"Aku tidak menyangka bahwa Luna begitu dekat dengan Damian."Evelyn sejenak menghentikan gerakannya setelah menyelimuti Luna. Kepala berambut panjang yang kini digelung asal itu menoleh ke arah si pria. "Aku pun tidak menduganya, Aksa.""Sudah berapa kali mereka bertemu?" di kursi yang ia duduki, Aksa kembali bertanya. Ponsel yang beberapa waktu lalu ia mainkan, kini ia simpan di saku celana."Baru sekali, saat kau bertugas ke Kalimantan waktu itu." Evelyn menjawab apa adanya. Merasa Luna sudah cukup lelap, wanita itu memutus jarak pada si pria bermata sipit lalu mendudukkan diri pada kursi di sisinya."Sulit dipercaya, ya? Mereka terlihat seperti sudah sering berjumpa. Luna terlihat sangat bahagia saat melihat wajah Damian tadi. Apakah hal seperti itu bisa terjadi hanya karena kakaknya bersahabat dengan dia?"Tubuh Evelyn terkaku selama beberapa saat. Ia pun tidak bisa menampik jika dirinya mampu melihat binar ceria di wajah Luna saat melakukan panggilan video bersama Damian. Jujur s
Hari masih pagi, namun pria itu sudah tampak termenung di depan layar monitor laptop di dalam kamarnya. Layar datar itu menyala, binarnya menyinari wajah tampan dengan tatapan kosong. Email yang baru saja masuk sudah terbuka, namun pikirannya tidak tertuju ke situ.Ia justru kembali teringat ucapan Kiara.'Dibandingkan kakak beradik, dia justru lebih terlihat seperti ibu dan anak.'Kalimat itu kembali berputar di kepalanya, membuat kernyit di dahi pria itu semakin dalam. "Entah kenapa aku memiliki sebuah firasat." Damian berucap dengan menyatukan tangan di bawah dagu, memikirkan segala sesuatu yang barangkali sudah terjadi tanpa ia ketahui dalam pikiran. "Jika memang sebenarnya Eve adalah ibu dari Luna, maka hanya ada satu kemungkinan siapa ayah dari anak itu," lanjutnya.Ingatannya mundur ke belakang, pada kedekatan dirinya dengan Evelyn yang di luar ambang batas. Ada getaran aneh saat bayangan kegiatan intim mereka muncul dalam kepalanya. Namun, sedetik kemudian ia menggeleng."Tap
Senyum itu seakan tak mau pudar menghiasi wajah Aksa, ia sedang sangat bahagia. Pria bermata sipit dan berkulit putih itu duduk pada kursi yang biasa Arjuna duduki, pekerjaannya kali ini adalah menggantikan posisi Sang bos yang saat ini sedang tidak berada di tempatnya. "Eve sedang apa, ya?" pulpen di tangan kanan ia main-mainkan di atas meja. Dan selanjutnya ia terkekeh renyah seorang diri. "Astaga ... baru saja sehari tak berjumpa, aku sudah merasa rindu begini."Satu hela napas terembus dari celah bibir merah kecokelatannya. Meski gelaknya telah usai, namun tak mampu menghapus senyuman yang masih setia bertahan di sana kala kembali menarik ulang memori kemarin, saat ia berada di Surabaya."Keluarga Eve sangat hangat menyambutku. Aku yakin mereka akan merasa senang andaikan mereka tahu bahwa aku adalah kekasihnya. Sebagai calon menantu, diriku tidak jelek-jelek amat, bukan?"Lagi-lagi tawa renyah lolos dari mulut si pria."Ya, ya! Pasti mereka merasa bangga bisa memiliki menantu se
Akhir pekan kembali datang, waktunya untuk beristirahat setelah enam hari aktif bekerja. Jika beberapa pasangan kekasih akan memilih untuk pergi bersama demi menghabiskan waktu berdua, maka apa yang dialami Evelyn sedikit berbeda. Hari minggu merupakan jadwalnya berangkat menuntut ilmu di universitas. Lagipula, berkencan adalah sesuatu yang tidak begitu penting untuk dilakukan. Bahkan dirinya akan lebih memilih untuk mendekam di rumah kemudian tidur seharian andaikan ia memiliki banyak waktu luang di hari libur begini.Evelyn berjalan beriringan bersama Ina, keluar dari ruang kelas. Ia sudah kembali ke Jakarta sejak semalam. Ia memang menunggu hingga kondisi Luna benar-benar pulih terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk kembali menjalani kehidupan di ibu kota."Bagaimana jika nanti malam kita menonton film bersama? Ada sebuah film horor terbaru, tapi aku takut menonton sendirian. Mumpung libur bekerja." Ina membuka percakapan saat kedua kaki mereka menuruni undakan, kemudian menapak
Deru halus napas itu seakan membelai pipi. Damian memejamkan mata, mencoba meresapi setiap sentuhan lembut bibir tipis yang bersentuhan langsung dengan bibirnya. Tangannya mendarat di pinggang ramping si wanita, sedikit memberikan tekanan ketika menelaah perasaannya.Dan saat tangan-tangan berjari lentik itu terasa meremas kemeja di bagian dada, Damian membuka mata demi menatap wajah jelita yang begitu dekat dengan wajahnya.'Eve?'Pria itu mengernyit lalu menggelengkan kepala. Ia jelas-jelas mengingat bahwa yang sedang ia cium adalah Kiara, lalu kenapa justru wajah Evelyn-lah yang tampak di kedua matanya?"Ada apa?" tangan wanita itu membelai kedua sisi rahangnya, menyentuh lembut rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sana.Dan sentuhan lembut itu menyadarkan si pria. Wajah jelita itu berubah menjadi wajah Kiara, calon istrinya. Meski sukar, Damian memaksakan tersenyum dan menunjukkan sikap seakan dirinya baik-baik saja. "Tidak apa-apa, Babe. Biarkan aku menciummu lagi." Sekon se
"Bagaimana hari ini? Apakah semua berjalan lancar?" pertanyaan itu teralun di sela ia mengemudikan kendaraannya membelah jalanan kota di sore itu.Yang diajak berbicara menganggukkan kepala, sejenak menoleh ke arah si pria untuk menjawab tanya. "Hampir tak ada kendala apa pun di pekerjaan."Senyum simpul itu terukir menghiasi wajah Aksa Wijaya. Ia tak kehilangan fokusnya berkendara. "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Kuharap kau memiliki banyak waktu luang sore ini, Sayang.""Sebenarnya aku ingin ke toko buku sebentar," aku Evelyn."Baiklah, aku akan mengantarmu kalau begitu." Sekilas lirikan mata Aksa berikan sebelum kembali terfokus menatap ke depan."Ah, kalau begitu kau lurus saja, lalu belok ke kanan. Toko buku langgananku tidak begitu jauh dari sini." Evelyn memberikan arahan, sebab kebetulan toko buku yang ingin ia kunjungi memang searah jalan pulang. Sekali belokan, maka mereka akan sampai. Lalu ia menunjuk tempat tujuan. "Nah, itu dia!"Aksa menajamkan mata, menatap plang y
Bangun paginya kali ini diiringi rasa berdenyut di kepala. Evelyn memijat keningnya lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia benar-benar tak cukup tidur semalaman, sebab ia sedang banyak pikiran. Lamaran Aksa yang tiba-tiba adalah alasan di baliknya. Sungguh, ia masih belum bisa menjawabnya. Meskipun telah menimbang-nimbang keputusan sejak tadi malam, Evelyn masih belum mampu menentukan pilihan. Bahkan sejenak ia terpikir untuk mengatakan kejujuran perihal masa lalunya.Setelah ia menerima pesan dari Damian semalam, ia memutuskan untuk menunda menelepon orang tuanya. Mengingat Damian, secara otimatis membuat ia mengingat Luna, pun kejadian yang membuat balita cantik itu bisa terlahir ke dunia. Biar bagaimana pun, sebenarnya ia adalah seorang ibu, pergaulannya terlalu bebas di masa lalu. Sedangkan Aksa adalah pria yang baik. Ia merasa tak pantas."Kepalaku berat sekali." Ia melenguh, kian kuat memberikan pijatan di dahi. "Apakah aku masih memiliki stok obat sakit kepala?" ia menar
Tangan kanannya tampak sesekali menyuap makan paginya dengan tenang, meskipun sebenarnya dalam hati ia sedang merasa gelisah. Tangan kirinya yang bebas berkali-kali meremat ponsel dalam genggaman. Mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bagi Evelyn.Selanjutnya ia meraih gelas berisi air mineral untuk membasahi tenggorokannya, dan di detik itulah tekadnya membulat. Ia membuka ponselnya, mengetikkan kalimat dalam kolom percakapan antara dirinya dengan Aksa Wijaya. [Temui aku di Food'o Clock nanti sore, seperti biasanya. Aku ingin mengatakan sebuah kejujuran.]"Kau akan berangkat ke restoran setelah ini?"Evelyn mengangkat wajah, menatap pada seseorang yang mengajaknya berbicara. "Iya, Kak. Kenapa?""Kita berangkat bersama, ya? Kebetulan aku sedang ada urusan di sana." Arjuna berucap setelah mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah menghabiskan sarapannya, piring yang semula ia gunakan telah kosong tak bersisa."Baiklah.""Kau sudah selesai, bukan? Kita berangkat seka
Damian Alexander adalah seseorang yang lebih dahulu keluar dari pintu restoran tempat dirinya dan sang ayah mengisi perut siang ini. Setelah mereka angkat kaki dari rumah Burhan Adhitama, Bennedict Alexander memang berinisiatif mengajak putranya untuk mampir makan siang terlebih dahulu. Sebagai ayah, tentu Bennedict merasa khawatir melihat tubuh sang putra semakin kurus setiap harinya.Dan di sinilah mereka, di area parkir restoran yang cukup luas di tengah terik sang surya. Si pria muda berdarah Jerman itu masuk ke dalam mobil hitam yang ia sewa selama tinggal di Surabaya dengan tanpa kata. Melihat putranya telah berada di balik kemudi, Bennedict segera memberikan perintah pada seseorang yang sedari tadi mengikuti di belakang punggungnya."Tunggu di mobil, saya akan segera kembali."Perintah diterima, pria tinggi berjas abu-abu itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan."Selanjutnya Bennedict bergegas menuju mobil putranya. Ia membuka pintu penumpang bagian depan, ikut masuk ke dalam mobil k
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke