Happy Reading
"Kasus pelecehan terhadap perempuan kerap kali terjadi dari berbagai belahan dunia, satu hal yang menjadi fokus kita adalah traumatis yang dialami korban, diagnosis yang cepat dan tepat serta pengobatan yang paling efektif yang harus kita lakukan." seorang wanita cantik bertubuh proporsional dengan gigi yang rapi itu berdiri di depan layar yang menampilkan gambar ilustrasi dalam bentuk slide power point seraya memegang sebuah spidol. Tentu pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa kalangan para dokter jiwa melainkan pertemuan yang sangat penting dan harus dilakukan secepat mungkin. Mengingat jumlah korban kian bertambah psikiater harus bergerak semakin cepat. Terutama di negara Inggris. "Bersujud!" perintah Rehan meminta Clara bersujud di depannya seraya menampilkan bokongnya. Rehan langsung membuka celananya dengan cepat Ia menarik bokong gadis itu untuk dimasuki. Clara merintih dengan keras Ia merasa kesakitan juga perih bukan hanya bagian bawahnya melainkan perasaannya, Ia berharap setitik saja ada rasa cinta atau kasih sayang yang dimiliki Rehan namun, tidak pernah ada. Setelah ditampar berulang kali sekarang Ia harus di perlakukan seperti ini. Dasar laki-laki brengsek. "Sah...hkit Re...han." Clara berujar dengan terbata-terbata sambil melenguh kesakitan tidak ada rasa nikmat Ia hanya merasakan bagian tubuhnya terluka. Setelah puas melampiaskan nafsunya Rehan lantas melepaskan Clara gadis itu terduduk dengan air mata yang tumpah. "Hiks...hiks...hiks..." "Ini 'kan yang Kamu mau! sex with me!" Rehan mencengkram dagu Clara lalu melepaskannya dengan kasar. Dua orang pun langsung masuk setelah Rehan melakukan panggilan, mereka langsung membawa Clara untuk keluar dari ruangan Rehan. "Dasar pelacur cih." Rehan mencibir dengan angkuh tentu saja kalimat itu masih dapat didengar oleh Clara yang setengah menyeret tubuhnya. "Tuan maafkan Saya, ada masalah lagi." seorang wanita setengah berlari membuka pintu langsung menghampiri Rehan Ia pun langsung berbisik pada laki-laki ini. "Shit...menambah masalah saja," umpat Rehan lantas langsung berdiri Ia pun mengepalkan tangannya sambil melihat ke arah jendela yang dimana langsung memperlihatkan bangunan lainnya. "Siapkan helicopter!" "Baik Tuan." wanita itu dapat melihat kekhawatiran dari Rehan saat Ia ingin keluar Rehan kembali berbicara. "Panggilkan Alex," katanya tanpa menoleh wanita itupun mengangguk. "Baik Tuan akan Saya panggilkan." **** "Stupid! bagaimana bisa kamu membiarkan dia lolos." Bug Bug Rehan memukul dan menendang Alex selaku tangan kanan yang sering menyelesaikan masalah Rehan. Kali ini Ia tidak akan bebas begitu saja Rehan melampiaskan amarah dan kekesalannya pada Alex. Wanita yang habis ditiduri oleh Rehan dengan liar itu mencoba bunuh diri di apartemennya sedangkan jejak dari Rehan belum hilang, karena wanita ini sangat terobsesi dengan Rehan. Ia tidak mau berpisah dari Rehan dan hanya kematian yang akan memisahkannya. Wanita itu tidak pernah merasakan kasih sayang dan dicintai sehingga Ia tidak memiliki gambaran sebuah cinta dan ketika Rehan datang dengan toxic seperti mencekik, memukul dan juga mengumpat disaat mereka bercinta perempuan ini berpikir bahwa itu semua adalah bentuk cinta yang Rehan berikan dan itu sangat dinikmati olehnya. Terdengar bodoh tapi inilah yang membuatnya gila. "Saya tidak akan mendatanginya lagi, selesaikan Alex!" perintah Rehan sebelum terbang. Alex yang sudah babak belur hanya bisa mengangguk. Rehan terbang ke California hanya untuk memesan seorang pelacur yang baru saja Ia dapatkan. Suara desahan dan juga rintihan memenuhi ruangan gelap dan panas itu, tidak lupa dengan berbagai umpatan yang keluar dari keduanya. "Kau sangat binal baby...." Rehan mengumpat seraya mencekik leher gadis ini tidak kuat hanya sedikit membuat gadis itu berteriak sambil menikmati hentakan dari Rehan. Sementara di tempat lain Clara menunggu dengan pakaian dinasnya, setelan hitam yang transparan mencetak kedua buah dadanya dilengkapi dengan celana dalam tipis yang jika terkena angin bisa saja langsung terbang. Hampir dua jam gadis itu menunggu dan tidak ada batang hidung Rehan terlihat, ketika sudah penat Ia pun menghubungi asisten Rehan. "Di mana Rehan?" tanyanya to the point tapi, jawaban yang Ia dapatkan sungguh membuatnya kesal. "Tuan sedang di California Nona." "Shit...," umpat Clara langsung melemparkan ponselnya. Ia sudah menebak apa yang dilakukan Rehan pada malam hari ini tentunya mendesah dengan perempuan lain. "Dasar brengsek." kesal Clara langsung saja Ia menghubungi teman laki-lakinya yang bisa diajak bercinta Ia tak ingin sia-sia sudah bersiap seperti ini. "Ini untuk tip anda," ujar asisten Rehan memberikan pada wanita yang baru saja memakai pakaiannya itu, Rehan keluar dari kamar mandi mengenakan jubah mandi. Sambil berpakaian Rehan berbicara pada bawahannya itu. "Semuanya sudah beres Tuan." "Bagus." ntah apa yang sudah dilakukan oleh bawahannya pada seorang wanita itu Rehan tidak peduli yang penting baginya sekarang adalah bercinta. **** TbcHappy ReadingNara baru saja landing dan tiba di London Heathrow Airport bersama dengan dua rekan lainnya dari kota yang berbeda. Mengingat London Heathrow Airport tidak terlepas dari sejarahnya Airport ini merupakan Bandara terbesar dan tertua di London. Berdiri sejak tahun 1930-an, bandara ini awalnya dikenal sebagai Great Western Aerodrome. Pada tahun 1946, bandara ini resmi dibuka untuk penerbangan sipil. Saat ini, London Heathrow menjadi bandara tersibuk di Inggris dan peringkat kelima di dunia dalam hal lalu lintas penumpang. Bandara ini juga memiliki lima terminal penumpang dan melayani berbagai rute penerbangan domestik dan internasional. Nara tidak melupakan untuk lunch di Lounge VIP sebelum ke hotel yang sudah mereka booking. Tanpa sengaja manik matanya melihat seseorang yang Ia kenal berjalan menaiki lift diikuti dengan beberapa orang. "Kamu tidak lupa 'kan Nara jika Dia berada di London." kalimat itu terlintas kembali di pikirannya tapi sedetik kemudian Ia abaikan tidak
Happy ReadingClara melipat kedua kakinya di dada seraya menangkupkan tangan, tubuhnya bergetar hebat Ia sekarang sudah di rumah sakit setelah sebelumnya Clara menghubungi psikiater yang biasa menangani dirinya. Rehan melepaskan Clara setelah lima jam menyiksa wanita ini. Jika bukan Alex yang melepaskan kesetanan yang ada di Rehan mungkin laki-laki itu sudah membunuh Clara. "Argh...Argh...Argh." pekik Clara berteriak padahal baru satu jam wanita ini diberi obat penenang tapi seperti Ia mengalami kecemasan yang terlalu berlebihan. Sampai seorang dokter pun tidak sanggup lagi menanganinya Ia pun segera menghubungi dokter jiwa yang sedang melakukan penelitian di sini. "Hallo Dok, I'm so sorry tapi ini sangat urgent." Suara dokter ini sangat bergetar membuat Nara pun langsung panik. "Ada apa Dok?""Pasien Kami mengalami anxiety, Saya harap anda bisa menanganinya." "Baik Saya akan ke sana." Nara langsung mengganti baju dan juga mengambil jas putihnya kemudian turun diikuti dengan seo
Happy ReadingRehan sedari tadi mengecek ponselnya menunggu notif dari seseorang yang sedang Ia tunggu. Tapi setelah mengirimkan pesan satu jam yang lalu Ia tidak kunjung mendapatkan balasan. "Apakah Ia mempermainkanku?" pertanyaan itu membuat Rehan mengepalkan tangannya. "Siapkan mobil kita akan ke rumah sakit." sesaat setelah Rehan memerintahkan pada Alex pesannya pun dibalas oleh Nara. "Maaf, Jam 20.00 di Circolo Popolare kita bertemu. Aku masih ada pekerjaan" Rehan tidak sadar jika bibirnya membentuk bulan sabit. Ia pun segera kembali dengan pekerjaannya, menyelesaikan beberapa berkas yang perlu ditandatangani juga memeriksa laporan keuangan. Rehan tidak bisa melepaskan begitu saja pekerjaan kepada staffnya jangan sampai kejadian tahun lalu kembali terulang. Jika Ia bisa mendekati Nara kembali Rehan rela melepaskan para wanita-wanitanya. Bahkan saat malam tadi Ia yang sudah ada janji dengan mucikari yang biasa memberikan wanita polos itu pun tidak jadi ditemuinya. Rehan hany
Happy Reading"Argh...," teriak Nara sontak semua orang pun melihat ke arah mereka membuat Rehan langsung membekap mulut Nara. Gadis itu tidak mampu menahan keterkejutannya saat tangan Rehan mulai bergerak di atas pahanya dan semakin naik. Jujur Nara sungguh khawatir sampai-sampai jantungnya memompa lebih cepat. Mendengar teriakan itu Alex langsung menyelesaikan bill dan menghampiri keduanya. Selain karena terkejut Nara juga sepertinya dibawah pengaruh alkohol, semua yang melihat tadi pun kembali ke aktivitas masing-masing ketika Rehan dengan cepat membawa Nara keluar. "Aku nggak setuju dengan perjanjian yang terakhir," pekik Nara setelah masuk ke dalam mobil Rehan. "Ehh kenapa Aku masuk ke mobil Kamu, Aku mau pulang sendiri." Nara memekik sambil memukul-mukul tangan Rehan yang menahan tubuhnya agar tetap duduk di mobil ini. "Kamu nggak liat diri Kamu itu mabuk," cerca Rehan yang dikesalkan oleh Nara Ia pun hanya bisa pasrah. Rehan memeluk pinggang Nara dari samping gadis yang su
Happy ReadingNara terdiam sejenak, otaknya masih memproses ucapan Rehan barusan. Pria itu akan tetap tinggal di Indonesia? Kenapa? Untuk apa? Apa ada hubungannya dengannya? Atau hanya permainan lain yang direncanakannya?"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" suara Nara akhirnya keluar, meski sedikit bergetar.Rehan menatapnya dalam, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai khasnya. "Karena aku menemukan alasan untuk tetap tinggal."Nara menelan ludah, matanya menatap keluar jendela mencoba menghindari tatapan tajam laki-laki itu. Jantungnya berdegup kencang, entah karena kesal atau... sesuatu yang lebih dari itu."Kalau itu cuma alasan untuk main-main, lebih baik kau pergi," Nara mencoba terdengar tegas meski suaranya sedikit bergetar.Rehan tertawa pelan, mengulurkan tangannya untuk menyentuh dagu Nara, memaksanya untuk kembali menatapnya. "Aku tidak pernah main-main, sayang. Kalau aku mau sesuatu, aku akan mendapatkannya. Dan sekarang, aku mau kamu."Pernyataan itu membuat Nara sema
Nara menatap Rehan dengan tatapan penuh keraguan. Pria itu selalu seperti ini—datang dan pergi sesuka hati, seolah dunia berputar di sekelilingnya. Dan sekarang, dia mengajaknya makan malam seakan kejadian di rumah sakit tadi tak pernah terjadi."Aku nggak lapar," Nara mencoba menolak dengan suara setenang mungkin, meskipun dadanya masih berdebar akibat kedekatan Rehan.Rehan mengangkat alisnya, lalu terkekeh pelan. "Bohong. Aku tahu kamu belum makan sejak siang. Aku juga tahu kamu nggak akan tidur dengan perut kosong. Jadi, lebih baik ikut denganku sekarang daripada nanti tengah malam kamu kelaparan dan memesan makanan instan."Nara mendengus kesal. Bagaimana bisa dia tahu kebiasaannya? Apa Rehan benar-benar memperhatikannya selama ini?"Aku bisa makan sendiri," balasnya cepat.Rehan tersenyum miring, lalu dengan santai membuka pintu mobilnya. "Ayo, Nara. Aku janji nggak akan melakukan sesuatu yang nggak kamu suka. Kita hanya makan, berbicara, dan setelah itu aku akan mengantarmu pul
Happy Reading Beberapa hari setelah makan malam itu, Nara masih terus memikirkan ucapan Rehan. Pria itu memang tidak melakukan gerakan agresif setelahnya, tapi keberadaannya terasa semakin nyata dalam hidupnya. Dari pesan singkat menanyakan kabarnya, mengantarkannya ke rumah sakit, hingga tanpa sadar selalu ada dalam pikirannya. Hingga suatu malam, saat Nara baru pulang dari shift malam di rumah sakit, apartemennya terasa terlalu sunyi. Ia merebahkan diri di sofa, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mendera. Namun, ponselnya kembali berbunyi. Rehan. Nara menatap layar ponselnya ragu sebelum akhirnya mengangkatnya. "Ada apa?" "Buka pintu," suara Rehan terdengar jelas di seberang sana. Nara mengerutkan kening. "Apa? Kamu di mana?" "Di depan pintumu." Mata Nara membelalak. Dengan cepat, ia bangkit dan berjalan ke pintu. Benar saja, begitu ia membukanya, Rehan sudah berdiri di sana dengan sebuah kantong plastik di tangannya. "Kamu—kenapa ada di sini?" tanyanya heran. R
Happy Reading Malam itu, Nara tak bisa tidur. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran yang berkecamuk. Kemarahan, kekecewaan, dan luka lama kembali menyeruak. Ia merasa marah pada dirinya sendiri—bagaimana bisa ia hampir percaya lagi pada Rehan? Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaket dan kunci mobilnya. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Ia tiba di klub yang ada dalam video itu. Musik berdentum keras, lampu warna-warni berkedip liar, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Nara melangkah masuk, matanya segera menyapu ruangan, mencari sosok yang membuat dadanya begitu sesak. Dan di sana, di sudut ruangan dengan sofa empuk berwarna hitam, Rehan masih duduk dengan wanita yang sama. Tawa pria itu terdengar jelas, tangannya masih melingkar erat di pinggang si wanita. Mereka terlihat akrab, terlalu akrab. Darah Nara mendidih. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat, menembus kerumunan orang-orang yang sedang berdansa. Langkahnya tegas, penu
Happy ReadingRehan menatap Nara dengan pandangan yang tak biasa. Kali ini, tak ada senyum sarkastik, tak ada lelucon sinis yang biasa ia lontarkan saat suasana terlalu tegang. Ia hanya diam, sejenak, sebelum menjawab dengan suara rendah.“Kakakku.”Nara terdiam. Tak hanya karena keterkejutan dari pengakuan itu, tapi karena nada suara Rehan—datar, tapi mengandung luka yang belum sembuh. Ini bukan sekadar tentang operasi rahasia atau kode militer lagi. Ini mulai menyentuh hal personal.“Namanya Damar,” lanjut Rehan. “Dulu dia bagian dari unit pengamanan internal fasilitas riset militer swasta. Tapi dia keluar… atau lebih tepatnya menghilang. Katanya dia tahu sesuatu yang membuatnya jadi target.”Nara menautkan alis. “Kamu yakin dia masih hidup?”Rehan menarik napas panjang. “Kalau dia mati, aku yakin mereka bakal ngumumin. Tapi nggak ada berita, nggak ada jejak. Seolah dia lenyap. Tapi Damar nggak bodoh. Kalau dia masih hidup, dia pasti sembunyi dengan baik.”Nara mengangguk pelan. “Ka
Happy ReadingVan medis itu menjauh dari kawasan pabrik dengan kecepatan stabil. Nara duduk bersandar di jok belakang, menatap Fira yang kini terbaring dengan selimut tipis. Wajah gadis itu terlihat jauh lebih tenang, meskipun tubuhnya masih lemah.Rehan duduk di samping sopir, sibuk berbicara lewat saluran komunikasi dengan timnya. Sesekali, ia menoleh ke arah Nara, memastikan semuanya masih terkendali. Setelah satu jam perjalanan dan mereka mencapai lokasi aman, van berhenti di sebuah rumah persembunyian milik salah satu kontak Rehan di pinggiran kota—tempat yang dulu digunakan sebagai tempat aman bagi saksi investigasi.Setelah memastikan Fira aman di kamar belakang, dijaga perawat khusus, Rehan kembali menemui Nara yang berdiri di teras belakang rumah, menatap langit yang mulai berpendar fajar.“Aku tahu kamu belum makan sejak siang,” kata Rehan, mendekat pelan. “Kita butuh tenaga buat lanjut besok. Aku pesen makanan.”Nara menoleh dan mengangkat alis. “Di tengah kekacauan ini kam
Happy ReadingNara berdiri mematung di depan layar. Kata-kata pada subjek email itu seperti petir yang menyambar tenang sore mereka: "C-02. Masih hidup. Lokasi: Eks-Pabrik Farmasi Ananta.”Rehan berdiri di belakangnya, membaca bersama. “C-02… itu pasien yang disebut ‘mati’ tiga minggu lalu, kan?” Nara mengangguk pelan, bibirnya menegang. “Yang disebut overdosis. Tapi aku curiga ada yang janggal dari awal.” “Kalau ini benar… artinya mereka memalsukan kematian pasien,” ujar Rehan, nadanya pelan tapi tegas. “Dan kalau satu pasien bisa dipalsukan, bisa jadi yang lain juga…” Nara memutar kursi, menghadap Rehan. “Kita harus ke sana malam ini. Sebelum jejaknya dihapus lagi.” Rehan ragu sejenak. “Kita nggak tahu siapa yang kirim email ini. Bisa jadi jebakan.” “Aku tahu,” sahut Nara cepat. “Tapi kita juga tahu, kalau kita tunggu—semuanya bisa terlambat.”Rehan menghela napas, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kita nggak pergi tanpa persiapan.” ***Malam menjelang cepat. Langit gelap ta
Happy Reading Minggu itu berjalan terlalu cepat bagi Nara, dan terlalu lambat bagi Rehan. Nara tenggelam dalam jadwal terapi yang padat, investigasi diam-diam tentang “C” patients, dan percakapan rahasia dengan sumber-sumber lama. Ia tidur tak lebih dari empat jam setiap malam, hidupnya digerakkan oleh urgensi—dan oleh bayang-bayang Citra yang terus menghantui pikirannya. Sementara Rehan mulai kehilangan arah di tengah dua dunia: satu dunia yang penuh angka dan target, dan satu lagi—yang lebih gelap—di mana manusia bisa hilang hanya karena dianggap "terlalu ribut." Ia butuh Nara. Tapi Nara… seakan selalu terlalu jauh. *** “Kamu lihat data CCTV yang aku kirim semalam?” Rehan mengirim pesan suara, nada suaranya terdengar resah. “Di menit 04:17, ada petugas yang masuk ke kamar Citra dan…” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pesan itu hanya centang satu. Nara belum membukanya. Sudah dua hari terakhir ia hanya membalas pesan seperlunya—kadang singkat, kadang hanya
Happy ReadingSudah hampir dua minggu sejak dunia dihebohkan oleh bocornya dokumen “R.R”. Tapi kehidupan tak benar-benar berubah dalam sekejap. Dunia terlalu sibuk menakar kebenaran dengan keraguan, dan manusia… terlalu cepat melupakan.Nara kembali ke ruang kerjanya, sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Ruangan itu hangat dan lembut, dengan bau lavender samar dan lukisan-lukisan tenang di dinding. Tapi pagi ini, suasananya lain.Ia duduk di hadapan seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun. Mata gadis itu sembab, tangannya gemetar, dan suara hatinya penuh luka yang belum sempat dijahit.Namanya **Lara**—nama yang dalam seminggu terakhir viral di media sosial. Ia korban pemerkosaan oleh anak pejabat, yang sayangnya, kasusnya lebih banyak dijadikan konten dibanding diselesaikan.“Aku nggak mau tidur, Kak…” suara Lara nyaris tak terdengar. “Setiap aku tutup mata, aku dengar dia lagi. Lihat dia. Bau itu… baju itu…”Nara menahan napas. Ia sudah biasa menghadapi trauma berat, tapi s
Happy ReadingAnda bilang:Happy Reading Hujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat. “Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.” “Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.” Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.” “Tempat yang aman?” “Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.” Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meningg
Happy ReadingHujan mulai turun gerimis saat Nara dan Rehan masih berdiri di teras, menatap foto itu seolah bisa mengorek informasi lebih dari selembar kertas. Nara mengerutkan kening, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu cepat.“Ini diambil dari atas bukit sana,” gumam Rehan, menunjuk arah lereng berbatu di kejauhan. “Jaraknya sekitar lima ratus meter… artinya mereka memantau sejak pagi.”“Kita harus pindah,” ucap Nara. Suaranya tenang, tapi tatapannya tajam. “Malam ini juga.”Rehan mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Kalau kita berangkat sekarang, kita bisa sampai ke tempat Bima menyembunyikan laptop pemecah enkripsi itu sebelum tengah malam.”“Tempat yang aman?”“Sebagus mungkin. Tapi kalau pesan ini benar, berarti jejak kita bocor. Entah dari siapa.”Mereka berkemas dalam diam. Tak banyak barang yang dibawa, hanya kebutuhan pokok, peta, dan tentu—flashdisk merah yang kini digantung di leher Rehan dalam tabung baja kecil. Sebelum meninggalkan kabin, Nara menulis s
Happy ReadingPagi itu langit kelabu, kabut turun tebal menutupi lereng bukit. Nara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan hawa tak biasa mengendap di udara. Biasanya, Rehan sudah di dapur membuat kopi atau sekadar menyusun kayu bakar. Tapi pagi ini, kabin sunyi.“Rehan?” panggilnya lirih.Tak ada jawaban.Nara menyisir setiap ruangan. Tak ada tanda-tanda Rehan. Jaketnya tak tergantung di gantungan. Sepatunya pun tak ada di rak dekat pintu. Tapi dompet dan ponselnya tertinggal di meja. Aneh.Perasaan cemas mulai naik ke tenggorokan. Ia membuka pintu belakang kabin dan melihat jejak kaki di tanah basah—menuju arah hutan.Ia cepat-cepat mengenakan mantel dan menyusul arah jejak itu. Kabut semakin tebal, pepohonan seakan menciutkan suara langkahnya sendiri. Tapi kemudian, samar, ia mendengar suara… dentingan logam?Ia mempercepat langkah, menuruni celah tanah sempit, dan akhirnya melihat Rehan di kejauhan. Ia sedang membongkar sesuatu di balik pohon pinus besar—sebuah kotak besi t
Happy ReadingMalam itu kembali sunyi ketika Nara menatap dokumen-dokumen yang tersebar di pangkuannya. Meski tubuhnya masih lemah, matanya tak bisa berpaling dari foto-foto dan catatan yang seakan membisikkan bahaya. Salah satu foto memperlihatkan Rehan sedang menyerahkan sebuah koper pada pria berjubah hitam. Wajah pria itu tak terlihat jelas, tapi suasana dalam gambar itu begitu... mencurigakan. Di pojok foto, tertulis tanggal—hanya dua hari sebelum pertemuan Nara dan Damar di kafe.“Kenapa ada namaku di catatan ini?” bisiknya.Damar duduk di kursi sebelah tempat tidur, menatapnya dengan sorot waspada. “Kita belum tahu pasti. Tapi sepertinya kau bagian dari sesuatu yang lebih besar, Nara. Rehan mungkin melindungimu… atau justru memanfaatkannya.”Nara menggeleng lemah. “Tapi dia bilang dia tak ingin menyakitiku. Dia… dia bahkan menyesal.”“Menyesal bukan berarti tak bersalah,” jawab Damar, nada suaranya dingin namun jujur.Sebelum Nara bisa merespons, pintu kamar rumah sakit terbuka