Bangun paginya kali ini diiringi rasa berdenyut di kepala. Evelyn memijat keningnya lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia benar-benar tak cukup tidur semalaman, sebab ia sedang banyak pikiran. Lamaran Aksa yang tiba-tiba adalah alasan di baliknya. Sungguh, ia masih belum bisa menjawabnya. Meskipun telah menimbang-nimbang keputusan sejak tadi malam, Evelyn masih belum mampu menentukan pilihan. Bahkan sejenak ia terpikir untuk mengatakan kejujuran perihal masa lalunya.Setelah ia menerima pesan dari Damian semalam, ia memutuskan untuk menunda menelepon orang tuanya. Mengingat Damian, secara otimatis membuat ia mengingat Luna, pun kejadian yang membuat balita cantik itu bisa terlahir ke dunia. Biar bagaimana pun, sebenarnya ia adalah seorang ibu, pergaulannya terlalu bebas di masa lalu. Sedangkan Aksa adalah pria yang baik. Ia merasa tak pantas."Kepalaku berat sekali." Ia melenguh, kian kuat memberikan pijatan di dahi. "Apakah aku masih memiliki stok obat sakit kepala?" ia menar
Tangan kanannya tampak sesekali menyuap makan paginya dengan tenang, meskipun sebenarnya dalam hati ia sedang merasa gelisah. Tangan kirinya yang bebas berkali-kali meremat ponsel dalam genggaman. Mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan bagi Evelyn.Selanjutnya ia meraih gelas berisi air mineral untuk membasahi tenggorokannya, dan di detik itulah tekadnya membulat. Ia membuka ponselnya, mengetikkan kalimat dalam kolom percakapan antara dirinya dengan Aksa Wijaya. [Temui aku di Food'o Clock nanti sore, seperti biasanya. Aku ingin mengatakan sebuah kejujuran.]"Kau akan berangkat ke restoran setelah ini?"Evelyn mengangkat wajah, menatap pada seseorang yang mengajaknya berbicara. "Iya, Kak. Kenapa?""Kita berangkat bersama, ya? Kebetulan aku sedang ada urusan di sana." Arjuna berucap setelah mengelap mulutnya dengan tisu. Ia sudah menghabiskan sarapannya, piring yang semula ia gunakan telah kosong tak bersisa."Baiklah.""Kau sudah selesai, bukan? Kita berangkat seka
Menunggu kedatangan Aksa tidak pernah semenegangkan ini sebelumnya. Evelyn tak henti meremas tangannya sendiri di atas meja, mengekspresikan betapa ia sedang cemas dan gugup.Setelah berpikir panjang, ia telah memantapkan diri untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan pada pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu. Ia tidak ingin ada dusta, dan pria itu berhak tahu tentang dirinya yang sesungguhnya sebelum meluruskan niat untuk mempersunting dirinya."Akhirnya kau datang, Aksa." Evelyn sedikit tersentak saat melihat pria yang ia tunggu baru saja memasuki pintu restoran. Aksa selalu saja tampak ceria, seperti biasanya. Sembari menebar senyum, pria itu semakin memutus ruang dengannya. Bahkan sejenak Evelyn merasa takut jika apa yang akan ia ungkap akan melenyapkan senyuman tampan itu."Apakah aku datang terlambat?" si pria mengambil duduk pada kursi di seberang Evelyn. Ia menyempatkan diri untuk mengacak pelan rambut hitam nan panjang yang tergerai itu."Tidak juga. Duduk
Kiara Laurencia melangkah pasti nan penuh percaya diri menuju pintu besar di ujung lorong sana, meskipun raut ayunya terbaca sendu. Tujuannya adalah ruangan milik Damian Alexander, seseorang yang akan menjadi penerus satu-satunya kantor agensi periklanan yang saat ini ia pijak.Sebenarnya wanita itu tengah menyusun kembali hatinya yang telah hancur menjadi keping-keping. Setelah melihat sang calon suami menjemput Evelyn kemarin, suasana hatinya berubah kacau. Ia merasa cemburu sekaligus curiga, sebab pria itu tampak lebih mementingkan sang sahabat ketimbang dirinya. Calon suaminya itu lebih memilih menemui Evelyn daripada menemui dirinya.Apalagi dengan penolakan Damian terhadapnya malam itu."Lupakan hal itu, Kiara!" embus berat napas Kiara terlepas seiring langkahnya terhenti. Selanjutnya ia menggeleng kencang, mencoba melupakan hal yang sukses membuat ia merasa harga dirinya jatuh ke titik paling rendah. Meskipun Damian berkata bahwa Evelyn adalah sahabatnya, namun tak menutup fa
Bunyi bel yang berdenting menyentak atensi Evelyn yang sedang mencuci piring di area dapur. Ia buru-buru membilas busa sabun yang barangkali masih menempel di tangannya, berikut mengelap tangannya yang basah menggunakan lap yang tergantung di sisi kanan. Tidak ingin membuat seseorang di balik pintu di depan sana lama menunggu, ia segera bergegas menuju pintu depan. Ia memang sedang sendirian di rumah.Dan ketika pintu sudah berhasil ia buka, sosok tak asing lah yang tertangkap pandangan mata."Aksa?" Evelyn seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.Berbeda dari raut Evelyn, Aksa justru mengukir senyuman. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. "Hai, selamat malam, Sayang.""... malam.""Kau tidak mempersilakan aku untuk masuk? Ah, atau mungkin kau lebih suka di luar saja? Kita ... duduk di taman?" Aksa menunjuk taman bunga milik Karenina dengan gestur tubuhnya. Karena tidak mendapatkan respons, atensi pria itu kembali jatuh pada wajah jelita Evelyn. "Tadi aku menjempu
"Makan yang banyak, Aksa. Mama perhatikan akhir-akhir ini makanmu cuma sedikit." Lian Wijaya kembali menyendokkan nasi ke atas piring sang putra yang isinya hampir habis, berharap Aksa makan dengan porsi lebih banyak malam ini. "Tambah lagi, ya? Mama sengaja memasak makanan kesukaanmu.""Cukup, Ma. Ini terlalu banyak." Aksa berbicara dengan nada halus, takut membuat ibunya kecewa. Ia memang sedang tidak berselera, banyak pikiran adalah penyebabnya. Dan ucapan pria itu berhasil menghentikan gerakan tangan sang ibunda yang sedang menyendokkan semur daging ke atas nasi yang masih hangat. Senyum wanita baya itu sirna, berganti hela napas berat. "Sejujurnya Mama sedikit kepikiran. Apakah ada masalah di pekerjaan?""Tidak ada." Aksa tersenyum, agar kekhawatirannya di raut wajah itu menghilang. "Mama jangan terlalu khawatir begitu. Aku baik-baik saja. Aku akan menghabiskannya." Berlanjut ia menyendokkan makan malamnya ke dalam mulut, memaksa menikmati makanan yang entah kenapa terasa pahit
Pesta itu berada di lantai dasar gedung kantor agensi. Itu adalah pesta perayaan diangkatnya Damian Alexander sebagai Direktur Utama, menggantikan posisi Benedict Alexander selaku ayahnya. Meski pesta itu hanyalah makan dan minum bersama, namun kemeriahan melingkupi suasana. Hampir semua orang yang bekerja di sana hadir dan mengakrabkan diri satu sama lain.Ada banyak meja dilengkapi kursi-kursi memenuhi ruangan dengan penuh rangkaian bunga itu, semuanya nyaris telah terisi. Di salah satu meja, sang pemilik pesta mengambil duduk di sana bersama Arjuna dan juga istri."Direktur Utama Gama Enterprises. Wah, aku benar-benar seperti mimpi bisa duduk semeja dengan orang sepertimu, Tuan Damian." Arjuna berucap, menyisipkan sedikit kelakar. Sang istri tampak duduk manis di sisinya, menikmati jus di gelasnya.Sedangkan yang diajak bicara tampak mengerutkan dahi. "Tuan? Sebutan itu terasa begitu menggelikan. Jangan berlebihan, Jun." Berlanjut tawa pria berdarah Jerman itu mengudara. Kekehan re
"Eve! Di mana perempuan tak tahu diuntung itu?!" teriakan itu membahana, memecah sunyi di kediamannya. Dengan memasang wajah memerah penuh amarah, Arjuna berjalan cepat ke arah lantai dua, menuju kamar sang adik sepupu."Sayang, bersabarlah ...." Karenina berusaha mengimbangi langkah sang suami, meskipun membutuhkan tenaga ekstra, apalagi dirinya sedang berbadan dua. Ia meraih salah satu lengan kokoh itu, membuat si pria secara spontan menoleh ke arahnya. "Bagaimana aku bisa sabar, Nina?! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa dia sejalang itu!" berlanjut Arjuna menjambak rambutnya sendiri. Dibandingkan benci, kekecewaan lebih mendominasi raut wajahnya. "Hamil di luar nikah! Astaga, dia benar-benar sudah mencoreng nama baik keluarga!""Tenangkan dirimu dulu, Sayang. Lagipula apa yang Damian katakan belum tentu benar, bukan?" wanita yang sedang hamil muda itu memberikan elusan ringan di lengan atas suaminya, berusaha menenangkan."Maka dari itu aku harus menanyakannya secara langsung."