Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingNara berdiri mematung di depan layar. Kata-kata pada subjek email itu seperti petir yang menyambar tenang sore mereka: "C-02. Masih hidup. Lokasi: Eks-Pabrik Farmasi Ananta.”Rehan berdiri di belakangnya, membaca bersama. “C-02… itu pasien yang disebut ‘mati’ tiga minggu lalu, kan?” Nara mengangguk pelan, bibirnya menegang. “Yang disebut overdosis. Tapi aku curiga ada yang janggal dari awal.” “Kalau ini benar… artinya mereka memalsukan kematian pasien,” ujar Rehan, nadanya pelan tapi tegas. “Dan kalau satu pasien bisa dipalsukan, bisa jadi yang lain juga…” Nara memutar kursi, menghadap Rehan. “Kita harus ke sana malam ini. Sebelum jejaknya dihapus lagi.” Rehan ragu sejenak. “Kita nggak tahu siapa yang kirim email ini. Bisa jadi jebakan.” “Aku tahu,” sahut Nara cepat. “Tapi kita juga tahu, kalau kita tunggu—semuanya bisa terlambat.”Rehan menghela napas, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita nggak pergi tanpa persiapan.” ***Malam menjelang cepat. Langit gelap ta
Happy ReadingVan medis itu menjauh dari kawasan pabrik dengan kecepatan stabil. Nara duduk bersandar di jok belakang, menatap Fira yang kini terbaring dengan selimut tipis. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang, meskipun tubuhnya masih lemah.Rehan duduk di samping sopir, sibuk berbicara lewat saluran komunikasi dengan timnya. Sesekali, ia menoleh ke arah Nara, memastikan semuanya masih terkendali. Setelah satu jam perjalanan dan mereka mencapai lokasi aman, van berhenti di sebuah rumah persembunyian milik salah satu kontak Rehan di pinggiran kota—tempat yang dulu digunakan sebagai tempat aman bagi saksi investigasi.Setelah memastikan Fira aman di kamar belakang, dijaga perawat khusus, Rehan kembali menemui Nara yang berdiri di teras belakang rumah, menatap langit yang mulai berpendar fajar.“Aku tahu kamu belum makan sejak siang,” kata Rehan, mendekat pelan. “Kita butuh tenaga buat lanjut besok. Aku pesen makanan.”Nara menoleh dan mengangkat alis. “Di tengah kekacauan ini kam
"Jika cinta hanya melibatkan obsesi maka hubungan akan berakhir dengan luka." Happy Reading "Gue mau nikah sama Lo." seorang laki-laki mencengkram tangan perempuannya seraya menekankan kalimat yang baru saja terlintas di otak. Kalimat yang seharusnya paling ampuh untuk tidak mengakhiri hubungan ini. "Lo pikir Gue apa Rehan? barang? Aset? Properti? atau pajangan?" "Ingat ya Gue nggak mau nikah sama Lo! Gue mau putus." tekan gadis itu tanpa ada pengulangan, tanpa ada negosiasi dan tanpa ada kesempatan. Gadis itu berusaha melepaskan tangannya dari laki-laki ini, Ia sudah sangat membencinya. Melihatnya saja muak apalagi jika harus menikah dengan orang ini. "Lo lupa sama janji Kita Ra." "Gue nggak pernah lupa, Lo yang lupa Lo yang mengkhianati hubungan ini, Lo yang salah di sini Rehan!" "Gue udah muak sama Lo, tiga tahun kita jalanin ini tapi hampir setiap hari isinya toxic doang. Sekarang izinkan Gue untuk bertindak Gue harap Lo setuju dengan keputusan ini." Nara lantas lang
Happy Reading "Kasus pelecehan terhadap perempuan kerap kali terjadi dari berbagai belahan dunia, satu hal yang menjadi fokus kita adalah traumatis yang dialami korban, diagnosis yang cepat dan tepat serta pengobatan yang paling efektif yang harus kita lakukan." seorang wanita cantik bertubuh proporsional dengan gigi yang rapi itu berdiri di depan layar yang menampilkan gambar ilustrasi dalam bentuk slide power point seraya memegang sebuah spidol. Tentu pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa kalangan para dokter jiwa melainkan pertemuan yang sangat penting dan harus dilakukan secepat mungkin. Mengingat jumlah korban kian bertambah psikiater harus bergerak semakin cepat. Terutama di negara Inggris. "Bersujud!" perintah Rehan meminta Clara bersujud di depannya seraya menampilkan bokongnya. Rehan langsung membuka celananya dengan cepat Ia menarik bokong gadis itu untuk dimasuki. Clara merintih dengan keras Ia merasa kesakitan juga perih bukan hanya bagian bawahnya melainkan perasa
Happy ReadingNara baru saja landing dan tiba di London Heathrow Airport bersama dengan dua rekan lainnya dari kota yang berbeda. Mengingat London Heathrow Airport tidak terlepas dari sejarahnya Airport ini merupakan Bandara terbesar dan tertua di London. Berdiri sejak tahun 1930-an, bandara ini awalnya dikenal sebagai Great Western Aerodrome. Pada tahun 1946, bandara ini resmi dibuka untuk penerbangan sipil. Saat ini, London Heathrow menjadi bandara tersibuk di Inggris dan peringkat kelima di dunia dalam hal lalu lintas penumpang. Bandara ini juga memiliki lima terminal penumpang dan melayani berbagai rute penerbangan domestik dan internasional. Nara tidak melupakan untuk lunch di Lounge VIP sebelum ke hotel yang sudah mereka booking. Tanpa sengaja manik matanya melihat seseorang yang Ia kenal berjalan menaiki lift diikuti dengan beberapa orang. "Kamu tidak lupa 'kan Nara jika Dia berada di London." kalimat itu terlintas kembali di pikirannya tapi sedetik kemudian Ia abaikan tidak
Happy ReadingClara melipat kedua kakinya di dada seraya menangkupkan tangan, tubuhnya bergetar hebat Ia sekarang sudah di rumah sakit setelah sebelumnya Clara menghubungi psikiater yang biasa menangani dirinya. Rehan melepaskan Clara setelah lima jam menyiksa wanita ini. Jika bukan Alex yang melepaskan kesetanan yang ada di Rehan mungkin laki-laki itu sudah membunuh Clara. "Argh...Argh...Argh." pekik Clara berteriak padahal baru satu jam wanita ini diberi obat penenang tapi seperti Ia mengalami kecemasan yang terlalu berlebihan. Sampai seorang dokter pun tidak sanggup lagi menanganinya Ia pun segera menghubungi dokter jiwa yang sedang melakukan penelitian di sini. "Hallo Dok, I'm so sorry tapi ini sangat urgent." Suara dokter ini sangat bergetar membuat Nara pun langsung panik. "Ada apa Dok?""Pasien Kami mengalami anxiety, Saya harap anda bisa menanganinya." "Baik Saya akan ke sana." Nara langsung mengganti baju dan juga mengambil jas putihnya kemudian turun diikuti dengan seo
Happy ReadingRehan sedari tadi mengecek ponselnya menunggu notif dari seseorang yang sedang Ia tunggu. Tapi setelah mengirimkan pesan satu jam yang lalu Ia tidak kunjung mendapatkan balasan. "Apakah Ia mempermainkanku?" pertanyaan itu membuat Rehan mengepalkan tangannya. "Siapkan mobil kita akan ke rumah sakit." sesaat setelah Rehan memerintahkan pada Alex pesannya pun dibalas oleh Nara. "Maaf, Jam 20.00 di Circolo Popolare kita bertemu. Aku masih ada pekerjaan" Rehan tidak sadar jika bibirnya membentuk bulan sabit. Ia pun segera kembali dengan pekerjaannya, menyelesaikan beberapa berkas yang perlu ditandatangani juga memeriksa laporan keuangan. Rehan tidak bisa melepaskan begitu saja pekerjaan kepada staffnya jangan sampai kejadian tahun lalu kembali terulang. Jika Ia bisa mendekati Nara kembali Rehan rela melepaskan para wanita-wanitanya. Bahkan saat malam tadi Ia yang sudah ada janji dengan mucikari yang biasa memberikan wanita polos itu pun tidak jadi ditemuinya. Rehan hany
Happy ReadingVan medis itu menjauh dari kawasan pabrik dengan kecepatan stabil. Nara duduk bersandar di jok belakang, menatap Fira yang kini terbaring dengan selimut tipis. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang, meskipun tubuhnya masih lemah.Rehan duduk di samping sopir, sibuk berbicara lewat saluran komunikasi dengan timnya. Sesekali, ia menoleh ke arah Nara, memastikan semuanya masih terkendali. Setelah satu jam perjalanan dan mereka mencapai lokasi aman, van berhenti di sebuah rumah persembunyian milik salah satu kontak Rehan di pinggiran kota—tempat yang dulu digunakan sebagai tempat aman bagi saksi investigasi.Setelah memastikan Fira aman di kamar belakang, dijaga perawat khusus, Rehan kembali menemui Nara yang berdiri di teras belakang rumah, menatap langit yang mulai berpendar fajar.“Aku tahu kamu belum makan sejak siang,” kata Rehan, mendekat pelan. “Kita butuh tenaga buat lanjut besok. Aku pesen makanan.”Nara menoleh dan mengangkat alis. “Di tengah kekacauan ini kam
Happy ReadingNara berdiri mematung di depan layar. Kata-kata pada subjek email itu seperti petir yang menyambar tenang sore mereka: "C-02. Masih hidup. Lokasi: Eks-Pabrik Farmasi Ananta.”Rehan berdiri di belakangnya, membaca bersama. “C-02… itu pasien yang disebut ‘mati’ tiga minggu lalu, kan?” Nara mengangguk pelan, bibirnya menegang. “Yang disebut overdosis. Tapi aku curiga ada yang janggal dari awal.” “Kalau ini benar… artinya mereka memalsukan kematian pasien,” ujar Rehan, nadanya pelan tapi tegas. “Dan kalau satu pasien bisa dipalsukan, bisa jadi yang lain juga…” Nara memutar kursi, menghadap Rehan. “Kita harus ke sana malam ini. Sebelum jejaknya dihapus lagi.” Rehan ragu sejenak. “Kita nggak tahu siapa yang kirim email ini. Bisa jadi jebakan.” “Aku tahu,” sahut Nara cepat. “Tapi kita juga tahu, kalau kita tunggu—semuanya bisa terlambat.”Rehan menghela napas, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita nggak pergi tanpa persiapan.” ***Malam menjelang cepat. Langit gelap ta
Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingSudah hampir dua minggu sejak dunia dihebohkan oleh bocornya dokumen “R.R”. Tapi kehidupan tak benar-benar berubah dalam sekejap. Dunia terlalu sibuk menakar kebenaran dengan keraguan, dan manusia… terlalu cepat melupakan.Nara kembali ke ruang kerjanya, sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Ruangan itu hangat dan lembut, dengan bau lavender samar dan lukisan-lukisan tenang di dinding. Tapi pagi ini, suasananya lain.Ia duduk di hadapan seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun. Mata gadis itu sembab, tangannya gemetar, dan suara hatinya penuh luka yang belum sempat dijahit.Namanya **Lara**—nama yang dalam seminggu terakhir viral di media sosial. Ia korban pemerkosaan oleh anak pejabat, yang sayangnya, kasusnya lebih banyak dijadikan konten dibanding diselesaikan.“Aku nggak mau tidur, Kak…” suara Lara nyaris tak terdengar. “Setiap aku tutup mata, aku dengar dia lagi. Lihat dia. Bau itu… baju itu…”Nara menahan napas. Ia sudah biasa menghadapi trauma berat, tapi s
Happy ReadingAnda bilang:Happy Reading Hujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.” “Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.” Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.” “Tempat yang aman?” “Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.” Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meningg
Happy ReadingHujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.“Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.”“Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.”Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.”“Tempat yang aman?”“Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.”Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meninggalkan kabin, Nara menulis s
Happy ReadingPagi itu langit kelabu, kabut turun tebal menutupi lereng bukit. Nara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan hawa tak biasa mengendap di udara. Biasanya, Rehan sudah di dapur membuat kopi atau sekadar menyusun kayu bakar. Tapi pagi ini, kabin sunyi.“Rehan?” panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Nara menyisir setiap ruangan. Tak ada tanda-tanda Rehan. Jaketnya tak tergantung di gantungan. Sepatunya pun tak ada di rak dekat pintu. Tapi dompet dan ponselnya tertinggal di meja. Aneh.Perasaan cemas mulai naik ke tenggorokan. Ia membuka pintu belakang kabin dan melihat jejak kaki di tanah basah—menuju arah hutan.Ia cepat-cepat mengenakan mantel dan menyusul arah jejak itu. Kabut semakin tebal, pepohonan seakan menciutkan suara langkahnya sendiri. Tapi kemudian, samar, ia mendengar suara… dentingan logam?Ia mempercepat langkah, menuruni celah tanah sempit, dan akhirnya melihat Rehan di kejauhan. Ia sedang membongkar sesuatu di balik pohon pinus besar—sebuah kotak besi t
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka