Happy Reading Malam itu, Nara tak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. Kemarahan, kekecewaan, dan luka lama kembali menyeruak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri—bagaimana bisa ia hampir percaya lagi pada Rehan? Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaket dan kunci mobilnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tiba di klub yang ada dalam video itu. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berkedip liar, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Nara melangkah masuk, matanya segera menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat dadanya begitu sesak. Dan di sana, di sudut ruangan dengan sofa empuk berwarna hitam, Rehan masih duduk dengan wanita yang sama. Tawa pria itu terdengar jelas, tangannya masih melingkar erat di pinggang si wanita. Mereka terlihat akrab, terlalu akrab. Darah Nara mendidih. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, menembus kerumunan orang-orang yang sedang berdansa. Langkahnya tegas, penu
Happy ReadingRehan berjalan keluar dari gudang dengan langkah berat. Angin malam yang menusuk kulit tak mampu mendinginkan gejolak di dalam dadanya. Pengkhianatan Arman masih berputar di kepalanya, seperti duri yang terus menusuk tanpa henti. Ia merogoh sakunya, menyalakan sebatang rokok, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara.Bayu mendekatinya, menunggu perintah. "Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?"Rehan diam sejenak, matanya menatap kosong ke kejauhan. "Pastikan dia tidak bisa berbicara dengan siapa pun. Setidaknya sampai aku memutuskan apa yang harus kulakukan dengannya."Bayu mengangguk. "Kami akan mengurusnya."Rehan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sebelum berjalan menuju mobilnya. Pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana mungkin Arman, yang selama ini ia percaya, tega mengkhianatinya?Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Nara.Aku ingin bertemu.Rehan menatap pesan itu lama, lalu mengetik balasan. Di tempat biasa, seten
Happy ReadingHampir satu minggu Nara mendiamkan Rehan. Bahkan ketika laki-laki itu menemuinya di rumah sakit, Nara menghindar, tak ingin menemui Rehan.Rehan tidak pernah merasa sesakit ini sebelumnya. Ia sudah kehilangan seorang sahabat, dan sekarang, Nara juga menjauh darinya. Tapi ia tidak akan menyerah. Jika pengkhianatan Arman telah menghancurkan segalanya, maka ia akan memperbaiki semuanya, meskipun itu berarti melewati neraka.Malam itu, Rehan berdiri di luar rumah sakit, menatap ke arah jendela kamar Nara yang terletak di lantai dua. Hujan turun, membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana ia bisa mendapatkan kembali kepercayaan Nara.****Pagi harinya, Nara keluar dari kamar rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa. Sudah cukup, pikirnya. Ia tidak bisa terus berada di tempat yang sama dengan seseorang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, begitu ia mencapai pintu keluar, seseorang berdiri menghadangnya.Rehan.Nara langsung berba
Happy ReadingRehan merasakan tubuh Nara yang gemetar dalam pelukannya. Ia mengeratkan dekapannya, membiarkan gadis itu merasakan kehangatan dan perlindungan yang ia tawarkan. Hujan gerimis yang mulai turun menambah nuansa dramatis malam itu."Aku di sini, Nara. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi," bisiknya sekali lagi.Nara masih terisak, tapi perlahan ia mencoba mengendalikan dirinya. Ia mendorong dada Rehan pelan, melepaskan diri dari pelukannya. Tatapannya masih dipenuhi luka dan kebingungan."Kenapa kau selalu muncul di saat-saat seperti ini?" suaranya serak, nyaris tak terdengar.Rehan menatapnya dalam-dalam. "Karena aku peduli padamu. Karena aku tidak akan membiarkanmu sendirian, apalagi dalam bahaya."Nara menunduk, pikirannya berantakan. "Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Aku... Aku terlalu takut, Rehan."Rehan mengusap lembut lengan Nara. "Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku akan membuktikan bahwa aku selalu ada untukmu."Malam itu, Reha
Happy ReadingDua hari setelah kejadian itu, kondisi Nara semakin memburuk. Tubuhnya terasa lemas, demam tinggi membuatnya sulit bergerak, dan kepalanya terasa berputar setiap kali ia mencoba bangkit. Awalnya, Nara berpikir ini hanya kelelahan biasa, namun setelah muntah beberapa kali dan tubuhnya menggigil hebat, ia tahu bahwa ini bukan sekadar kelelahan.Rehan, yang diam-diam masih memperhatikannya dari jauh, segera bertindak begitu mendapat kabar dari asisten Nara bahwa wanita itu jatuh sakit. Tanpa ragu, ia menghubungi dokter pribadinya dan memastikan bahwa Nara mendapat perawatan terbaik. Karena Nara bersikeras tidak ingin kembali ke rumah sakit, Rehan mengambil keputusan cepat: membawanya ke apartemen pribadinya dan merawatnya di sana.Saat Nara membuka mata, ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar luas dengan nuansa hangat dan nyaman. Selimut tebal menyelimuti tubuhnya, sementara suara samar dentingan piring terdengar dari luar kamar. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia c
Happy ReadingNara mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ancaman yang baru saja didengarnya masih terngiang di telinganya. Ia menoleh ke arah Rehan yang berdiri tegap, matanya penuh amarah yang tertahan."Apa yang akan kita lakukan sekarang?" suara Nara bergetar sedikit, tapi ia berusaha untuk tetap tegar.Rehan mengangkat dagunya sedikit, memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membawa pria itu ke tempat yang lebih aman untuk diinterogasi. "Aku akan memastikan kita mendapat jawaban. Sementara itu, kau tetap di sini. Jangan keluar tanpa izin dariku.""Jangan bersikap seperti aku ini tahanan, Rehan," protes Nara.Rehan menatapnya tajam. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu."Nara menggigit bibirnya. Ia ingin membantah, tetapi bagian dalam hatinya tahu bahwa Rehan benar. Bahayanya nyata, dan kali ini, ia tidak bisa menghadapinya sendirian.Beberapa jam kemudian, Rehan kembali ke apartemen dengan ekspresi serius. "Orang itu akhirnya bicara,"
Happy ReadingSetelah beberapa minggu penuh ketegangan, akhirnya situasi mulai mereda. Rehan berhasil melacak dalang di balik ancaman tersebut, dan dengan caranya sendiri, ia memastikan bahwa orang-orang itu tidak akan mengganggu Nara lagi. Rasa aman mulai kembali ke dalam hidupnya, meski bayangan masa lalu masih sesekali muncul di benaknya.Nara kembali ke rutinitasnya, melanjutkan pekerjaan dan kehidupannya yang sempat terhenti. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah semua yang terjadi, ia menyadari bahwa keberadaan Rehan dalam hidupnya lebih berarti dari yang ia kira.Namun, seperti biasa, kebahagiaan itu tidak bertahan lama."Aku harus pergi ke London," ujar Rehan suatu malam saat mereka sedang duduk di balkon apartemen Nara. Angin malam berembus lembut, membawa serta perasaan yang sulit dijelaskan.Nara menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. "Untuk berapa lama?"Rehan menghela napas. "Beberapa minggu. Mungkin lebih. Ada event bisnis yang harus kuhadiri, dan beberap
Happy ReadingNara berjalan melewati koridor kantornya dengan langkah cepat. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap detik terasa lambat, dan pikirannya terus menerawang ke sosok yang sudah berminggu-minggu tidak ia lihat.Ia melirik ponselnya. Tidak ada pesan dari Rehan. Tidak ada panggilan tak terjawab. Sama seperti beberapa hari terakhir.Sesampainya di apartemen, ia melempar tasnya ke sofa dan berjalan ke balkon. Angin malam menyentuh wajahnya, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan perasaan yang tak menentu.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu menginterupsi pikirannya. Dengan sedikit enggan, Nara berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ia membeku di tempat.Di hadapannya, berdiri Rehan dengan senyum khasnya. Namun bukan hanya kehadirannya yang membuat Nara terdiam. Di belakang Rehan, seorang pria membawa sebuah bucket mawar raksasa—seribu tangkai, mungkin lebih. Warna merahnya begitu mencolok, hampir seperti lautan kel
Happy Reading Beberapa bulan berlalu sejak Nara membuat keputusan besar untuk berhenti bekerja sebagai psikiater. Ia memutuskan untuk menggali potensi dirinya di luar dunia medis yang selama ini ia kenal. Kehidupan barunya dimulai dengan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya, Arga Makmur, tempat ia mulai belajar tentang pentingnya menemukan kedamaian dengan diri sendiri.Namun, semangat baru itu segera membawanya pada sebuah rencana besar yang selama ini hanya menjadi impian yang tertunda—bisnis fashion.Nara duduk di meja kerja, laptop terbuka di depannya, memeriksa daftar barang-barang yang perlu dibeli untuk toko konsep barunya. Sebuah ide yang seakan menghidupkan kembali api yang sempat padam dalam dirinya. Ia sudah mengurus perizinan dan menemukan lokasi untuk toko pertamanya—sebuah bangunan di Jakarta yang terletak di area strategis, namun dengan atmosfer yang tenang dan elegan, persis seperti yang ia inginkan.Toko itu akan berbeda dengan yang lainnya. Nara ingin menciptaka
Happy Reading Malam turun pelan-pelan seperti selimut yang lembut. Rumah Rehan kembali menjadi tempat pertemuan diam-diam yang kini bukan lagi tentang sembunyi, tapi tentang menyusun ulang arah hidup. Nara datang tanpa membawa koper, tanpa amplop surat tugas, hanya tas kecil dan wajah yang tenang—tenang dengan cara yang baru.Rehan membukakan pintu tanpa banyak kata. Ia hanya menatap mata Nara, lalu tersenyum pelan."Masuk."Nara duduk di sofa abu-abu yang kini sudah lebih sering ia kunjungi daripada kamarnya sendiri. Di meja, ada teh jahe hangat dan kue kesukaannya—Rehan tahu caranya membaca hari-hari yang berat.“Aku udah bikin daftar kemungkinan di kertas,” ucap Nara tiba-tiba, membuka map kecil dari dalam tasnya. “Tapi ternyata… yang paling masuk akal adalah ini.” Ia menyodorkan selembar surat.Rehan membacanya cepat. Matanya langsung membelalak. “Ini…”“Surat pengunduran diriku. Dari proyek Bandung… dan juga dari rumah sakit.”Keheningan turun sejenak, lebih panjang dari biasany
Happy Reading Pagi itu, matahari muncul malu-malu dari balik awan. Langit masih basah sisa hujan semalam. Di atas meja makan, dua cangkir kopi mengepul. Rehan sedang mencatat sesuatu di buku kulit hitamnya, sementara Nara sibuk menatap layar ponsel dengan alis berkerut."Sayang," panggil Rehan pelan, "kamu udah pilih tanggalnya?"Nara mengangkat wajah, matanya tampak kosong. “Tanggal apa?”“Untuk ketemu keluargaku. Kita sepakat mau mulai dari sana, kan? Kamu bilang siap kalau mereka mau bicara baik-baik…”Nara meletakkan ponselnya perlahan. “Rehan… aku dapat kabar pagi ini.”Rehan langsung berhenti menulis. “Kabar apa?”“Surat dari rumah sakit,” jawab Nara, lalu menyerahkan ponselnya pada Rehan. Di layar, terpampang jelas email resmi dari Direktur Rumah Sakit Utama Nusantara.Rehan membaca cepat. Matanya langsung membulat. “Bandung?!”Nara mengangguk pelan. “Iya. Mereka minta aku ikut tim pengembangan pusat onkologi baru di sana. Enam bulan. Mungkin bisa lebih kalau proyeknya lancar.
Happy Reading Hujan masih turun di luar jendela saat malam semakin larut. Aroma tanah basah berpadu dengan aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan. Nara duduk bersila di karpet ruang tengah, secangkir kopi hangat di tangan. Di seberangnya, Rehan menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.Mereka baru saja selesai makan malam sederhana, tapi hening yang menggantung di antara mereka jauh dari sederhana.“Jadi… kamu belum bilang ke Mama kamu?” Nara memecah keheningan, suaranya pelan namun tegas.Rehan menghela napas. “Belum. Dan… dia tahu aku di sini.”Nara menunduk, menggenggam cangkirnya erat. “Apa dia bilang sesuatu?”Rehan mengangguk pelan. “Dia bilang… aku membuat kesalahan yang sama seperti Ayah dulu.”Nara mendongak, mata membulat. “Kesalahan?”“Ya. Ayahku dulu meninggalkan keluarganya demi perempuan yang tidak disetujui oleh kakek. Perempuan itu… bukan ibuku,” ucap Rehan lirih. “Dan sekarang, menurut Mama, aku mengulang cerita itu.”Keheningan kembali mengisi ruangan. Tap
Happy ReadingLangit Jakarta sore itu kelabu, seolah turut meresapi perasaan Nara yang tak karuan. Ia duduk di balkon apartemennya, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan lalu lalang. Di tangannya, ponsel dengan layar percakapan terbuka.Ia telah mengirim pesan satu jam lalu.> *"Rehan… Aku butuh kamu pulang. Kita harus bicara. Bukan sekadar tentang kita, tapi tentang semua yang belum selesai."*Tak lama kemudian, centang dua biru muncul. Tapi belum ada balasan. Nara menunggu dalam diam, perasaannya berputar-putar seperti pusaran air. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendesak untuk segera diungkapkan. Bukan hanya karena panggilan misterius dari Aksa kemarin, tapi karena hubungan ini sudah terlalu lama digantung.Ia lelah mencintai dalam jarak dan diam. Lelah bertanya-tanya, apakah semuanya masih nyata seperti dulu.Ponselnya akhirnya bergetar. Bukan pesan—tapi panggilan video. Nama Rehan muncul di layar.Dengan tangan gemetar, ia mengangkat.Wajah
Happy ReadingJam sudah menunjukkan pukul satu siang, tapi Nara bahkan belum sempat melirik ke arah makanan. Perutnya perih, tapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan sinyal lapar yang datang dari tubuhnya. Hari ini, klinik tempatnya bekerja dipenuhi pasien sejak pagi. Ia sudah duduk di ruang konsultasi sejak pukul delapan, hanya keluar sebentar untuk mengambil segelas air. Bahkan, waktu untuk ke toilet pun ia tunda.Pasien pertama datang dengan gejala klasik gangguan bipolar: mood swing ekstrem, perasaan euforia yang tiba-tiba berganti dengan keputusasaan mendalam. Nara mendengarkan dengan sabar, mencatat setiap kata, merespons dengan lembut namun tegas. Ia tahu betapa sulitnya membuka diri, terlebih soal penyakit mental di masyarakat yang masih memandangnya sebelah mata.Pasien berikutnya bahkan lebih sulit. Seorang remaja perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Tubuhnya tak terluka, tapi matanya memancarkan trauma yang dalam. Suaranya gemetar saat bercerita
Happy ReadingPagi itu, London diselimuti kabut tipis. Udara dingin menyeruak dari celah jendela kamar hotel, tapi bukan itu yang membuat Nara menggigil—melainkan kenyataan bahwa hari ini, ia harus pulang ke Indonesia.Koper-koper sudah tertata rapi di dekat pintu. Rehan duduk di tepian ranjang, menatap Nara yang masih berdiri di dekat jendela, mengenakan jaket kulit hitam dan celana jeans biru yang membalut tubuhnya dengan gaya simpel namun kuat.“Are you sure you don’t want me to come with you?” tanya Rehan, suaranya nyaris seperti bisikan.Nara menoleh, memaksakan senyum. “You can’t, Rehan. You have things to fix here. Your company needs you… your family needs you.”Rehan bangkit, mendekat, lalu menyentuh pipi Nara dengan lembut. “And you? What about *me* needing *you*?”Tatapan Nara melembut. Ia menggenggam tangan Rehan. “You do. And that’s why I’m going. So you can take care of everything here without worrying about me.”Ia mencoba terdengar kuat, tapi matanya mulai memanas. Ia t
Happy Reading Malam perayaan anniversary mereka memang telah usai, tapi kenangan dan sensasinya masih membekas kuat di hati Nara. London masih menyuguhkan pesonanya yang lain: gemerlap kota, suasana romantis, dan jejak sejarah yang tak henti memanggil untuk dijelajahi. Bagi Rehan dan Nara, ini bukan sekadar liburan, tapi perjalanan batin yang mempererat mereka lebih dalam.Mereka memang belum menikah, namun hubungan keduanya sudah seperti sepasang suami istri yang saling memahami, saling melengkapi, dan tak ragu untuk terbuka satu sama lain. Rehan begitu terbuka dalam mencintai, dan Nara—yang dulunya penuh keraguan—kini mulai mengimbangi. Ia memilih untuk membuka hatinya sepenuhnya, tanpa lagi menahan diri dari bayang-bayang masa lalu.Pagi itu, Rehan membangunkan Nara dengan ciuman lembut di kening. “Wake up, sleepyhead. We’ve got a full day ahead.”Nara membuka mata perlahan, senyum mengembang di wajahnya. “Where are we going today?” gumamnya, masih setengah mengantuk.“Today, we’r
Happy Reading Sudah satu tahun berlalu sejak hari pertama Nara dan Rehan bersama, dan hubungan mereka semakin kuat. Banyak hal yang telah mereka lalui bersama, dari tawa hingga air mata, dari kebahagiaan sederhana hingga kejutan-kejutan luar biasa yang selalu Rehan siapkan. Hari ini, mereka merayakan momen penting itu: **anniversary mereka yang pertama**.Pagi itu, Nara terbangun dengan perasaan aneh. Sesuatu terasa berbeda, meskipun ia tak tahu pasti apa. Di sampingnya, Rehan sudah bangun lebih dulu dan duduk di dekat meja, dengan mata yang tampak penuh arti. Ia menatap Nara dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. "Happy anniversary, my love," ucap Rehan dengan lembut, suara penuh kasih.Nara mengangkat alis, sedikit bingung. "Terima kasih, Rehan... Ada yang spesial hari ini?"Rehan tertawa pelan, lalu menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna merah hati. "I have a surprise for you. Open it," kata Rehan dengan tatapan yang penuh makna.Nara membuka kotak itu, dan di dalamnya terdap