Happy Reading Pagi itu, matahari muncul malu-malu dari balik awan. Langit masih basah sisa hujan semalam. Di atas meja makan, dua cangkir kopi mengepul. Rehan sedang mencatat sesuatu di buku kulit hitamnya, sementara Nara sibuk menatap layar ponsel dengan alis berkerut."Sayang," panggil Rehan pelan, "kamu udah pilih tanggalnya?"Nara mengangkat wajah, matanya tampak kosong. “Tanggal apa?”“Untuk ketemu keluargaku. Kita sepakat mau mulai dari sana, kan? Kamu bilang siap kalau mereka mau bicara baik-baik…”Nara meletakkan ponselnya perlahan. “Rehan… aku dapat kabar pagi ini.”Rehan langsung berhenti menulis. “Kabar apa?”“Surat dari rumah sakit,” jawab Nara, lalu menyerahkan ponselnya pada Rehan. Di layar, terpampang jelas email resmi dari Direktur Rumah Sakit Utama Nusantara.Rehan membaca cepat. Matanya langsung membulat. “Bandung?!”Nara mengangguk pelan. “Iya. Mereka minta aku ikut tim pengembangan pusat onkologi baru di sana. Enam bulan. Mungkin bisa lebih kalau proyeknya lancar.
Happy Reading Malam turun pelan-pelan seperti selimut yang lembut. Rumah Rehan kembali menjadi tempat pertemuan diam-diam yang kini bukan lagi tentang sembunyi, tapi tentang menyusun ulang arah hidup. Nara datang tanpa membawa koper, tanpa amplop surat tugas, hanya tas kecil dan wajah yang tenang—tenang dengan cara yang baru.Rehan membukakan pintu tanpa banyak kata. Ia hanya menatap mata Nara, lalu tersenyum pelan."Masuk."Nara duduk di sofa abu-abu yang kini sudah lebih sering ia kunjungi daripada kamarnya sendiri. Di meja, ada teh jahe hangat dan kue kesukaannya—Rehan tahu caranya membaca hari-hari yang berat.“Aku udah bikin daftar kemungkinan di kertas,” ucap Nara tiba-tiba, membuka map kecil dari dalam tasnya. “Tapi ternyata… yang paling masuk akal adalah ini.” Ia menyodorkan selembar surat.Rehan membacanya cepat. Matanya langsung membelalak. “Ini…”“Surat pengunduran diriku. Dari proyek Bandung… dan juga dari rumah sakit.”Keheningan turun sejenak, lebih panjang dari biasany
Happy Reading Beberapa bulan berlalu sejak Nara membuat keputusan besar untuk berhenti bekerja sebagai psikiater. Ia memutuskan untuk menggali potensi dirinya di luar dunia medis yang selama ini ia kenal. Kehidupan barunya dimulai dengan perjalanan kembali ke tanah kelahirannya, Arga Makmur, tempat ia mulai belajar tentang pentingnya menemukan kedamaian dengan diri sendiri.Namun, semangat baru itu segera membawanya pada sebuah rencana besar yang selama ini hanya menjadi impian yang tertunda—bisnis fashion.Nara duduk di meja kerja, laptop terbuka di depannya, memeriksa daftar barang-barang yang perlu dibeli untuk toko konsep barunya. Sebuah ide yang seakan menghidupkan kembali api yang sempat padam dalam dirinya. Ia sudah mengurus perizinan dan menemukan lokasi untuk toko pertamanya—sebuah bangunan di Jakarta yang terletak di area strategis, namun dengan atmosfer yang tenang dan elegan, persis seperti yang ia inginkan.Toko itu akan berbeda dengan yang lainnya. Nara ingin menciptaka
Happy ReadingToko Nara, *Ateliera*, telah berdiri megah di sudut jalan Kemang. Bangunan dua lantai itu memancarkan nuansa minimalis elegan, dengan kaca besar di fasad depan dan interior yang didominasi warna netral dan aksen emas. Pelanggan yang datang tidak hanya tertarik pada koleksi fashion yang unik, tetapi juga pengalaman eksklusif: konsultasi gaya pribadi, ruangan fitting seperti galeri seni, dan musik ambient yang menenangkan.Namun, seperti roda yang terus berputar, kehidupan Nara kembali diuji.Suatu pagi, saat sedang mengecek laporan keuangan di ruang belakang tokonya, telepon Nara berdering. Nama “Karin” terpampang di layar—sepupu jauhnya yang kini bekerja di dunia korporat. Nara jarang berhubungan dengannya, jadi telepon ini langsung menimbulkan rasa was-was.“Nara, kamu harus hati-hati. Aku denger kabar dari salah satu rekananku di perusahaan distribusi bahan—ada yang nyebar isu kalau brand kamu pakai bahan impor ilegal dari China. Katanya, kamu ngejalanin bisnis dengan
Happy ReadingLangit Jakarta sore itu berwarna kelabu. Udara terasa lembap, dan jalanan macet seperti biasa. Tapi bagi Nara, kemacetan hari itu tak seberapa dibanding macetnya pikirannya sendiri.Sudah tiga hari berturut-turut Rehan tidak membalas pesannya dengan utuh. Hanya balasan singkat seperti, “Oke.” atau “Nanti ya.”Bahkan semalam, panggilannya ditolak. Padahal sebelumnya, Rehan selalu menjadi tempat pulang paling nyaman setelah hari yang melelahkan.Nara duduk di ruang belakang toko Ateliera, membuka ponsel untuk kesekian kalinya, menatap chat yang menggantung tanpa kejelasan. Di benaknya, mulai tumbuh pertanyaan yang menakutkan: Apakah dia mulai menjauh? Atau... sudah ada yang menggantikan?Sore itu, tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk datang ke kantor Rehan.***Di gedung tinggi tempat Rehan bekerja, Nara menunggu di lobi selama hampir satu jam. Ia menolak pulang meski resepsionis bilang Rehan sedang rapat dan belum bisa diganggu. Akhirnya, saat jarum jam menyentuh angk
Happy ReadingSudah dua bulan sejak Rehan dan Nara putus. Dan seperti yang Nara takutkan, Rehan berubah—atau mungkin, kembali ke versi dirinya yang dulu. Versi yang dingin, tidak peduli, dan memperlakukan hubungan seperti permainan catur. Bar malam di kawasan SCBD menjadi tempat pelarian barunya. Setiap akhir pekan, bahkan kadang di malam kerja, Rehan ada di sana—minuman di tangan, perempuan berbeda di sisi. Teman-teman lamanya yang dulu sempat menjauh saat ia bersama Nara, kini kembali mengelilinginya.“Lu balik lagi, Han. Ini baru Rehan yang gue kenal!” seru Bagas, menepuk punggung Rehan keras-keras.Rehan hanya tertawa kecil. Di depannya duduk seorang perempuan muda dengan mata tajam dan senyum yang mencurigakan. Namanya *Remaine*—model, influencer, dan gadis yang tak asing dengan permainan kuasa.“Jadi ini kamu yang katanya dulu kalem banget pas pacaran?” tanya Remaine sambil menyedot minuman dengan sedotan logamnya. “Gue nggak percaya.”Rehan menoleh, ekspresinya datar. “Pacaran
Happy ReadingLangit Jakarta malam itu terasa berat. Angin panas menyelinap lewat jendela tinggi apartemen Remaine di kawasan pusat kota, membawa aroma hujan yang belum jatuh juga. Di dalam, lampu-lampu kuning redup menciptakan bayangan yang panjang di dinding. Dan di tengah ruang tamu yang berantakan oleh botol anggur kosong dan kertas kerja, duduklah Rehan — diam, dengan rahang mengeras dan mata menatap kosong ke arah balkon.Remaine berdiri di belakangnya, menyender pada dinding dengan gelas wine di tangan, mengenakan gaun satin merah marun yang terlalu tipis untuk malam sedingin itu."Aku selalu suka versi kamu yang begini, Han," ucapnya pelan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Dingin. Brengsek. Nggak peduli.”Rehan tidak menjawab. Sudah lewat tengah malam. Ia bahkan tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini, ke tempat yang seharusnya ia hindari. Tapi sejak perpisahannya dengan Nara—yang berakhir dengan pesan pendek dan panggilan tak terjawab selama tiga hari berturut-tur
Happy ReadingSudah tiga hari sejak malam itu. Tiga hari sejak Rehan bangun dari ranjang Remaine dengan kepala penuh penyesalan… dan entah kenapa, sedikit kenikmatan gelap yang tak mau hilang. Ia mencoba melanjutkan harinya seperti biasa—meeting, deadline, dan segunung laporan. Tapi bayangan Remaine, suaranya yang berbisik di telinga, dan tatapan Nara yang selalu ia ingat tiap malam sebelum tidur, membuat pikirannya terkoyak habis-habisan.Nara, di sisi lain, merasa ada yang berubah. Bukan hanya karena Rehan mulai sulit dihubungi, tapi juga karena setiap kali mereka bicara—kalaupun sempat—nada Rehan terdengar datar, seperti sedang menyimpan sesuatu yang ia sendiri belum siap akui.Pagi itu, Nara duduk sendirian di kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia menatap ke luar jendela sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin. Ia mencoba menghubungi Rehan dua kali sejak semalam, tapi tak ada balasan. Entah kenapa, dada Nara terasa sesak.Bersamaan dengan itu, di seberang kota, Remai
Happy ReadingKehidupan rumah tangga Nara dan Aldo berjalan dengan ritme yang teratur, hampir seperti mesin yang terus berputar tanpa henti. Setiap pagi, Nara bangun dengan rutinitas yang hampir sama: menyiapkan sarapan untuk Aldo, merapikan rumah, dan mempersiapkan dokumen-dokumen pekerjaan yang selalu menumpuk. Aldo, dengan sifatnya yang sibuk, sering kali pergi pagi-pagi buta untuk rapat atau pertemuan bisnis, meninggalkan Nara dalam kesendirian yang terkadang mencekam.Pada awalnya, Nara mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aldo adalah pria yang baik, penuh perhatian, dan sangat mencintainya. Keluarga mereka menyetujui hubungan ini, dan dia merasa ada rasa tanggung jawab untuk membuat pernikahannya berhasil. Tapi seiring berjalannya waktu, ada rasa kosong yang terus berkembang dalam dirinya. Kehidupan mereka terasa lebih seperti rutinitas yang tak terhindarkan, tanpa ada percikan gairah atau cinta yang menggebu seperti dulu bersama Rehan.Setiap kal
Happy ReadingRehan duduk sendirian di sebuah bar yang remang-remang, memandang kosong ke arah gelas wine yang sudah hampir habis. Pikirannya kacau, berputar-putar dalam kekosongan yang semakin dalam. Di layar ponselnya, foto pernikahan Nara dengan Aldo terpampang jelas. Senyum Nara yang dulu selalu menjadi sumber kebahagiaannya kini justru menjadi pisau yang menusuk. Itu adalah foto yang diambil di hari bahagia mereka, momen yang harusnya penuh kebahagiaan, tetapi baginya malah membawa penderitaan.Jari-jarinya yang gemetar membuka foto itu lebih lebar, melihat wajah Nara yang begitu cantik dalam balutan gaun pengantin putih. Meski senyum itu tampak sempurna, ada sesuatu yang berbeda. Nara tampaknya sudah bukan lagi wanita yang dulu ia kenal, wanita yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati. Rehan merasa hancur melihatnya, karena pada akhirnya, dia adalah orang yang melepaskan Nara. Ia tak pernah bisa memberikan apa yang Nara butuhkan.Di sekelilingnya, tawa teman-teman pelacur yang
Happy ReadingMalam itu, resepsi pernikahan Nara dan Aldo berlangsung dengan penuh kemewahan dan kehangatan. Gedung besar tempat acara digelar dipenuhi dengan lampu-lampu kristal yang berkilau, dekorasi bunga-bunga mewah yang menghiasi setiap sudut, dan suasana yang penuh dengan tawa dan percakapan para tamu undangan. Musik yang merdu mengalun di seluruh ruangan, memberikan kesan elegan namun tetap intim. Namun, meskipun segala sesuatu tampak sempurna, Nara merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, seakan ada kekosongan yang tak bisa ia isi.Aldo, tampak begitu bahagia. Senyum lebar menghiasi wajahnya, sementara tangan kanannya menggenggam tangan Nara dengan penuh perhatian. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," kata Aldo dengan lembut, menatap Nara penuh kasih sayang.Nara membalas dengan senyuman tipis. "Terima kasih," jawabnya pelan, namun pikirannya kembali melayang ke masa lalu. Di tengah keramaian ini, ia merasa terasing. Pikirannya melayang pada Rehan, pria yang dulu
Happy ReadingHari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tanggal yang ditetapkan untuk pernikahan Nara dan Aldo. Cuaca pagi itu cerah, matahari bersinar terang, dan angin sepoi-sepoi seolah menjadi pertanda baik bagi hari yang penuh makna ini. Segala persiapan telah dilakukan dengan sempurna, dan keluarga Nara serta Aldo siap untuk merayakan pernikahan yang dianggap sebagai sebuah kebahagiaan baru, sebuah langkah besar dalam hidup mereka.Namun, di balik kegembiraan itu, ada sebuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan—sesuatu yang mengganjal di hati Nara. Hari ini, meskipun sudah lama dipersiapkan, tidak sepenuhnya membuat hatinya merasa lega. Nara duduk di ruang rias, mengenakan gaun pengantin yang indah, wajahnya dihiasi riasan tipis namun elegan. Ia memandang dirinya di cermin besar di depannya, mencoba mencerna semuanya.Saat ia menatap cermin, bayangan masa lalu muncul begitu saja. Rehan. Bayangan tentang bagaimana mereka dulu berbicara tentang masa depan, tentang impian yan
Happy ReadingHari pernikahan Nara semakin dekat, hanya tinggal beberapa hari lagi. Persiapannya sudah hampir rampung—gaun pengantin telah selesai dijahit, catering telah dipilih, dan dekorasi sudah hampir selesai dipasang di gedung. Semua orang tampaknya sibuk menyusun detail kecil demi detail kecil yang akan membuat hari itu sempurna. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipersiapkan dengan baik: hati Nara.Pagi itu, Nara terbangun dengan perasaan yang campur aduk. Mimpinya yang buruk tentang Rehan masih menghantuinya, dan meskipun ia mencoba untuk terus maju dengan hidup barunya, bayangan masa lalu itu terus membayanginya. Rehan—laki-laki yang telah menjadi bagian dari cerita hidupnya, laki-laki yang entah kenapa masih memegang tempat khusus di hatinya—meskipun mereka sudah saling berpisah.Dengan cepat, Nara menyambar ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia melihat satu pesan yang membuat hatinya berhenti sejenak—sebuah pesan dari sebuah nomor yang tidak diken
Happy ReadingHari pernikahan tinggal dua minggu lagi. Semua terasa bergerak cepat — undangan sudah tersebar, dekorasi dipilih, katering finalisasi menu, dan Nara seharusnya merasa bahagia.Tapi setiap malam, saat lampu kamar dipadamkan, ketenangan itu pecah.Nara kembali bermimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah lorong panjang berwarna kelabu, mengenakan gaun pengantin putih yang kotor dan robek. Di ujung lorong, Rehan berdiri. Wajahnya pucat, matanya kosong. Ia mengulurkan tangan, memanggil Nara dengan suara serak."Kenapa kamu ninggalin aku?"Nara mencoba berlari, namun kakinya terasa berat, seperti terjebak lumpur. Suara Rehan menggema di dinding lorong."Kenapa kamu bohong soal bahagiamu?"Nara terbangun dengan nafas tersengal. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia memeluk dirinya sendiri di dalam kegelapan, menahan gemetar yang mengalir dari dada hingga ke ujung jari.Itu hanya mimpi, bisiknya. Hanya mimpi. Tapi kenapa rasanya begitu nyata?***Keesokan harinya, Nara mencoba
Happy ReadingHari itu, sinar matahari terasa lebih terik dari biasanya. Mungkin karena gugup yang tak tertahankan, atau mungkin karena hari itu adalah salah satu langkah besar dalam hidup Nara — fitting pakaian akad dan resepsi sekaligus sesi foto prewedding bersama Aldo.Di studio bridal ternama di pusat kota, Nara duduk di depan cermin besar dengan lampu bulat-bulat mengelilinginya. Rambutnya sedang ditata pelan oleh penata rias, sementara beberapa kain gaun putih dengan motif halus tergantung di belakangnya, menunggu dipilih.Aldo, yang baru saja tiba, melambaikan tangan kecil ke arah Nara dari pintu. Ia mengenakan kemeja putih santai dan jeans, tampak lebih santai dibandingkan Nara yang sudah berdebar sejak pagi.“Hari ini kamu cantik banget,” kata Aldo sambil mendekat.Nara tersenyum canggung. "Baru mulai dandan juga.""Udah kelihatan kok," Aldo mengedipkan mata bercanda, membuat Nara sedikit lega.*Gaun pertama yang dikenakan Nara adalah kebaya putih bersulam benang perak, dip
Happy ReadingHari-hari setelah lamaran berlalu dengan tenang namun padat. Undangan mulai dicetak, gedung sudah dipesan, dan katering tengah melalui uji rasa. Persiapan pernikahan berjalan seperti alur yang sudah ditentukan. Tapi bagi Nara, setiap langkahnya seperti menapaki jalan baru yang belum sepenuhnya ia mengerti.Aldo, di sisi lain, tampak sabar dan penuh pengertian. Ia tidak pernah memaksa, tidak pernah terlalu mendesak. Ia hadir seperti air: mengalir, tenang, dan pelan-pelan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan luka.*Pagi itu mereka bertemu di sebuah kafe yang tenang, dikelilingi jendela besar dan rak-rak buku. Aldo datang lebih dulu, mengenakan kemeja biru langit dan senyum yang tulus.“Aku udah pesenin teh chamomile buat kamu. Kamu suka itu, kan?” tanyanya begitu Nara duduk.Nara mengangguk pelan, sedikit terkejut. “Kamu masih ingat?”Aldo mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Aku belajar memperhatikan.”Mereka tertawa ringan. Untuk pertama kalinya sejak lamaran, tawa i
Happy ReadingTaman belakang rumah keluarga Nara disulap menjadi surga kecil. Lampu-lampu gantung menggantung di antara pohon mangga dan rambutan yang sudah tua, berpendar lembut seperti bintang jatuh yang enggan menyentuh tanah. Meja-meja bundar ditutupi kain satin putih dengan sentuhan emas, dan bunga melati serta mawar merah muda menghiasi setiap sudut.Tamu-tamu datang dalam balutan batik dan kebaya modern. Musik gamelan mengalun pelan, mengisi celah-celah antara percakapan, tawa, dan suara gelas beradu.Hari itu adalah hari lamaran Nara.Dan semua orang tampak bahagia.Kecuali Nara.Ia duduk di kamar, mengenakan kebaya putih gading dengan bordir halus yang membingkai leher dan pergelangan tangannya. Rambutnya disanggul klasik dengan hiasan bunga melati yang menjuntai. Cermin di depannya memantulkan sosok yang anggun, sempurna—seperti calon pengantin yang diimpikan banyak orang.Namun, matanya tidak berbinar.Rani, sahabatnya yang datang lebih awal dari Jakarta, masuk ke kamar dan