Happy Reading Beberapa hari setelah makan malam itu, Nara masih terus memikirkan ucapan Rehan. Pria itu memang tidak melakukan gerakan agresif setelahnya, tapi keberadaannya terasa semakin nyata dalam hidupnya. Dari pesan singkat menanyakan kabarnya, mengantarkannya ke rumah sakit, hingga tanpa sadar selalu ada dalam pikirannya. Hingga suatu malam, saat Nara baru pulang dari shift malam di rumah sakit, apartemennya terasa terlalu sunyi. Ia merebahkan diri di sofa, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mendera. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Rehan. Nara menatap layar ponselnya ragu sebelum akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?" "Buka pintu," suara Rehan terdengar jelas di seberang sana. Nara mengerutkan kening. "Apa? Kamu di mana?" "Di depan pintumu." Mata Nara membelalak. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan ke pintu. Benar saja, begitu ia membukanya, Rehan sudah berdiri di sana dengan sebuah kantong plastik di tangannya. "Kamu—kenapa ada di sini?" tanyanya heran. R
Happy Reading Malam itu, Nara tak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. Kemarahan, kekecewaan, dan luka lama kembali menyeruak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri—bagaimana bisa ia hampir percaya lagi pada Rehan? Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaket dan kunci mobilnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tiba di klub yang ada dalam video itu. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berkedip liar, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Nara melangkah masuk, matanya segera menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat dadanya begitu sesak. Dan di sana, di sudut ruangan dengan sofa empuk berwarna hitam, Rehan masih duduk dengan wanita yang sama. Tawa pria itu terdengar jelas, tangannya masih melingkar erat di pinggang si wanita. Mereka terlihat akrab, terlalu akrab. Darah Nara mendidih. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, menembus kerumunan orang-orang yang sedang berdansa. Langkahnya tegas, penu
Happy ReadingRehan berjalan keluar dari gudang dengan langkah berat. Angin malam yang menusuk kulit tak mampu mendinginkan gejolak di dalam dadanya. Pengkhianatan Arman masih berputar di kepalanya, seperti duri yang terus menusuk tanpa henti. Ia merogoh sakunya, menyalakan sebatang rokok, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara.Bayu mendekatinya, menunggu perintah. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?"Rehan diam sejenak, matanya menatap kosong ke kejauhan. "Pastikan dia tidak bisa berbicara dengan siapa pun. Setidaknya sampai aku memutuskan apa yang harus kulakukan dengannya."Bayu mengangguk. "Kami akan mengurusnya."Rehan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sebelum berjalan menuju mobilnya. Pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana mungkin Arman, yang selama ini ia percaya, tega mengkhianatinya?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nara.Aku ingin bertemu.Rehan menatap pesan itu lama, lalu mengetik balasan. Di tempat biasa, seten
Happy ReadingHampir satu minggu Nara mendiamkan Rehan. Bahkan ketika laki-laki itu menemuinya di rumah sakit, Nara menghindar, tak ingin menemui Rehan.Rehan tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Ia sudah kehilangan seorang sahabat, dan sekarang, Nara juga menjauh darinya. Tapi ia tidak akan menyerah. Jika pengkhianatan Arman telah menghancurkan segalanya, maka ia akan memperbaiki semuanya, meskipun itu berarti melewati neraka.Malam itu, Rehan berdiri di luar rumah sakit, menatap ke arah jendela kamar Nara yang terletak di lantai dua. Hujan turun, membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana ia bisa mendapatkan kembali kepercayaan Nara.****Pagi harinya, Nara keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa. Sudah cukup, pikirnya. Ia tidak bisa terus berada di tempat yang sama dengan seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, begitu ia mencapai pintu keluar, seseorang berdiri menghadangnya.Rehan.Nara langsung berba
Happy ReadingRehan merasakan tubuh Nara yang gemetar dalam pelukannya. Ia mengeratkan dekapannya, membiarkan gadis itu merasakan kehangatan dan perlindungan yang ia tawarkan. Hujan gerimis yang mulai turun menambah nuansa dramatis malam itu."Aku di sini, Nara. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi," bisiknya sekali lagi.Nara masih terisak, tapi perlahan ia mencoba mengendalikan dirinya. Ia mendorong dada Rehan pelan, melepaskan diri dari pelukannya. Tatapannya masih dipenuhi luka dan kebingungan."Kenapa kau selalu muncul di saat-saat seperti ini?" suaranya serak, nyaris tak terdengar.Rehan menatapnya dalam-dalam. "Karena aku peduli padamu. Karena aku tidak akan membiarkanmu sendirian, apalagi dalam bahaya."Nara menunduk, pikirannya berantakan. "Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Aku... Aku terlalu takut, Rehan."Rehan mengusap lembut lengan Nara. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan membuktikan bahwa aku selalu ada untukmu."Malam itu, Reha
Happy ReadingDua hari setelah kejadian itu, kondisi Nara semakin memburuk. Tubuhnya terasa lemas, demam tinggi membuatnya sulit bergerak, dan kepalanya terasa berputar setiap kali ia mencoba bangkit. Awalnya, Nara berpikir ini hanya kelelahan biasa, namun setelah muntah beberapa kali dan tubuhnya menggigil hebat, ia tahu bahwa ini bukan sekadar kelelahan.Rehan, yang diam-diam masih memperhatikannya dari jauh, segera bertindak begitu mendapat kabar dari asisten Nara bahwa wanita itu jatuh sakit. Tanpa ragu, ia menghubungi dokter pribadinya dan memastikan bahwa Nara mendapat perawatan terbaik. Karena Nara bersikeras tidak ingin kembali ke rumah sakit, Rehan mengambil keputusan cepat: membawanya ke apartemen pribadinya dan merawatnya di sana.Saat Nara membuka mata, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar luas dengan nuansa hangat dan nyaman. Selimut tebal menyelimuti tubuhnya, sementara suara samar dentingan piring terdengar dari luar kamar. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia c
Happy ReadingNara mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ancaman yang baru saja didengarnya masih terngiang di telinganya. Ia menoleh ke arah Rehan yang berdiri tegap, matanya penuh amarah yang tertahan."Apa yang akan kita lakukan sekarang?" suara Nara bergetar sedikit, tapi ia berusaha untuk tetap tegar.Rehan mengangkat dagunya sedikit, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa pria itu ke tempat yang lebih aman untuk diinterogasi. "Aku akan memastikan kita mendapat jawaban. Sementara itu, kau tetap di sini. Jangan keluar tanpa izin dariku.""Jangan bersikap seperti aku ini tahanan, Rehan," protes Nara.Rehan menatapnya tajam. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu."Nara menggigit bibirnya. Ia ingin membantah, tetapi bagian dalam hatinya tahu bahwa Rehan benar. Bahayanya nyata, dan kali ini, ia tidak bisa menghadapinya sendirian.Beberapa jam kemudian, Rehan kembali ke apartemen dengan ekspresi serius. "Orang itu akhirnya bicara,"
Happy ReadingSetelah beberapa minggu penuh ketegangan, akhirnya situasi mulai mereda. Rehan berhasil melacak dalang di balik ancaman tersebut, dan dengan caranya sendiri, ia memastikan bahwa orang-orang itu tidak akan mengganggu Nara lagi. Rasa aman mulai kembali ke dalam hidupnya, meski bayangan masa lalu masih sesekali muncul di benaknya.Nara kembali ke rutinitasnya, melanjutkan pekerjaan dan kehidupannya yang sempat terhenti. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah semua yang terjadi, ia menyadari bahwa keberadaan Rehan dalam hidupnya lebih berarti dari yang ia kira.Namun, seperti biasa, kebahagiaan itu tidak bertahan lama."Aku harus pergi ke London," ujar Rehan suatu malam saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Nara. Angin malam berembus lembut, membawa serta perasaan yang sulit dijelaskan.Nara menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. "Untuk berapa lama?"Rehan menghela napas. "Beberapa minggu. Mungkin lebih. Ada event bisnis yang harus kuhadiri, dan beberap
Happy ReadingKehidupan rumah tangga Nara dan Aldo berjalan dengan ritme yang teratur, hampir seperti mesin yang terus berputar tanpa henti. Setiap pagi, Nara bangun dengan rutinitas yang hampir sama: menyiapkan sarapan untuk Aldo, merapikan rumah, dan mempersiapkan dokumen-dokumen pekerjaan yang selalu menumpuk. Aldo, dengan sifatnya yang sibuk, sering kali pergi pagi-pagi buta untuk rapat atau pertemuan bisnis, meninggalkan Nara dalam kesendirian yang terkadang mencekam.Pada awalnya, Nara mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aldo adalah pria yang baik, penuh perhatian, dan sangat mencintainya. Keluarga mereka menyetujui hubungan ini, dan dia merasa ada rasa tanggung jawab untuk membuat pernikahannya berhasil. Tapi seiring berjalannya waktu, ada rasa kosong yang terus berkembang dalam dirinya. Kehidupan mereka terasa lebih seperti rutinitas yang tak terhindarkan, tanpa ada percikan gairah atau cinta yang menggebu seperti dulu bersama Rehan.Setiap kal
Happy ReadingRehan duduk sendirian di sebuah bar yang remang-remang, memandang kosong ke arah gelas wine yang sudah hampir habis. Pikirannya kacau, berputar-putar dalam kekosongan yang semakin dalam. Di layar ponselnya, foto pernikahan Nara dengan Aldo terpampang jelas. Senyum Nara yang dulu selalu menjadi sumber kebahagiaannya kini justru menjadi pisau yang menusuk. Itu adalah foto yang diambil di hari bahagia mereka, momen yang harusnya penuh kebahagiaan, tetapi baginya malah membawa penderitaan.Jari-jarinya yang gemetar membuka foto itu lebih lebar, melihat wajah Nara yang begitu cantik dalam balutan gaun pengantin putih. Meski senyum itu tampak sempurna, ada sesuatu yang berbeda. Nara tampaknya sudah bukan lagi wanita yang dulu ia kenal, wanita yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati. Rehan merasa hancur melihatnya, karena pada akhirnya, dia adalah orang yang melepaskan Nara. Ia tak pernah bisa memberikan apa yang Nara butuhkan.Di sekelilingnya, tawa teman-teman pelacur yang
Happy ReadingMalam itu, resepsi pernikahan Nara dan Aldo berlangsung dengan penuh kemewahan dan kehangatan. Gedung besar tempat acara digelar dipenuhi dengan lampu-lampu kristal yang berkilau, dekorasi bunga-bunga mewah yang menghiasi setiap sudut, dan suasana yang penuh dengan tawa dan percakapan para tamu undangan. Musik yang merdu mengalun di seluruh ruangan, memberikan kesan elegan namun tetap intim. Namun, meskipun segala sesuatu tampak sempurna, Nara merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, seakan ada kekosongan yang tak bisa ia isi.Aldo, tampak begitu bahagia. Senyum lebar menghiasi wajahnya, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Nara dengan penuh perhatian. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," kata Aldo dengan lembut, menatap Nara penuh kasih sayang.Nara membalas dengan senyuman tipis. "Terima kasih," jawabnya pelan, namun pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Di tengah keramaian ini, ia merasa terasing. Pikirannya melayang pada Rehan, pria yang dulu
Happy ReadingHari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tanggal yang ditetapkan untuk pernikahan Nara dan Aldo. Cuaca pagi itu cerah, matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi seolah menjadi pertanda baik bagi hari yang penuh makna ini. Segala persiapan telah dilakukan dengan sempurna, dan keluarga Nara serta Aldo siap untuk merayakan pernikahan yang dianggap sebagai sebuah kebahagiaan baru, sebuah langkah besar dalam hidup mereka.Namun, di balik kegembiraan itu, ada sebuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan—sesuatu yang mengganjal di hati Nara. Hari ini, meskipun sudah lama dipersiapkan, tidak sepenuhnya membuat hatinya merasa lega. Nara duduk di ruang rias, mengenakan gaun pengantin yang indah, wajahnya dihiasi riasan tipis namun elegan. Ia memandang dirinya di cermin besar di depannya, mencoba mencerna semuanya.Saat ia menatap cermin, bayangan masa lalu muncul begitu saja. Rehan. Bayangan tentang bagaimana mereka dulu berbicara tentang masa depan, tentang impian yan
Happy ReadingHari pernikahan Nara semakin dekat, hanya tinggal beberapa hari lagi. Persiapannya sudah hampir rampung—gaun pengantin telah selesai dijahit, catering telah dipilih, dan dekorasi sudah hampir selesai dipasang di gedung. Semua orang tampaknya sibuk menyusun detail kecil demi detail kecil yang akan membuat hari itu sempurna. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipersiapkan dengan baik: hati Nara.Pagi itu, Nara terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Mimpinya yang buruk tentang Rehan masih menghantuinya, dan meskipun ia mencoba untuk terus maju dengan hidup barunya, bayangan masa lalu itu terus membayanginya. Rehan—laki-laki yang telah menjadi bagian dari cerita hidupnya, laki-laki yang entah kenapa masih memegang tempat khusus di hatinya—meskipun mereka sudah saling berpisah.Dengan cepat, Nara menyambar ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia melihat satu pesan yang membuat hatinya berhenti sejenak—sebuah pesan dari sebuah nomor yang tidak diken
Happy ReadingHari pernikahan tinggal dua minggu lagi. Semua terasa bergerak cepat — undangan sudah tersebar, dekorasi dipilih, katering finalisasi menu, dan Nara seharusnya merasa bahagia.Tapi setiap malam, saat lampu kamar dipadamkan, ketenangan itu pecah.Nara kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah lorong panjang berwarna kelabu, mengenakan gaun pengantin putih yang kotor dan robek. Di ujung lorong, Rehan berdiri. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia mengulurkan tangan, memanggil Nara dengan suara serak."Kenapa kamu ninggalin aku?"Nara mencoba berlari, namun kakinya terasa berat, seperti terjebak lumpur. Suara Rehan menggema di dinding lorong."Kenapa kamu bohong soal bahagiamu?"Nara terbangun dengan nafas tersengal. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia memeluk dirinya sendiri di dalam kegelapan, menahan gemetar yang mengalir dari dada hingga ke ujung jari.Itu hanya mimpi, bisiknya. Hanya mimpi. Tapi kenapa rasanya begitu nyata?***Keesokan harinya, Nara mencoba
Happy ReadingHari itu, sinar matahari terasa lebih terik dari biasanya. Mungkin karena gugup yang tak tertahankan, atau mungkin karena hari itu adalah salah satu langkah besar dalam hidup Nara — fitting pakaian akad dan resepsi sekaligus sesi foto prewedding bersama Aldo.Di studio bridal ternama di pusat kota, Nara duduk di depan cermin besar dengan lampu bulat-bulat mengelilinginya. Rambutnya sedang ditata pelan oleh penata rias, sementara beberapa kain gaun putih dengan motif halus tergantung di belakangnya, menunggu dipilih.Aldo, yang baru saja tiba, melambaikan tangan kecil ke arah Nara dari pintu. Ia mengenakan kemeja putih santai dan jeans, tampak lebih santai dibandingkan Nara yang sudah berdebar sejak pagi.“Hari ini kamu cantik banget,” kata Aldo sambil mendekat.Nara tersenyum canggung. "Baru mulai dandan juga.""Udah kelihatan kok," Aldo mengedipkan mata bercanda, membuat Nara sedikit lega.*Gaun pertama yang dikenakan Nara adalah kebaya putih bersulam benang perak, dip
Happy ReadingHari-hari setelah lamaran berlalu dengan tenang namun padat. Undangan mulai dicetak, gedung sudah dipesan, dan katering tengah melalui uji rasa. Persiapan pernikahan berjalan seperti alur yang sudah ditentukan. Tapi bagi Nara, setiap langkahnya seperti menapaki jalan baru yang belum sepenuhnya ia mengerti.Aldo, di sisi lain, tampak sabar dan penuh pengertian. Ia tidak pernah memaksa, tidak pernah terlalu mendesak. Ia hadir seperti air: mengalir, tenang, dan pelan-pelan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan luka.*Pagi itu mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang, dikelilingi jendela besar dan rak-rak buku. Aldo datang lebih dulu, mengenakan kemeja biru langit dan senyum yang tulus.“Aku udah pesenin teh chamomile buat kamu. Kamu suka itu, kan?” tanyanya begitu Nara duduk.Nara mengangguk pelan, sedikit terkejut. “Kamu masih ingat?”Aldo mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Aku belajar memperhatikan.”Mereka tertawa ringan. Untuk pertama kalinya sejak lamaran, tawa i
Happy ReadingTaman belakang rumah keluarga Nara disulap menjadi surga kecil. Lampu-lampu gantung menggantung di antara pohon mangga dan rambutan yang sudah tua, berpendar lembut seperti bintang jatuh yang enggan menyentuh tanah. Meja-meja bundar ditutupi kain satin putih dengan sentuhan emas, dan bunga melati serta mawar merah muda menghiasi setiap sudut.Tamu-tamu datang dalam balutan batik dan kebaya modern. Musik gamelan mengalun pelan, mengisi celah-celah antara percakapan, tawa, dan suara gelas beradu.Hari itu adalah hari lamaran Nara.Dan semua orang tampak bahagia.Kecuali Nara.Ia duduk di kamar, mengenakan kebaya putih gading dengan bordir halus yang membingkai leher dan pergelangan tangannya. Rambutnya disanggul klasik dengan hiasan bunga melati yang menjuntai. Cermin di depannya memantulkan sosok yang anggun, sempurna—seperti calon pengantin yang diimpikan banyak orang.Namun, matanya tidak berbinar.Rani, sahabatnya yang datang lebih awal dari Jakarta, masuk ke kamar dan