakan kabarnya, mengantarkannya ke rumah sakit, hingga tanpa sadar selalu ada dalam pikirannya. Hingga suatu malam, saat Nara baru pulang dari shift malam di rumah sakit, apartemennya terasa terlalu sunyi. Ia merebahkan diri di sofa, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mendera. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Rehan. Nara menatap layar ponselnya ragu sebelum akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?" "Buka pintu," suara Rehan terdengar jelas di seberang sana. Nara mengerutkan kening. "Apa? Kamu di mana?" "Di depan pintumu." Mata Nara membelalak. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan ke pintu. Benar saja, begitu ia membukanya, Rehan sudah berdiri di sana dengan sebuah kantong plastik di tangannya. "Kamu—kenapa ada di sini?" tanyanya heran. R
Happy Reading Malam itu, Nara tak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. Kemarahan, kekecewaan, dan luka lama kembali menyeruak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri—bagaimana bisa ia hampir percaya lagi pada Rehan? Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaket dan kunci mobilnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tiba di klub yang ada dalam video itu. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berkedip liar, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Nara melangkah masuk, matanya segera menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat dadanya begitu sesak. Dan di sana, di sudut ruangan dengan sofa empuk berwarna hitam, Rehan masih duduk dengan wanita yang sama. Tawa pria itu terdengar jelas, tangannya masih melingkar erat di pinggang si wanita. Mereka terlihat akrab, terlalu akrab. Darah Nara mendidih. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, menembus kerumunan orang-orang yang sedang berdansa. Langkahnya tegas, penu
Happy ReadingRehan berjalan keluar dari gudang dengan langkah berat. Angin malam yang menusuk kulit tak mampu mendinginkan gejolak di dalam dadanya. Pengkhianatan Arman masih berputar di kepalanya, seperti duri yang terus menusuk tanpa henti. Ia merogoh sakunya, menyalakan sebatang rokok, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara.Bayu mendekatinya, menunggu perintah. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?"Rehan diam sejenak, matanya menatap kosong ke kejauhan. "Pastikan dia tidak bisa berbicara dengan siapa pun. Setidaknya sampai aku memutuskan apa yang harus kulakukan dengannya."Bayu mengangguk. "Kami akan mengurusnya."Rehan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sebelum berjalan menuju mobilnya. Pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana mungkin Arman, yang selama ini ia percaya, tega mengkhianatinya?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nara.Aku ingin bertemu.Rehan menatap pesan itu lama, lalu mengetik balasan. Di tempat biasa, seten
Happy ReadingHampir satu minggu Nara mendiamkan Rehan. Bahkan ketika laki-laki itu menemuinya di rumah sakit, Nara menghindar, tak ingin menemui Rehan.Rehan tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Ia sudah kehilangan seorang sahabat, dan sekarang, Nara juga menjauh darinya. Tapi ia tidak akan menyerah. Jika pengkhianatan Arman telah menghancurkan segalanya, maka ia akan memperbaiki semuanya, meskipun itu berarti melewati neraka.Malam itu, Rehan berdiri di luar rumah sakit, menatap ke arah jendela kamar Nara yang terletak di lantai dua. Hujan turun, membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana ia bisa mendapatkan kembali kepercayaan Nara.****Pagi harinya, Nara keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa. Sudah cukup, pikirnya. Ia tidak bisa terus berada di tempat yang sama dengan seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, begitu ia mencapai pintu keluar, seseorang berdiri menghadangnya.Rehan.Nara langsung berba
Happy ReadingRehan menatap Nara dengan pandangan yang tak biasa. Kali ini, tak ada senyum sarkastik, tak ada lelucon sinis yang biasa ia lontarkan saat suasana terlalu tegang. Ia hanya diam, sejenak, sebelum menjawab dengan suara rendah.“Kakakku.”Nara terdiam. Tak hanya karena keterkejutan dari pengakuan itu, tapi karena nada suara Rehan—datar, tapi mengandung luka yang belum sembuh. Ini bukan sekadar tentang operasi rahasia atau kode militer lagi. Ini mulai menyentuh hal personal.“Namanya Damar,” lanjut Rehan. “Dulu dia bagian dari unit pengamanan internal fasilitas riset militer swasta. Tapi dia keluar… atau lebih tepatnya menghilang. Katanya dia tahu sesuatu yang membuatnya jadi target.”Nara menautkan alis. “Kamu yakin dia masih hidup?”Rehan menarik napas panjang. “Kalau dia mati, aku yakin mereka bakal ngumumin. Tapi nggak ada berita, nggak ada jejak. Seolah dia lenyap. Tapi Damar nggak bodoh. Kalau dia masih hidup, dia pasti sembunyi dengan baik.”Nara mengangguk pelan. “Ka
Happy ReadingVan medis itu menjauh dari kawasan pabrik dengan kecepatan stabil. Nara duduk bersandar di jok belakang, menatap Fira yang kini terbaring dengan selimut tipis. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang, meskipun tubuhnya masih lemah.Rehan duduk di samping sopir, sibuk berbicara lewat saluran komunikasi dengan timnya. Sesekali, ia menoleh ke arah Nara, memastikan semuanya masih terkendali. Setelah satu jam perjalanan dan mereka mencapai lokasi aman, van berhenti di sebuah rumah persembunyian milik salah satu kontak Rehan di pinggiran kota—tempat yang dulu digunakan sebagai tempat aman bagi saksi investigasi.Setelah memastikan Fira aman di kamar belakang, dijaga perawat khusus, Rehan kembali menemui Nara yang berdiri di teras belakang rumah, menatap langit yang mulai berpendar fajar.“Aku tahu kamu belum makan sejak siang,” kata Rehan, mendekat pelan. “Kita butuh tenaga buat lanjut besok. Aku pesen makanan.”Nara menoleh dan mengangkat alis. “Di tengah kekacauan ini kam
Happy ReadingNara berdiri mematung di depan layar. Kata-kata pada subjek email itu seperti petir yang menyambar tenang sore mereka: "C-02. Masih hidup. Lokasi: Eks-Pabrik Farmasi Ananta.”Rehan berdiri di belakangnya, membaca bersama. “C-02… itu pasien yang disebut ‘mati’ tiga minggu lalu, kan?” Nara mengangguk pelan, bibirnya menegang. “Yang disebut overdosis. Tapi aku curiga ada yang janggal dari awal.” “Kalau ini benar… artinya mereka memalsukan kematian pasien,” ujar Rehan, nadanya pelan tapi tegas. “Dan kalau satu pasien bisa dipalsukan, bisa jadi yang lain juga…” Nara memutar kursi, menghadap Rehan. “Kita harus ke sana malam ini. Sebelum jejaknya dihapus lagi.” Rehan ragu sejenak. “Kita nggak tahu siapa yang kirim email ini. Bisa jadi jebakan.” “Aku tahu,” sahut Nara cepat. “Tapi kita juga tahu, kalau kita tunggu—semuanya bisa terlambat.”Rehan menghela napas, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita nggak pergi tanpa persiapan.” ***Malam menjelang cepat. Langit gelap ta
Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingSudah hampir dua minggu sejak dunia dihebohkan oleh bocornya dokumen “R.R”. Tapi kehidupan tak benar-benar berubah dalam sekejap. Dunia terlalu sibuk menakar kebenaran dengan keraguan, dan manusia… terlalu cepat melupakan.Nara kembali ke ruang kerjanya, sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Ruangan itu hangat dan lembut, dengan bau lavender samar dan lukisan-lukisan tenang di dinding. Tapi pagi ini, suasananya lain.Ia duduk di hadapan seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun. Mata gadis itu sembab, tangannya gemetar, dan suara hatinya penuh luka yang belum sempat dijahit.Namanya **Lara**—nama yang dalam seminggu terakhir viral di media sosial. Ia korban pemerkosaan oleh anak pejabat, yang sayangnya, kasusnya lebih banyak dijadikan konten dibanding diselesaikan.“Aku nggak mau tidur, Kak…” suara Lara nyaris tak terdengar. “Setiap aku tutup mata, aku dengar dia lagi. Lihat dia. Bau itu… baju itu…”Nara menahan napas. Ia sudah biasa menghadapi trauma berat, tapi s
Happy ReadingAnda bilang:Happy Reading Hujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.” “Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.” Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.” “Tempat yang aman?” “Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.” Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meningg
Happy ReadingHujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.“Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.”“Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.”Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.”“Tempat yang aman?”“Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.”Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meninggalkan kabin, Nara menulis s
Happy ReadingPagi itu langit kelabu, kabut turun tebal menutupi lereng bukit. Nara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan hawa tak biasa mengendap di udara. Biasanya, Rehan sudah di dapur membuat kopi atau sekadar menyusun kayu bakar. Tapi pagi ini, kabin sunyi.“Rehan?” panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Nara menyisir setiap ruangan. Tak ada tanda-tanda Rehan. Jaketnya tak tergantung di gantungan. Sepatunya pun tak ada di rak dekat pintu. Tapi dompet dan ponselnya tertinggal di meja. Aneh.Perasaan cemas mulai naik ke tenggorokan. Ia membuka pintu belakang kabin dan melihat jejak kaki di tanah basah—menuju arah hutan.Ia cepat-cepat mengenakan mantel dan menyusul arah jejak itu. Kabut semakin tebal, pepohonan seakan menciutkan suara langkahnya sendiri. Tapi kemudian, samar, ia mendengar suara… dentingan logam?Ia mempercepat langkah, menuruni celah tanah sempit, dan akhirnya melihat Rehan di kejauhan. Ia sedang membongkar sesuatu di balik pohon pinus besar—sebuah kotak besi t
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka